Ini 5 Rekomendasi dari Pengamat Intelijen untuk Menutup Ruang Terorisme
Selasa, 31 Agustus 2021 - 15:23 WIB
JAKARTA - Pengamat Hankam dan Intelijen Susaningtyas Kertopati menyebut saat ini kelompok teroris tengah mengembangkan metode “enabling environment” sebagai upaya menciptakan kondisi yang memungkinkan bagi jaringan terorisme tetap eksis dan berkembang tanpa bersentuhan langsung dengan jaringan-jaringan yang ada, khususnya dalam menyasar kaum remaja di institusi pendidikan dan perempuan yang didukung dengan kuatnya budaya partiarki.
”Polri saat ini dituntut untuk inovatif mengembangkan SDM anggotanya, baik secara akademis dan praktik, khususnya dalam menghadapi dan menutup ruang ideologi radikalisme dan aksi terorisme,” ujar Nuning, biasa disapa saat menjadi narasumber dalam diskusi bertajuk “Meningkatkan Partisipasi Terorisme Dapat Ditanggulangi” yang diselenggarakan Mabes Polri pada Selasa (31/8/2021).
Ketua DPP Partai Perindo Bidang Hankam & Cyber Security menjelaskan, banyak keahlian baru yang dimiliki oleh sel terorisme, khususnya para foreign fighter ex combatan ISIS dalam pola narko terorisme dan kemampuan menggunakan elemen Nubika (Nuklir, Biologi dan Kimia). Untuk itu, kata Nuning, proses deradikalisasi salah satunya harus mampu menghilangkan enabling environment, menghancurkan jaringan yang berfungsi sebagai wadah berkumpulnya orang yang kehilangan moral compass dan secara gradual memilih jalan kekerasan yang menurut dia dibenarkan oleh ideologi yang dianut.
”Dalam konteks Indonesia, menghilangkan enabling environment itu adalah tugas berat bagi Presiden Joko Widodo, karena dapat saja orang di sekelilingnya justru menciptakan enabling environment tersebut,” ucapnya.
Mantan anggota Komisi I DPR ini memberikan lima rekomendasi dalam menutup ruang terorisme yakni, pertama pemerintah perlu segera merancang agenda optimalisasi pencegahan radikalisme di institusi pendidikan, baik formal, non formal dan informal, dengan muatan pendidikan yang bhineka, terbuka, dan toleran, serta berorientasi pada penguatan ideologi Pancasila dan UUD 1945.
”Kedua, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Kemendikbudristek perlu menjadi aktor utama dalam pencegahan arus intoleransi dan radikalisasi di institusi pendidikan, organisasi masyarakat, dan khususnya perempuan Indonesia. Jangan hanya berfokus penanggulangan. Dalam konsepsi pemberantasan kedua hal tersebut harus kuat,” ujarnya.
Rekomendasi ketiga yakni, seluruh stakeholders khususnya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), perlu meningkatkan upaya-upaya internalisasi terhadap keadilan dan kesetaraan gender kepada kaum perempuan melalui institusi kementerian/lembaga/badan, pemerintah daerah, organisasi keagamaan, dan komunitas- komunitas sosial kemasyarakatan.
”Keempat, civil society, khususnya organisasi keagamaan moderat seperti NU, Muhammadiyah, dll, perlu memberbanyak narasi positif dan melakukan counter narasi radikalisme yang menyasar institusi pendidikan, anak muda dan perempuan melalui berbagai medium untuk menutup ruang narasi intoleransi dan radikalisme,” ucapnya.
Terakhir, sambung Nuning, pembatasan di media sosial bukanlah hal yang efektif tangkal narasi radikalisme, yang perlu ditingkatkan adalah kemampuan literasi di media sosial pada masyarakat Indonesia. ”Jadi bukan hanya sekedar baca –tulis, namun mampu bernalar untuk merespons propaganda radikalisme,” tegasnya.
”Polri saat ini dituntut untuk inovatif mengembangkan SDM anggotanya, baik secara akademis dan praktik, khususnya dalam menghadapi dan menutup ruang ideologi radikalisme dan aksi terorisme,” ujar Nuning, biasa disapa saat menjadi narasumber dalam diskusi bertajuk “Meningkatkan Partisipasi Terorisme Dapat Ditanggulangi” yang diselenggarakan Mabes Polri pada Selasa (31/8/2021).
Ketua DPP Partai Perindo Bidang Hankam & Cyber Security menjelaskan, banyak keahlian baru yang dimiliki oleh sel terorisme, khususnya para foreign fighter ex combatan ISIS dalam pola narko terorisme dan kemampuan menggunakan elemen Nubika (Nuklir, Biologi dan Kimia). Untuk itu, kata Nuning, proses deradikalisasi salah satunya harus mampu menghilangkan enabling environment, menghancurkan jaringan yang berfungsi sebagai wadah berkumpulnya orang yang kehilangan moral compass dan secara gradual memilih jalan kekerasan yang menurut dia dibenarkan oleh ideologi yang dianut.
”Dalam konteks Indonesia, menghilangkan enabling environment itu adalah tugas berat bagi Presiden Joko Widodo, karena dapat saja orang di sekelilingnya justru menciptakan enabling environment tersebut,” ucapnya.
Mantan anggota Komisi I DPR ini memberikan lima rekomendasi dalam menutup ruang terorisme yakni, pertama pemerintah perlu segera merancang agenda optimalisasi pencegahan radikalisme di institusi pendidikan, baik formal, non formal dan informal, dengan muatan pendidikan yang bhineka, terbuka, dan toleran, serta berorientasi pada penguatan ideologi Pancasila dan UUD 1945.
”Kedua, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Kemendikbudristek perlu menjadi aktor utama dalam pencegahan arus intoleransi dan radikalisasi di institusi pendidikan, organisasi masyarakat, dan khususnya perempuan Indonesia. Jangan hanya berfokus penanggulangan. Dalam konsepsi pemberantasan kedua hal tersebut harus kuat,” ujarnya.
Baca Juga
Rekomendasi ketiga yakni, seluruh stakeholders khususnya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), perlu meningkatkan upaya-upaya internalisasi terhadap keadilan dan kesetaraan gender kepada kaum perempuan melalui institusi kementerian/lembaga/badan, pemerintah daerah, organisasi keagamaan, dan komunitas- komunitas sosial kemasyarakatan.
”Keempat, civil society, khususnya organisasi keagamaan moderat seperti NU, Muhammadiyah, dll, perlu memberbanyak narasi positif dan melakukan counter narasi radikalisme yang menyasar institusi pendidikan, anak muda dan perempuan melalui berbagai medium untuk menutup ruang narasi intoleransi dan radikalisme,” ucapnya.
Terakhir, sambung Nuning, pembatasan di media sosial bukanlah hal yang efektif tangkal narasi radikalisme, yang perlu ditingkatkan adalah kemampuan literasi di media sosial pada masyarakat Indonesia. ”Jadi bukan hanya sekedar baca –tulis, namun mampu bernalar untuk merespons propaganda radikalisme,” tegasnya.
(cip)
tulis komentar anda