Perempuan Indonesia Kian Berdaya
Rabu, 21 April 2021 - 06:19 WIB
JAKARTA - Wabah Covid-19 telah mengguncang berbagai lini kehidupan. Namun di tengah berbagai keterbatasan, para perempuan Indonesia justru bangkit menunjukkan semangatnya untuk tidak menyerah. Terobosan dan inovasi mereka pun menjadi inspirasi yang kuat untuk semakin berdaya.
Spirit kebangkitan perempuan seperti yang pernah ditorehkan oleh Raden Ajeng Kartini di akhir abad-19 tersebut menjadi modal besar bangsa Indonesia untuk memajukan peradaban menuju lebih baik. Peran perempuan pun tak bisa lagi pasif di tengah ketatnya kompetisi dan disrupsi digital.
Tingginya semangat berdaya para parempuan di era disrupsi dan pandemi tersebut antara lain terpotret pada kiprah Theresia Monica Rahardjo, Eny Retno Yaqut Cholil Qoumas, Cellica Nurrachadiana, Angela Tanoesoedibjo dan Ida Fauziyah.
Monica merupakan dokter Indonesia yang pertama kali menerapkan terapi plasma konvalesen (TPK) untuk pasien Covid-19. Terobosannya telah banyak membantu dan menyelamatkan ribuan jiwa orang yang terpapar virus korona. Mulai 1 Januari 2021, gerakan donor plasma konvalesen juga kian berkembang sehingga menjadi tulang punggung (back bone) dari proses penyediaan plasma. Lewat gerakan itu, total sekitar 33.000 paket plasma dari 13 ribu donor yang kemudian berhasil disalurkan ke seluruh wilayah Indonesia. Atas kerja kerasnya, Monica diganjar penghargaan dari Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI).
Statusnya perempuan bukan menjadi penghalang untuk menorehkan prestasi yang berguna bagi bangsa. “Perempuan harus berani menghargai dirinya sendiri. Artinya, bisa menghargai dirinya sebagai ibu dalam rumah tangga, ibu bangsa dalam suatu negara,” ujar ahli genetika dan biologi molekular Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Maranatha Bandung ini.
Menurut Monica, perempuan hebat bukan dilihat dari posisi, profesi atau jabatan. Hal terpenting adalah harus menjadi perempuan seutuhnya. Selain itu, hal lainnya yang mempengaruhi adalah kecerdasan IQ, EQ, sosial, dan lainnya. “Bukan berarti menjadi ibu rumah tangga tidak bisa berkarya. Boleh berkarya, berkarir tetapi juga sesuaikan dengan tugas kita. Selama bisa dilakukan dengan cinta, passion, semua itu termasuk uang akan bisa datang sendiri, akan mengikuti. Jangan dibalik,” pesannya.
Eny Retno Yaqut Cholil Qoumas juga tak henti menebarkan semangat hidup yang positif kepada kaum perempuan Indonesia. Lewat Dharma Wanita Persatuan (DWP) Kementerian Agama (Kemenag), Eny sangat aktif melakukan pemberdayaan ribuan perempuan Indonesia di tengah pandemi yang hingga kini belum bisa sepenuhnya terkendali.
Spirit kebangkitan perempuan seperti yang pernah ditorehkan oleh Raden Ajeng Kartini di akhir abad-19 tersebut menjadi modal besar bangsa Indonesia untuk memajukan peradaban menuju lebih baik. Peran perempuan pun tak bisa lagi pasif di tengah ketatnya kompetisi dan disrupsi digital.
Tingginya semangat berdaya para parempuan di era disrupsi dan pandemi tersebut antara lain terpotret pada kiprah Theresia Monica Rahardjo, Eny Retno Yaqut Cholil Qoumas, Cellica Nurrachadiana, Angela Tanoesoedibjo dan Ida Fauziyah.
Monica merupakan dokter Indonesia yang pertama kali menerapkan terapi plasma konvalesen (TPK) untuk pasien Covid-19. Terobosannya telah banyak membantu dan menyelamatkan ribuan jiwa orang yang terpapar virus korona. Mulai 1 Januari 2021, gerakan donor plasma konvalesen juga kian berkembang sehingga menjadi tulang punggung (back bone) dari proses penyediaan plasma. Lewat gerakan itu, total sekitar 33.000 paket plasma dari 13 ribu donor yang kemudian berhasil disalurkan ke seluruh wilayah Indonesia. Atas kerja kerasnya, Monica diganjar penghargaan dari Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI).
Statusnya perempuan bukan menjadi penghalang untuk menorehkan prestasi yang berguna bagi bangsa. “Perempuan harus berani menghargai dirinya sendiri. Artinya, bisa menghargai dirinya sebagai ibu dalam rumah tangga, ibu bangsa dalam suatu negara,” ujar ahli genetika dan biologi molekular Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Maranatha Bandung ini.
Menurut Monica, perempuan hebat bukan dilihat dari posisi, profesi atau jabatan. Hal terpenting adalah harus menjadi perempuan seutuhnya. Selain itu, hal lainnya yang mempengaruhi adalah kecerdasan IQ, EQ, sosial, dan lainnya. “Bukan berarti menjadi ibu rumah tangga tidak bisa berkarya. Boleh berkarya, berkarir tetapi juga sesuaikan dengan tugas kita. Selama bisa dilakukan dengan cinta, passion, semua itu termasuk uang akan bisa datang sendiri, akan mengikuti. Jangan dibalik,” pesannya.
Eny Retno Yaqut Cholil Qoumas juga tak henti menebarkan semangat hidup yang positif kepada kaum perempuan Indonesia. Lewat Dharma Wanita Persatuan (DWP) Kementerian Agama (Kemenag), Eny sangat aktif melakukan pemberdayaan ribuan perempuan Indonesia di tengah pandemi yang hingga kini belum bisa sepenuhnya terkendali.
tulis komentar anda