Rektor Unhan Peringatkan Dunia Internasional Bahaya Biological Terrorism
Rabu, 28 Juli 2021 - 15:01 WIB
JAKARTA - Rektor Universitas Pertahanan (Unhan) RI Laksamana Madya (Laksdya) TNI Amarulla Octavian mengingatkan dunia internasional mengenai ancaman biological terrorism.
Hal itu diungkapkan Octavian saat menjadi pembicara pada 7th International Maritime Security Conference yang diselenggarakan S. Rajaratnam School of International Studies bersama The Republic of Singapore Navy pada Rabu (28/7/2021).
Konferensi internasional tersebut terbagi ke dalam 4 sesi dengan masing-masing tema dihadiri para Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) dari 11 negara dan 4 Kepala coast guard, para guru besar dari beberapa universitas, para pengusaha industri pelayaran, industri perkapalan serta pejabat organisasi internasional dan regional.
Konferensi dibuka secara resmi oleh KSAL Singapura Rear Admiral Aaron Beng dengan Menteri Pertahanan Singapura Ng Eng Hen sebagai pembicara utama. Sedangkan, pada sesi kedua, Laksdya TNI Amarulla Octavian yang menjadi pembicara memaparkan makalah berjudul “Maritime Connectivity and Resilience in the Post-Pandemic Maritime Environment”.
Dalam paparannya, Octavian menyampaikan peran Indonesia dalam menjamin keamanan jalur perdagangan laut internasional secara komprehensif sekaligus kontribusi Indonesia dalam konektivitas maritim dan ketahanan maritim. ”Kontribusi Indonesia yang paling utama adalah terselenggaranya Traffic Separation Scheme (TSS) di Selat Sunda dan Selat Lombok untuk mengurangi kepadatan lalu lintas di Selat Malaka sekaligus menjaga ekosistem kelautan Indonesia dari bahaya polusi,” paparnya.
Pada kesempatan tersebut, Laksdya TNI Amarulla Octavian juga menyerukan pentingnya kerja sama keamanan global untuk mengantisipasi biological terrorism. Bahaya Covid-19 sangat rawan digunakan sebagai senjata biologi oleh para teroris di masa mendatang. “Seluruh negara dapat menggunakan arsitektur kerja sama keamanan yang ada untuk menggelar Bio-Defence dan Bio-Intelligence,” tegasnya.
Inisiatif berikutnya, kata Octaviana, adalah pentingnya melakukan registrasi internasional untuk semua unmanned system yang digunakan oleh Angkatan Laut dan Coast Guard seluruh dunia. Seluruh UAV, USV dan USSV harus diregistrasi agar dapat diidentifikasi secara legal milik salah satu negara dan bukan milik pelaku tindak pidana di laut.
Para pembicara lain adalah 6 KSAL dari Amerika Serikat, Perancis, Jerman, India, Jepang, dan Malaysia, serta 3 Wakasal dari Cina, Australia, dan Inggris. Selain dari kalangan militer hadir pula para pembicara dari kalangan akademisi, praktisi dan pakar keamanan maritim.
Hal itu diungkapkan Octavian saat menjadi pembicara pada 7th International Maritime Security Conference yang diselenggarakan S. Rajaratnam School of International Studies bersama The Republic of Singapore Navy pada Rabu (28/7/2021).
Konferensi internasional tersebut terbagi ke dalam 4 sesi dengan masing-masing tema dihadiri para Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) dari 11 negara dan 4 Kepala coast guard, para guru besar dari beberapa universitas, para pengusaha industri pelayaran, industri perkapalan serta pejabat organisasi internasional dan regional.
Konferensi dibuka secara resmi oleh KSAL Singapura Rear Admiral Aaron Beng dengan Menteri Pertahanan Singapura Ng Eng Hen sebagai pembicara utama. Sedangkan, pada sesi kedua, Laksdya TNI Amarulla Octavian yang menjadi pembicara memaparkan makalah berjudul “Maritime Connectivity and Resilience in the Post-Pandemic Maritime Environment”.
Dalam paparannya, Octavian menyampaikan peran Indonesia dalam menjamin keamanan jalur perdagangan laut internasional secara komprehensif sekaligus kontribusi Indonesia dalam konektivitas maritim dan ketahanan maritim. ”Kontribusi Indonesia yang paling utama adalah terselenggaranya Traffic Separation Scheme (TSS) di Selat Sunda dan Selat Lombok untuk mengurangi kepadatan lalu lintas di Selat Malaka sekaligus menjaga ekosistem kelautan Indonesia dari bahaya polusi,” paparnya.
Pada kesempatan tersebut, Laksdya TNI Amarulla Octavian juga menyerukan pentingnya kerja sama keamanan global untuk mengantisipasi biological terrorism. Bahaya Covid-19 sangat rawan digunakan sebagai senjata biologi oleh para teroris di masa mendatang. “Seluruh negara dapat menggunakan arsitektur kerja sama keamanan yang ada untuk menggelar Bio-Defence dan Bio-Intelligence,” tegasnya.
Inisiatif berikutnya, kata Octaviana, adalah pentingnya melakukan registrasi internasional untuk semua unmanned system yang digunakan oleh Angkatan Laut dan Coast Guard seluruh dunia. Seluruh UAV, USV dan USSV harus diregistrasi agar dapat diidentifikasi secara legal milik salah satu negara dan bukan milik pelaku tindak pidana di laut.
Para pembicara lain adalah 6 KSAL dari Amerika Serikat, Perancis, Jerman, India, Jepang, dan Malaysia, serta 3 Wakasal dari Cina, Australia, dan Inggris. Selain dari kalangan militer hadir pula para pembicara dari kalangan akademisi, praktisi dan pakar keamanan maritim.
(cip)
tulis komentar anda