Kisah KSAD Pertama, Jenderal TNI Djatikusumo yang Rela Pangkat dan Jabatannya Diturunkan

Senin, 01 November 2021 - 05:29 WIB
KSAD Pertama Jenderal TNI Goesti Pangeran Harjo (GPH) Djatikusumo. Foto/Disjarahad
JAKARTA - Goesti Pangeran Harjo (GPH) Djatikusumo merupakan salah satu sosok penting di TNI Angkatan Darat (AD). Dia merupakan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) pertama yang menjabat selama periode 1948-1949.

Sebelum diangkat menjadi orang nomor satu di TNI AD, Djatikusumo telah kenyang pengalaman tempur melawan penjajah. Bersama para pejuang kemerdekaan, Djatikusumo bertaruh nyawa di berbagai medan operasi demi berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Dikutip dari Dinas Sejarah Angkatan Darat (Disjarhad), Djatikusumo merupakan putera dari Raja Surakarta, Sri Susuhan Paku Buwono X yang memerintah pada 29 Desember 1866 sampai dengan 20 Februari 1936. Sedangkan ibunya bernama R.A. Kinorukasi.

Seperti putera mahkota lainnya, Djatikusumo yang memiliki nama kecil Bendoro Raden Mas Subandono diharuskan tinggal bersama keluarga Belanda. Tujuannya, untuk mengenal perilaku dan pemikiran orang-orang Belanda yang merupakan musuh bangsa Indonesia. Seperti anak lainnya, Djatikusumo juga bersekolah di Sekolah Dasar atau ELS (Euro Peesche Lagere School) di Bandung dan melanjutkan kembali di Technische Hoge School (THS) Nederland.



Ketika duduk di tingkat tiga, ayahnya meninggal dunia pada 20 Februari 1939. Bersamaan dengan itu, meletuslah Perang Dunia (PD) II. Kondisi ini menyebabkan sekolahnya terputus dan harus kembali ke Indonesia. Setibanya di Indonesia, Djatikusumo melanjutkan pendidikannya di THS Bandung (sekarang ITB). Namun, PD II ternyata juga berdampak ke Indonesia dan memaksanya kembali putus sekolah dan hanya bisa mengikuti pendidikan hingga tingkat empat.

Meski tak dapat menyelesaikan pendidikannya, pria kelahiran 1 juli 1917 ini tidak putus asa. Hal itu justru membawanya mengenal dunia militer dengan memasuki Corps Opleding Reserve Offcieren (CORO) sekolah perwira bentukan Belanda. Namun karena Belanda bertekuk lutut kepada Jepang pada 8 Maret 1942 dalam PD II, keluarlah UU Osamu Sirei No 44 Tahun 1944 di mana putra kedua dari lima bersaudara ini dinyatakan bergabung dengan tentara sukarela Pembela Tanah Air (PETA) angkatan pertama di Bogor. Djatikusumo kemudian ditempatkan sebagai Komandan Kompi I Batalyon I Surakarta.

Seiring perjalanan waktu, di awal pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR), Djatikusumo diangkat sebagai komandan BKR Solo dengan pangkat mayor. Perkembangan situasi saat itu, di mana kekuasaan Jepang mulai berakhir membuat Djatikusumo terlibat dalam berbagai palagan pertempuran di Semarang dan melucuti senjata milik Jepang.

Saat itulah, Djatikusumo bertemu dengan Bambang Darmojo dan Gubernur Semarang Wongsonegoro. Dalam pertemuan itu, keduanya mengajak Djatikusumo ikut dalam perundingan dengan Jepang. Awalnya, Djatikusumo menolak karena pertimbangan dirinya hanya komandan sector. Namun setelah mendapat perintah dari Urip Sumoharjo, Djatikusumo akhirnya bersedia ikut dalam perundingan tersebut. Di mana disepakati gencatan senjata.

Selain kecintaannya kepada Tanah Air yang sangat tinggi, loyalitas Djatikusumo terhadap pimpinan pun tidak diragukan lagi. Hal itu dibuktikan ketika dalam perjalanan ke Solo pada pertempuran Semarang, Djatikusumo diperintah untuk mengambil meriam. Namun sesampainya di Solo, Djatikusumo mendapat telegram dari Urip Sumoharjo untuk segera ke Markas Komando di Jakarta. Namun baru sampai Cikampek, Markas Urip Sumoharjo ternyata sudah dipindah ke Bandung sehingga Djatikusumo memutuskan kembali ke Solo untuk berada di tengah-tengah anggotanya. Sayangnya, begitu tiba di Solo ternyata posisinya sudah digantikan sehingga Djatikusumo tidak memiliki jabatan lagi.
Halaman :
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More