Pendekatan Budaya dan Pendidikan Kunci Keharmonisan di Papua
Rabu, 18 Agustus 2021 - 22:35 WIB
JAKARTA - Agama merupakan bagian penting pada sistem sosio-kultural masyarakat Papua yang didasarkan pada prinsip satu tungku tiga batu, yaitu batu yang terdiri dari pemerintah, adat, dan agama. Tiga batu juga biasa diasosiasikan dengan tiga agama, Islam, Kristen, dan Katolik.
Untuk menjaga prinsip ini pola pendidikan yang diterapkan menjadi jalan penting bagi keberlangsungannya, terutama dalam membangun harmonisasi kehidupan. Melalui pendidikan, nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraaan atas dasar kemanusiaan diwariskan dan diajarkan kepada para generasi baru di Papua. Hal ini terungkap dalam webinar internasional bertajuk “Religions Education and the Challenge of Harmony in Papua-Indonesia and Cape Town South Africa: A Comparison yang menghadrikan tokoh Papua dan cendekiawan Indonesia dan Afrika Selatan, Rabu (18/8/2021).
Kegiatan Webinar International ini dihadiri narasumber antara lain Professor of Philosophy of Education in the Department of Poliicy Studies at Stellenbosch University, South Africa Nuraan Davids, Ketua PWNU Papua sekaligus anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) Tony Wanggai dan Professor of Antrophology at UIN Jakarta Ichsan Tanggok, serta dipandu oleh peneliti Indonesian Muslim Crisis Center dan Dosen UIN Jakarta Maria Ulfa.
Mengapa disandingkan dengan Afrika Selatan, Cendekiawan Afrika Selatan, Nuraan Davids mengatakan, Afrika Selatan memiliki hubungan sejarah dengan Indonesia dimana banyak imigran yang masuk dari berbagai negara salah satunya dari Indonesia. Sejak masa apartheid, pendidikan muslim telah berkembang dengan dua jalur, yaitu pendidikan di masjid-masjid dan di sekolah muslim. Perkembangan tersebut terus terjadi di masa post apartheid dan masa reformasi.
Dia juga mengapresiasi harmonisasi di Papua. Menurutnya, harmoni di Papua, Komunitas muslim di Afrika Selatan khususnya di Cape Town mengambil contoh positif dari komunitas muslim di Indonesia karena sejarah yang sangat dekat. Komunitas Muslim dan Kristen berbaur dengan baik, dan adanya kesadaran untuk menciptakan dialog antar agama. Pernikahan antar agama juga memperkuat ikatan antara agama yang berbeda.
“Pendidikan agama memiliki peran krusial dalam menyediakan jembatan antara identitas seorang muslim dengan seorang warga negara Afrika Selatan. Prinsip-prinsip fiqih kewarganegaraan termasuk keadilan, partisipasi, penghargaan, tanggung jawab dan akuntabilitas, sangat penting untuk menjaga keharmonisan. Guru memiliki peran dalam membentuk warga negara yang produktif dan bertanggung jawab. Identitas guru yang beragam merupakan akan memperluas perspektif siswa. Semakin beragam identitas guru semakin meningkatkan keharmonisan. Pendidikan agama sangat penting meningkatkan harmonisasi kebergaman,” jelas Professor of Philosophy of Education in the Department of Picy Studies at Stellenbosch University, South Africa tersebut.
Senada, Ketua PWNU Papua Toni Wanggai mengatakan, Islam telah ada di Papua sejak abad 15 melalui interaksi dengan Kerajaan Tidore. Kemudian pada abad 16 terbentuk kerajaan-kerajaan Islam yang terletak di Raja Ampat. Hubungan Islam dan Kristen di Papua sangat harmonis yang berlangsung sejak 200 tahun yang lalu, dimana Sultan Tidore mengantar misionaris Kristen dari Jerman Otto dan Greisler di Papua pada 1855.
Pendekatan budaya yang dilakukan oleh misionaris melalui pendekatan budaya, di antaranya menerjemahkan Alkitab ke dalam Bahasa daerah, mengakibatkan Kristen lebih cepat berkembang. “Harmoni di pemerintahan Papua juga tergambar dalam istilah 1 tungku 3 batu, dimana 3 batu tersebut merupakan perwakilan Islam, Kristen dan Katolik. Pembagian kekuasaan dilakukan dengan dasar tersebut dengan Gubernur Kristen, Wakil Muslim, Sekda Katolik atau sebaliknya,” tegas anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) tersebut.
Pendekatan kultural tersebut terus diwariskan melalui berbagai jalur khususnya pendidikan. Menurut Antropolog Ikhsan Tanggok, Toleransi dan harmoni antar agama di Papua terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan institusi Pendidikan seperti sekolah dan universitas. Ada tiga institusi pendidikan Islam yang memiliki peran penting dalam menciptakan harmoni dan toleransi di Papua, yaitu Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan Yapis.
“Papua memiliki tradisi yang kental dengan toleransi, salah satunya adalah Bakar Batu. Tradisi itu memiliki arti yang dalam, yaitu sebagai ungkapan terima kasih kepada Tuhan dan simbol dari solidaritas yang kuat. Bakar batu juga dapat digunakan sebagai media damai antara kelompok yang berperang. Rakyat Fakfak Papua Barat memiliki filosofi yang diperkenalkan oleh leluhur mereka yaitu satu tungku tiga batu. Tungku adalah simbol kehidupan, sementara tiga batu adalah symbol ‘kamu’, ‘saya’, dan ‘dia’ yang berbeda agama, etnis, status sosial dalam satu wadah persaudaraan. Simbol harmoni yang lain yaitu Masjid Patimburak, di Desa Patimburak, Fakfak, Papua Barat.
“Masjid Patimburak dibangun oleh Raja Pertuanan Wertuar pada 1870. Arsitektur masjid ini sangat unik karena merupakan kombinasi dari masjid dan gereja. Masjid ini dibangun oleh tiga kelompok agama, yaitu Islam, Katolik dan Protestan,” jelas guru besar UIN Jakarta tersebut.
Peneliti Indonesia Moslem Crisis Center, Maria Ulfa menilai, dari paparan para narasumber, bisa diyakini bahwa masyarakat Papua Indonesia dan Cape Town Afrika Selatan hidup penuh kedamaian dan toleransi serta memiliki pola pendidikan dan tradisi dalam menyelesaikan konflik dengan kearifan lokal. “Gagasan toleransi beragama bukanlah hal yang sulit, karena ajaran dari masing masing agama mengajarkan tentang saling mengakui dan menghormati pihak lain, Perbedaan dalam sisi bahasa, budaya agama bahkan etnis dapat diterima,” ujarnya.
Untuk menjaga prinsip ini pola pendidikan yang diterapkan menjadi jalan penting bagi keberlangsungannya, terutama dalam membangun harmonisasi kehidupan. Melalui pendidikan, nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraaan atas dasar kemanusiaan diwariskan dan diajarkan kepada para generasi baru di Papua. Hal ini terungkap dalam webinar internasional bertajuk “Religions Education and the Challenge of Harmony in Papua-Indonesia and Cape Town South Africa: A Comparison yang menghadrikan tokoh Papua dan cendekiawan Indonesia dan Afrika Selatan, Rabu (18/8/2021).
Kegiatan Webinar International ini dihadiri narasumber antara lain Professor of Philosophy of Education in the Department of Poliicy Studies at Stellenbosch University, South Africa Nuraan Davids, Ketua PWNU Papua sekaligus anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) Tony Wanggai dan Professor of Antrophology at UIN Jakarta Ichsan Tanggok, serta dipandu oleh peneliti Indonesian Muslim Crisis Center dan Dosen UIN Jakarta Maria Ulfa.
Mengapa disandingkan dengan Afrika Selatan, Cendekiawan Afrika Selatan, Nuraan Davids mengatakan, Afrika Selatan memiliki hubungan sejarah dengan Indonesia dimana banyak imigran yang masuk dari berbagai negara salah satunya dari Indonesia. Sejak masa apartheid, pendidikan muslim telah berkembang dengan dua jalur, yaitu pendidikan di masjid-masjid dan di sekolah muslim. Perkembangan tersebut terus terjadi di masa post apartheid dan masa reformasi.
Dia juga mengapresiasi harmonisasi di Papua. Menurutnya, harmoni di Papua, Komunitas muslim di Afrika Selatan khususnya di Cape Town mengambil contoh positif dari komunitas muslim di Indonesia karena sejarah yang sangat dekat. Komunitas Muslim dan Kristen berbaur dengan baik, dan adanya kesadaran untuk menciptakan dialog antar agama. Pernikahan antar agama juga memperkuat ikatan antara agama yang berbeda.
“Pendidikan agama memiliki peran krusial dalam menyediakan jembatan antara identitas seorang muslim dengan seorang warga negara Afrika Selatan. Prinsip-prinsip fiqih kewarganegaraan termasuk keadilan, partisipasi, penghargaan, tanggung jawab dan akuntabilitas, sangat penting untuk menjaga keharmonisan. Guru memiliki peran dalam membentuk warga negara yang produktif dan bertanggung jawab. Identitas guru yang beragam merupakan akan memperluas perspektif siswa. Semakin beragam identitas guru semakin meningkatkan keharmonisan. Pendidikan agama sangat penting meningkatkan harmonisasi kebergaman,” jelas Professor of Philosophy of Education in the Department of Picy Studies at Stellenbosch University, South Africa tersebut.
Senada, Ketua PWNU Papua Toni Wanggai mengatakan, Islam telah ada di Papua sejak abad 15 melalui interaksi dengan Kerajaan Tidore. Kemudian pada abad 16 terbentuk kerajaan-kerajaan Islam yang terletak di Raja Ampat. Hubungan Islam dan Kristen di Papua sangat harmonis yang berlangsung sejak 200 tahun yang lalu, dimana Sultan Tidore mengantar misionaris Kristen dari Jerman Otto dan Greisler di Papua pada 1855.
Pendekatan budaya yang dilakukan oleh misionaris melalui pendekatan budaya, di antaranya menerjemahkan Alkitab ke dalam Bahasa daerah, mengakibatkan Kristen lebih cepat berkembang. “Harmoni di pemerintahan Papua juga tergambar dalam istilah 1 tungku 3 batu, dimana 3 batu tersebut merupakan perwakilan Islam, Kristen dan Katolik. Pembagian kekuasaan dilakukan dengan dasar tersebut dengan Gubernur Kristen, Wakil Muslim, Sekda Katolik atau sebaliknya,” tegas anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) tersebut.
Pendekatan kultural tersebut terus diwariskan melalui berbagai jalur khususnya pendidikan. Menurut Antropolog Ikhsan Tanggok, Toleransi dan harmoni antar agama di Papua terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan institusi Pendidikan seperti sekolah dan universitas. Ada tiga institusi pendidikan Islam yang memiliki peran penting dalam menciptakan harmoni dan toleransi di Papua, yaitu Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan Yapis.
“Papua memiliki tradisi yang kental dengan toleransi, salah satunya adalah Bakar Batu. Tradisi itu memiliki arti yang dalam, yaitu sebagai ungkapan terima kasih kepada Tuhan dan simbol dari solidaritas yang kuat. Bakar batu juga dapat digunakan sebagai media damai antara kelompok yang berperang. Rakyat Fakfak Papua Barat memiliki filosofi yang diperkenalkan oleh leluhur mereka yaitu satu tungku tiga batu. Tungku adalah simbol kehidupan, sementara tiga batu adalah symbol ‘kamu’, ‘saya’, dan ‘dia’ yang berbeda agama, etnis, status sosial dalam satu wadah persaudaraan. Simbol harmoni yang lain yaitu Masjid Patimburak, di Desa Patimburak, Fakfak, Papua Barat.
“Masjid Patimburak dibangun oleh Raja Pertuanan Wertuar pada 1870. Arsitektur masjid ini sangat unik karena merupakan kombinasi dari masjid dan gereja. Masjid ini dibangun oleh tiga kelompok agama, yaitu Islam, Katolik dan Protestan,” jelas guru besar UIN Jakarta tersebut.
Peneliti Indonesia Moslem Crisis Center, Maria Ulfa menilai, dari paparan para narasumber, bisa diyakini bahwa masyarakat Papua Indonesia dan Cape Town Afrika Selatan hidup penuh kedamaian dan toleransi serta memiliki pola pendidikan dan tradisi dalam menyelesaikan konflik dengan kearifan lokal. “Gagasan toleransi beragama bukanlah hal yang sulit, karena ajaran dari masing masing agama mengajarkan tentang saling mengakui dan menghormati pihak lain, Perbedaan dalam sisi bahasa, budaya agama bahkan etnis dapat diterima,” ujarnya.
(cip)
tulis komentar anda