Cara Gibran Kembalikan Pungli Bisa Menggeser Popularitas Capres 2024
Kamis, 06 Mei 2021 - 06:45 WIB
JAKARTA - Direktur Eksekutif Sudut Demokrasi Riset dan Analisis (SUDRA) Fadhli Harahab menyatakan, langkah Wali Kota Surakarta, Gibran Rakabuming Raka yang mengembalikan uang hasil pungutan liar (Pungli) yang diduga dikumpulkan oleh oknum Linmas atas perintah seorang Lurah dianggap sesuatu yang baru dan patut diapresiasi dari sisi kebijakan publik seorang kepala daerah.
"Kita tahu pungli ini menjadi momok yang menakutkan bagi kalangan pedagang kecil. Apalagi cara-cara pungli biasanya muncul di momen-momen jelang Lebaran," kata Fadhli, Kamis (6/5/2021).
Menurut Fadhli, apa yang dilakukan kepala daerah muda yang juga putra sulung Presiden Jokowi itu terbilang baru. Gibran disebutnya berani mengambil kebijakan tersebut di saat kepala daerah lain tidak melakukan hal itu. Bahkan menurut Analis Politik asal UIN Jakarta ini, cara Gibran ini bisa dikonversi menjadi elektoral di kemudian hari.
Fadhli menganggap, setidaknya cara Gibran ini bisa mengganggu popularitas figur kepala daerah yang selama ini kerap terjaring lembaga survei dan menempati papan survei di posisi tiga sampai lima besar. "Sebut saja Mas Ganjar di Jawa Tengah, Anies di DKI dan Ridwan Kamil di Jawa Barat. Ketiga kepala daerah itu kita anggap sebagai 'trio survei' karena memang langganan survei," ungkapnya.
Apalagi, lanjut Fadhli, pada 2022 dan 2023 ketiga kepala daerah tersebut diprediksi tak memiliki panggung politik lagi setelah mereka tak lagi menjabat sebagai Gubernur di daerahnya masing-masing. "Praktis panggungnya hanya dimiliki elite parpol seperti Prabowo, Airlangga, Puan Maharani dan AHY (Agus Harimurti Yudhoyono). Dan AHY kalau kita perhatikan elektabilitasnya juga ajeg, enggak naik-naik. Elite partai hanya bersaing dengan menteri kabinet, lagi-lagi jika kita kaitkan dengan kontestasi 2024," ujarnya.
Kendati begitu, Gibran tetap sebagai kepala daerah yang baru memulai perjalanan politiknya. "Dia masih perlu diasah. Dan ketika dihubungkan dengan 2024 maka usianya masih belum mencukupi. Tapi caranya menggarap pungli bisa menjadi modal dasar untuk mengganggu para petarung di 2024," pungkasnya. (Rakhmatulloh)
"Kita tahu pungli ini menjadi momok yang menakutkan bagi kalangan pedagang kecil. Apalagi cara-cara pungli biasanya muncul di momen-momen jelang Lebaran," kata Fadhli, Kamis (6/5/2021).
Menurut Fadhli, apa yang dilakukan kepala daerah muda yang juga putra sulung Presiden Jokowi itu terbilang baru. Gibran disebutnya berani mengambil kebijakan tersebut di saat kepala daerah lain tidak melakukan hal itu. Bahkan menurut Analis Politik asal UIN Jakarta ini, cara Gibran ini bisa dikonversi menjadi elektoral di kemudian hari.
Fadhli menganggap, setidaknya cara Gibran ini bisa mengganggu popularitas figur kepala daerah yang selama ini kerap terjaring lembaga survei dan menempati papan survei di posisi tiga sampai lima besar. "Sebut saja Mas Ganjar di Jawa Tengah, Anies di DKI dan Ridwan Kamil di Jawa Barat. Ketiga kepala daerah itu kita anggap sebagai 'trio survei' karena memang langganan survei," ungkapnya.
Apalagi, lanjut Fadhli, pada 2022 dan 2023 ketiga kepala daerah tersebut diprediksi tak memiliki panggung politik lagi setelah mereka tak lagi menjabat sebagai Gubernur di daerahnya masing-masing. "Praktis panggungnya hanya dimiliki elite parpol seperti Prabowo, Airlangga, Puan Maharani dan AHY (Agus Harimurti Yudhoyono). Dan AHY kalau kita perhatikan elektabilitasnya juga ajeg, enggak naik-naik. Elite partai hanya bersaing dengan menteri kabinet, lagi-lagi jika kita kaitkan dengan kontestasi 2024," ujarnya.
Kendati begitu, Gibran tetap sebagai kepala daerah yang baru memulai perjalanan politiknya. "Dia masih perlu diasah. Dan ketika dihubungkan dengan 2024 maka usianya masih belum mencukupi. Tapi caranya menggarap pungli bisa menjadi modal dasar untuk mengganggu para petarung di 2024," pungkasnya. (Rakhmatulloh)
(cip)
Lihat Juga :
tulis komentar anda