Kepercayaan Publik Terhadap Media Konvensional Meningkat Pasca Muncul Covid-19
Sabtu, 23 Oktober 2021 - 13:41 WIB
JAKARTA - Tingkat kepercayaan publik terhadap media konvensional meningkat pasca adanya Covid-19 . Sebab, banyak berita hoaks terkait Covid-19 bertebaran di media sosial di masa pandemi.
Demikian diungkapkan Ketua Umum (Ketum) Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Yadi Hendriana saat menjadi pembicara dalam diskusi Polemik Trijaya FM bertajuk 'Hoaks, Kualitas Pers, dan Hegemoni Media Sosial' yang digelar secara daring, Sabtu (23/10/2021).
"Bahwa konvensional media itu, after Covid itu meningkat tingkat kepercayaan dari publiknya, kenapa meningkat? Karena itu kan banyaknya hoaks dan lain-lain, publik tidak accept lagi di sosial media. Sebaliknya, untuk memverifikasi mencari kebenaran media, dia lari ke televisi, dia lari ke koran, dia lari ke media-media online," kata Yadi.
Namun kata Yadi, media konvensional saat ini masih memiliki beberapa permasalahan. Salah satunya, maraknya perusahaan media abal-abal yang bertebaran di Indonesia.
"Problemnya sekarang, catatan Dewan Pers. Saya baca dari Stanley, dua tahun lalu sebelum beliau lengser, 80 persen perusahaan media yang ada di kita itu abal-abal, itu jadi problem. Jadi cuma 20 persen yang benar-benar terverifikasi dengan baik," katanya.
Dia pernah menemukan salah satu media lokal di daerah Jawa Timur yang menggunakan label seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Media tersebut, diduga hanya dijadikan alat untuk ‘menghajar’ pejabat di Jawa Timur. Hingga akhirnya, media yang menggunakan label KPK tersebut bermasalah.
"Saya ingat betul itu, beberapa tahun lalu di Jawa Timur, ada media yang namanya KPK, dia itu kerjaannya itu menghajar kepala sekolah, kepala dinas, dana BOS, itu media tersebut ngejar ke kepala dinas, ada di Dewan Pers kasusnya," katanya.
"Nah dikira oleh kepala dinas itu KPK beneran mau nangkap, ternyata media 'KPK' itu. Sampai akhirnya dia loncat, kemudian dia meninggal. Itu betul-betul sangat riuh sekali dan ini menjadi problem," sambungnya.
Dia meminta agar pemerintah ikut andil dalam menyelesaikan permasalahan maraknya media abal-abal. Perlu adanya pemanfaatan publisher right yang mengatur media.
"Pemerintah memang harus muncul ketika Wens dan kawan-kawan, termasuk kami di Dewan Pers mengusung publisher right dan di-approve oleh Pak Dirjen dan Pak Menkominfo itu adalah kemajuan yang sangat luar biasa, itu adalah angin segar yang harus kita manfaatkan," pungkasnya.
Demikian diungkapkan Ketua Umum (Ketum) Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Yadi Hendriana saat menjadi pembicara dalam diskusi Polemik Trijaya FM bertajuk 'Hoaks, Kualitas Pers, dan Hegemoni Media Sosial' yang digelar secara daring, Sabtu (23/10/2021).
"Bahwa konvensional media itu, after Covid itu meningkat tingkat kepercayaan dari publiknya, kenapa meningkat? Karena itu kan banyaknya hoaks dan lain-lain, publik tidak accept lagi di sosial media. Sebaliknya, untuk memverifikasi mencari kebenaran media, dia lari ke televisi, dia lari ke koran, dia lari ke media-media online," kata Yadi.
Namun kata Yadi, media konvensional saat ini masih memiliki beberapa permasalahan. Salah satunya, maraknya perusahaan media abal-abal yang bertebaran di Indonesia.
"Problemnya sekarang, catatan Dewan Pers. Saya baca dari Stanley, dua tahun lalu sebelum beliau lengser, 80 persen perusahaan media yang ada di kita itu abal-abal, itu jadi problem. Jadi cuma 20 persen yang benar-benar terverifikasi dengan baik," katanya.
Dia pernah menemukan salah satu media lokal di daerah Jawa Timur yang menggunakan label seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Media tersebut, diduga hanya dijadikan alat untuk ‘menghajar’ pejabat di Jawa Timur. Hingga akhirnya, media yang menggunakan label KPK tersebut bermasalah.
"Saya ingat betul itu, beberapa tahun lalu di Jawa Timur, ada media yang namanya KPK, dia itu kerjaannya itu menghajar kepala sekolah, kepala dinas, dana BOS, itu media tersebut ngejar ke kepala dinas, ada di Dewan Pers kasusnya," katanya.
"Nah dikira oleh kepala dinas itu KPK beneran mau nangkap, ternyata media 'KPK' itu. Sampai akhirnya dia loncat, kemudian dia meninggal. Itu betul-betul sangat riuh sekali dan ini menjadi problem," sambungnya.
Dia meminta agar pemerintah ikut andil dalam menyelesaikan permasalahan maraknya media abal-abal. Perlu adanya pemanfaatan publisher right yang mengatur media.
"Pemerintah memang harus muncul ketika Wens dan kawan-kawan, termasuk kami di Dewan Pers mengusung publisher right dan di-approve oleh Pak Dirjen dan Pak Menkominfo itu adalah kemajuan yang sangat luar biasa, itu adalah angin segar yang harus kita manfaatkan," pungkasnya.
(rca)
Lihat Juga :
tulis komentar anda