MK Perintahkan Revisi UU Cipta Kerja, Ini 2 Saran Yusril kepada Jokowi
Kamis, 25 November 2021 - 21:02 WIB
JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) memerintahkan DPR dan pemerintah merevisi Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ( UU Cipta Kerja ) dalam tempo dua tahun. Hal tersebut tertuang dalam putusan atas judicial review UU Cipta Kerja yang dibacakan, Kamis (25/11/2021) siang tadi.
Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra berpendapat putusan ini berpotensi menimbulkan kekacauan hukum. Implikasinya juga besar terhadap agenda pemerintahan Presiden Jokowi. "Ini jelas dapat menimbulkan kekacauan hukum," ujar Yusril melalui keterangan tertulis, Kamis (25/11/2021) malam.
Yusril menjelaskan potensi kekacauan terjadi karena MK menyatakan bahwa UU Cipta Kerja secara otomatis inkonstitusional secara permanen bila tidak direvisi dalam jangka waktu dua tahun tersebut. Artinya, bila UU Cipta Kerja tak diperbaiki, semua UU yang telah dicabut oleh UU Cipta Kerja secara otomatis juga berlaku kembali.
MK pun melarang pemerintah menerbitkan peraturan pelaksana UU Cipta Kerja selain yang sudah ada. MK juga melarang pemerintah mengambil kebijakan-kebijakan baru yang berdampak luas yang didasarkan atas UU Cipta Kerja selama UU itu belum diperbaiki.
Bagi Yusril, putusan MK itu mempunyai dampak yang luas terhadap pemerintahan Jokowi yang masih tiga tahun lagi."Kebijakan-kebijakan super cepat yang ingin dilakukan Pemerintah Presiden Jokowi sebagian besar justru didasarkan kepada UU Cipta Kerja itu. Tanpa perbaikan segera, kebijakan-kebijakan baru yang akan diambil Presiden otomatis terhenti. Ini berpotensi melumpuhkan pemerintah yang justru ingin bertindak cepat memulihkan ekonomi yang terganggu akibat pandemi," terang dia.
Karena itu, tidak ada pilihan lain bagi Presiden Jokowi kecuali bekerja keras merevisi UU Cipta Kerja. Pemerintah, menurut Yusril, dapat menempuh dua cara untuk itu. Pertama, memperkuat Kementerian Hukum dan HAM sebagai law centre dan menjadi leader dalam merevisi UU Cipta Kerja. Kedua, pemerintah dapat segera membentuk Kementerian Legislasi Nasional yang bertugas menata, mensinkronisasi dan merapikan semua peraturan perundang-undangan dari pusat sampai ke daerah.
Yusril menilai, sejak awal UU Cipta Kerja yang dibentuk dengan cara meniru Omnibus Law di Amerika dan Kanada itu bermasalah. "Kita mempunyai UU Nomor 12 Tahun 2011 tengang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Setiap pembentukan peraturan maupun perubahannya, secara prosedur harus tunduk pada UU itu. MK yang berwenang menguji materil dan formil terhadap UU, menggunakan UUD 45 sebagai batu ujinya jika melakukan uji materil. Sementara jika melakukan uji formil, MK menggunakan UU No 12 Tahun 2011 itu," tuturnya.
Oleh karena itu, Yusril dia tidak heran dan kaget jika MK menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional. Dia menyarankan agar Presiden Joko Widodo bertindak cepat melakukan revisi menyeluruh terhadap UU Cipta Kerja, tanpa harus menunggu dua tahun.
"Masih bagus MK hanya menyatakan inkonstitusional bersyarat. Kalau murni inkonstitusional, maka pemerintah Presiden Jokowi benar-benar berada dalam posisi yang sulit," imbuhnya.
Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra berpendapat putusan ini berpotensi menimbulkan kekacauan hukum. Implikasinya juga besar terhadap agenda pemerintahan Presiden Jokowi. "Ini jelas dapat menimbulkan kekacauan hukum," ujar Yusril melalui keterangan tertulis, Kamis (25/11/2021) malam.
Yusril menjelaskan potensi kekacauan terjadi karena MK menyatakan bahwa UU Cipta Kerja secara otomatis inkonstitusional secara permanen bila tidak direvisi dalam jangka waktu dua tahun tersebut. Artinya, bila UU Cipta Kerja tak diperbaiki, semua UU yang telah dicabut oleh UU Cipta Kerja secara otomatis juga berlaku kembali.
MK pun melarang pemerintah menerbitkan peraturan pelaksana UU Cipta Kerja selain yang sudah ada. MK juga melarang pemerintah mengambil kebijakan-kebijakan baru yang berdampak luas yang didasarkan atas UU Cipta Kerja selama UU itu belum diperbaiki.
Bagi Yusril, putusan MK itu mempunyai dampak yang luas terhadap pemerintahan Jokowi yang masih tiga tahun lagi."Kebijakan-kebijakan super cepat yang ingin dilakukan Pemerintah Presiden Jokowi sebagian besar justru didasarkan kepada UU Cipta Kerja itu. Tanpa perbaikan segera, kebijakan-kebijakan baru yang akan diambil Presiden otomatis terhenti. Ini berpotensi melumpuhkan pemerintah yang justru ingin bertindak cepat memulihkan ekonomi yang terganggu akibat pandemi," terang dia.
Baca Juga
Karena itu, tidak ada pilihan lain bagi Presiden Jokowi kecuali bekerja keras merevisi UU Cipta Kerja. Pemerintah, menurut Yusril, dapat menempuh dua cara untuk itu. Pertama, memperkuat Kementerian Hukum dan HAM sebagai law centre dan menjadi leader dalam merevisi UU Cipta Kerja. Kedua, pemerintah dapat segera membentuk Kementerian Legislasi Nasional yang bertugas menata, mensinkronisasi dan merapikan semua peraturan perundang-undangan dari pusat sampai ke daerah.
Yusril menilai, sejak awal UU Cipta Kerja yang dibentuk dengan cara meniru Omnibus Law di Amerika dan Kanada itu bermasalah. "Kita mempunyai UU Nomor 12 Tahun 2011 tengang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Setiap pembentukan peraturan maupun perubahannya, secara prosedur harus tunduk pada UU itu. MK yang berwenang menguji materil dan formil terhadap UU, menggunakan UUD 45 sebagai batu ujinya jika melakukan uji materil. Sementara jika melakukan uji formil, MK menggunakan UU No 12 Tahun 2011 itu," tuturnya.
Oleh karena itu, Yusril dia tidak heran dan kaget jika MK menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional. Dia menyarankan agar Presiden Joko Widodo bertindak cepat melakukan revisi menyeluruh terhadap UU Cipta Kerja, tanpa harus menunggu dua tahun.
"Masih bagus MK hanya menyatakan inkonstitusional bersyarat. Kalau murni inkonstitusional, maka pemerintah Presiden Jokowi benar-benar berada dalam posisi yang sulit," imbuhnya.
(muh)
Lihat Juga :
tulis komentar anda