Ketum PP Muhammadiyah Kritik Fenomena Munculnya Para Dai Instan

Minggu, 02 Mei 2021 - 10:00 WIB
Haedar Nashir mengatakan Muhammadiyah hadir untuk memberikan jawaban alternatif dan kontekstual menghadapi era disrupsi. Foto/suara muhammadiyah.id
JAKARTA - Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menyinggung fenomena munculnya dai-dai instan yang populer melalui sosial media (sosmed). Untuk itu, di tengah era disrupsi akibat kemajuan teknologi digital, gerakan pencerahan (tanwir) Muhammadiyah dianggap perlu digarap lebih serius.

Menurut Haedar, digarapnya gerakan tanwir ini utamanya adalah untuk menghadirkan jawaban-jawaban alternatif dan kontekstual agar umat tidak malah terjatuh ke dalam cara yang salah menghadapi era disrupsi. Alih-alih menjadikan ajaran Islam sebagai pedoman menjawab tantangan zaman, sebagian umat malah menjadi resisten dan serba defensif (menutup diri) dari realitas yang ada.

“Karena ada yang melawan dehumanisasi tapi lari pada pemahaman agama yang puritan, lari dari kehidupan. (gejala) Puritan dan anti kehidupan itu juga terjadi pada kehidupan nasional,” ungkap Haedar dalam forum Digital Society Discussion Series #5 Center of Southeast Asian Social Studies UGM, Sabtu (1/5/2021) kemarin.





Menurut Haedar, masalah itu diperparah oleh banyaknya dai-dai instan yang bermunculan di masa digital tanpa latar belakang disiplin keilmuan yang jelas.

“Ada dai-dai instan. Agama (Islam) memang demokratis, tapi kan beda kalau orang yang berilmu agama, mendalam dan luas itu tahu batas-batas ketika dia memberi panduan bagi umat. Kalau dai-dai instan kan tidak punya dasar,” kritiknya.

Parahnya lagi, sambung dia, para dai instan ini juga tidak berafiliasi dengan organisasi agama yang mapan sehingga seringkali mereka tak segan-segan untuk membuat kontroversi dengan menyampaikan hal-hal yang tidak substantif dan tidak sepatutnya.

“Sekarang banyak dai-dai yang online tapi populer. Nah maka buat mereka profesi (dai) itu juga tidak masalah karena mereka terbebas dari tanggungjawab komunitas,” imbuh Haedar.



Oleh karena itu, menurut Haedar, masalah-masalah ini harus dibaca dengan baik oleh pegiat Persyarikatan agar mampu menjaga umat tetap pada pandangan dan nilai-nilai keagamaan yang mencerahkan.

Sehingga, dia menambahkan, gerakan pencerahan Muhammadiyah harus dihadirkan untuk memberikan jawaban atas berbagai problem kemanusiaan, problem ekologis, menjunjung keadilan relasi gender baik secara struktural dan kultural.

“Bagaiamana nanti agama hadir di satu pihak sebagai lawan dehumanisasi, tapi di sisi lain juga harus adaptif terhadap relasi sosial yang inklusif, juga adaptif terhadap perubahan yang mengglobal dan kemanusian universal yang menyelamatkan kehidupan,” pesan Haedar.
(muh)
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More