Menyelamatkan Pendidikan dengan Hybrid Learning

Senin, 16 Agustus 2021 - 07:50 WIB
Menyelamatkan Pendidikan dengan Hybrid Learning
JAKARTA - Pandemi korona (Covid-19) memunculkan persoalan pelik dalam dunia pendidikan. Konsep hybrid learning yang memadukan pembelajaran jarak jauh dan pembelajaran tatap muka bisa menjadi alternatif untuk diterapkan.

Merebaknya virus korona di berbagai belahan dunia membuat banyak sekolah ditutup. Otoritas penyelenggara pendidikan tidak ingin sekolah menjadi kluster penularan yang akan membuat peserta kegiatan belajar mengajar terjangkit virus mematikan tersebut. Proses belajar mengajar terpaksa harus dilakukan dengan model jarak jauh secara digital. Di Indonesia, sistem belajar jarak jauh ini memunculkan banyak masalah. Minimnya literasi digital siswa dan guru, beratnya beban kurikulum, tidak meratanya akses internet, hingga tidak semua siswa punya gawai menjadi halangan terselenggaranya pembelajaran jarak jauh. Akibatnya proses pembelajaran jarak jauh tidak berjalan maksimal. Peserta didik pun terancam mengalami learning loss atau kehilangan kapasitas belajar sesuai dengan umurnya. Selain itu pembelajaran jarak jauh juga memunculkan berbagai persoalan sosial seperti bertambahnya beban orang tua untuk menjadi guru di rumah, tidak terkontrolnya jam belajar dan bermain, hingga banyaknya peserta didik yang harus menjadi pekerja untuk membantu ekonomi keluarga.

Menyikapi hal ini pemerintah pun berusaha secepatnya untuk menggelar pembelajaran tatap muka. Presiden Jokowi di akhir Februari 2021 menargetkan sekolah-sekolah akan dibuka secara terbatas pada tahun ajaran baru Juli 2021. Untuk itu dia menginstruksikan agar 5 juta guru bisa mendapatkan vaksin sebelum sekolah dibuka. Selain itu Menteri Nadiem Makarim pun meminta penyelenggara sekolah menyiapkan prosedur tetap agar memenuhi daftar protokol kesehatan yang harus dipenuhi saat sekolah dibuka. Namun faktanya, rencana ini terpaksa tertunda lagi karena melonjaknya kasus Covid-19 awal Juli lalu. Lonjakan kasus ini membuat pemerintah menetapkan PPKM Darurat yang salah satunya poinnya memaksa semua kegiatan belajar mengajar dilakukan secara daring.

Situasi ini memunculkan dilema bagi masa depan penyelenggaraan pendidikan di Tanah Air. Di satu sisi ancaman learning loss akan semakin dalam jika sistem belajar mengajar dilakukan secara daring. Di sisi lain sistem belajar tatap muka memiliki risiko tinggi mengingat belum ada yang tahu kapan pandemi akan berakhir. Memaksakan pembelajaran tatap muka juga akan sangat berbahaya mengingat Indonesia menjadi salah satu negara dengan jumlah pasien Covid anak terbesar di dunia. Jika tetap dipaksakan, jumlah anak yang terpapar Covid-19 bakal semakin tinggi.



Konsep hybrid learning menjadi alternatif yang diajukan sebagai model ideal pembelajaran di tengah pandemi. Konsep ini mengabungkan pembelajaran online dan tatap muka. Nantinya pola pembelajaran bisa dibikin dengan sistem shift di mana ada shift online dan shift tatap muka per minggu secara bergantian. Dengan demikian pada satu sisi konsep ini meminimalkan adanya pertemuan tatap muka, tetapi pada sisi lain juga tidak menghilangkan ikatan psikologis siswa dengan sekolah mereka. “Kami akan terus matangkan konsep hybrid learning ini sebagai bagian dari upaya menyesuakan diri untuk hidup berdampingan dengan situasi pandemi,” ujar Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset Teknologi Nizam.

Dia menjelaskan hybrid learning ini merupakan konsep campuran dua metode pembelajaran baik tatap muka maupun jarak jauh. Menurutnya jika selalu menggunakan metode pembelajaran jarak jauh, akan banyak unsur pendidikan yang hilang."Selama hampir satu tahun setengah kita melakukan pembelajaran dari rumah, ini banyak yang hilang. Pembelajaran mungkin tersampaikan dengan baik dan tingkat keterserapan materi itu lumayan, tetapi pendidikan itu tidak semata-mata pembelajaran. Banyak hal-hal yang penting yang tidak bisa tergantikan dengan belajar daring," katanya.

Dia menegaskan, pembelajaran daring menurunkan tingkat interaksi sosial dan emosional siswa terhadap lingkungannya. Pengembangan nilai-nilai dalam diri siswa juga mengalami keterbatasan. Metode pembelajaran campuran ini mengizinkan sebagian siswa belajar tatap muka di kelas dan sebagian lagi tetap belajar via daring. Lalu pengajar akan menjelaskan materi lewat layar sehingga siswa yang belajar daring pun bisa merasakan interaksi. "Kebijakan ini sebenarnya sangat baik sekali, tetapi memang dituntut sebuah tanggung jawab dan kedisiplinan yang sangat luar biasa karena kita berhadapan dengan risiko pandemi yang tidak bisa diremehkan dan kekhawatiran terciptanya generasi SDM yang menurun kompetensi serta keahliannya," sambungnya.

Nisa Felicia, peneliti Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK), menilai banyak hal yang perlu disiapkan untuk menerapkan konsep hybrid learning. Pertama adalah kesiapan para guru. Menurutnya Kemendikbud Ristek harus menyiapkan berbagai contoh model penerapan hybrid learning baik dari sisi pengelolaan jam belajar, kurikulum maupun materi pembelajaran. Berbagai simulasi harus segera dilakukan sebelum praktik hybrid learning di lapangan. Menurutnya jangan sampai ada pengulangan materi saat belajar online di rumah dan saat belajar tatap muka di sekolah. “Kalau siswa bisa membaca buku di rumah atau belajar mandiri berarti di sekolah, siswa jangan suruh membaca buku di sekolah. Di sekolah mereka hanya 45 menit, jangan dihabiskan untuk mengerjakan soal, itu juga bisa dilakukan di rumah. Jadi di kelas ngapain? Ya justru saat di sekolah saat bertemu dengan guru secara langsung, gunakan waktu ini untuk berdiskusi, bertanya bagian materi yang tidak mengerti, membahas soal bersama, memecahkan suatu soal secara bersama. Apa yang dibutuhkan murid dari guru, guru bisa berikan,” papar Nisa kepada KORAN SINDO, Kamis (12/8).

Selain kesiapan guru dan materi pembelajaran, kata Nisa, Kemendikbud Ristek perlu meningkatkan koordinasi dengan pemerintah daerah. Dinas pendidikan di setiap wilayah harus siap membantu para guru untuk menyiapkan sistem pengajaran hybrid sesuai dengan kebutuhan daerah masing-masing. Dia mencontohkan kebutuhan DKI Jakarta tentu berbeda dengan kebutuhan di Nusa Tenggara Timur. “Untuk akses internet misalnya DKI Jakarta tentu tidak ada masalah, tetapi menjadi masalah besar di wilayah lain. Di sini tentu dinas pendidikan harus memastikan kebutuhan penunjang dari penyelenggara sekolah terpenuhi,” katanya.

Ke depannya yang harus dikuatkan adalah terus memotivasi guru untuk hybrid learning, bahkan ketika sudah tidak ada pandemi lagi. Karena pemebelajaran hybrid ini memadukan belajar tatap muka dan pembelajaraan dari rumah yang nyatanya dapat memberikan kesempatan bagi anak-anak untuk belajar sesuai dengan gayanya. PSPK pernah melakukan diskusi dengan perwakilan anak SMA, mereka mengatakan salah satu keuntungan dari belajar jarak jauh atau belajar online ini mereka dapat belajar sesuai dengan gaya mereka. “Seperti beberapa anak tidak suka belajar terlalu pagi karena masih mengantuk, tapi kalau agak siang semangat belajar. Jadinya pagi mereka absen, namun bisa memulai mengerjakan tugas dan mendengar pelajaran mulai Jam 9. Ternyata jam-jam yang tidak terlalu pagi dan belum terlalu siang ini membuat mereka lebih bersemangat,” katanya.

Dia juga menilai tantangan yang dihadapi dalam pengajaran hybrid ini ialah kreativitas guru dalam merancang dua pembelajaran. Secanggih-canggihnya guru melakukan pengajaran jarak jauh, dia tetap harus belajar bagaimana memadukan pengajaran dari rumah. Kendala kedua, bahan pembelajaran online harus diperbanyak. Selain itu bahan-bahan tersebut juga dibuat sedemikian rupa sehingga tidak membosankan. “Video 10 menit, tapi kemampuan anak untuk fokus terkadang tidak sampai 3 menit. Siswa juga tahu kapan dia sudah tidak fokus, dia bisa pause video dulu. Istirahat sebentar lalu mulai lagi,” katanya.

Kendala ketiga yang harus diantisipasi, kata Nisa, adalah kesiapan orang tua. Sebab konsep hybrid learning ini juga menuntut peran aktif orang tua untuk bisa mendampingi anak mereka saat pembelajaran online di rumah. “Peran orang tua cukup penting karena mereka dibutuhkan untuk mengingatkan anak-anak mereka tentang tugas sekolah mereka,” katanya. helmi syarif/ananda naraya
(war)
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More