Menjinakkan Terorisme
Jum'at, 16 April 2021 - 05:05 WIB
Hasibullah Satrawi
Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir, Pengamat Terorisme dan Politik Timur Tengah
TERORISME, sebuah kata yang identik dengan kekerasan; bom, senjata, darah, aparat (junud, bahasa Arab), sadisme; luka-luka, tubuh yang hancur, korban meninggal, bahkan bom bunuh diri. Mirisnya adalah hal ini tak hanya diidentikkan dengan pelaku terorisme, melainkan juga tak jarang dikaitkan kepada para pihak yang berjuang untuk menyelesaikan terorisme, khususnya aparat. Bahkan, tak jarang mereka yang menjadi korban dari aksi terorisme ini juga terkena efek ngeri dari kata terorisme itu sendiri.
Padahal, terorisme tak selalu identik dengan kekerasan dan sadisme seperti di atas. Alih-alih di kalangan aparat yang berjuang untuk menyelesaikan persoalan terorisme ataupun masyarakat sipil yang terdampak aksi terorisme, bahkan di kalangan pelaku terorisme itu sendiri terorisme tak selamanya dan seluruhnya bercorak kekerasan dan kengerian. Minimal kalau kita merujuk kepada yang dirasakan oleh sebagian teroris. Itu sebabnya, tak jarang para teroris menolak disebut sebagai teroris (dengan konotasi sebagaimana di atas), malah mereka menyebut diri sebagai pejuang (mujahid, bahasa Arab).
Bila terorisme diurai dari tahap awal hingga akhir perjuangan yang ingin dicapai (visi), hal-hal bercorak kekerasan seperti yang selama ini identik dengan kata terorisme (sebagaimana di atas) merupakan tujuan antara yang sifatnya situasional dan kondisional. Sementara tujuan akhirnya adalah menegakkan sistem kehidupan bernegara yang sesuai dengan keyakinan mereka. Cita-cita terkait dengan penegakan sistem kehidupan bernegara yang sesuai dengan keyakinannya mungkin tidak hadir atau dimiliki oleh setiap pribadi yang bergabung dengan jaringan terorisme, tapi hampir dipastikan cita-cita tersebut menjadi tujuan dari organisasi teror yang diikuti.
Disebut situasional dan kondisional karena aksi kekerasan seperti penyerangan aparat ataupun pengeboman dilakukan untuk menaklukkan musuh-musuh yang dianggap sebagai thaghut atau penolong thaghut (ansor thaghut). Karena itu, mereka kerap menyebut aksinya dengan label-label heroik seperti mati syahid (mereka menolak disebut bunuh diri) yang nilainya sangat tinggi dalam ajaran Islam.
Di luar hal-hal yang bersifat situasional dan kondisional, hampir tak ada apa pun dari dunia terorisme yang bercorak kekerasan. Sebaliknya, hal-hal yang ada justru bercorak keagamaan, kepedulian, kehangatan, bahkan kepahlawanan, khususnya pada tahap proses awal.
Disebut keagamaan, karena sebagian orang bergabung dengan jaringan terorisme akibat ingin menemukan pola keberagamaan yang lebih murni dan sejati. Kebetulan jaringan terorisme acap mengklaim penjaga dan penerus keberagamaan yang murni dan sejati. Hingga akhirnya yang bersangkutan bergabung dengan kelompok teror dengan tujuan awal mempelajari keberagamaan yang dianggap sejati dan murni.
Pun demikian disebut kepedulian, karena sebagian orang bergabung dengan jaringan terorisme akibat peduli terhadap persoalan sosial-ekonomi-politik, khususnya yang menimpa umat yang satu agama. Seseorang yang bergabung dengan jaringan terorisme karena semangat ini kadang-kadang sampai pada tahap melupakan “saudara dekat” karena peduli dengan “saudara jauh”. Umat satu agama yang ada di luar negeri, misalnya, terasa sangat dekat dan perlu dibela. Walaupun dalam rangka pembelaan yang dilakukan, aksi para teroris justru melukai dan mengorbankan saudara dekat yang ada di dalam negeri.
Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir, Pengamat Terorisme dan Politik Timur Tengah
TERORISME, sebuah kata yang identik dengan kekerasan; bom, senjata, darah, aparat (junud, bahasa Arab), sadisme; luka-luka, tubuh yang hancur, korban meninggal, bahkan bom bunuh diri. Mirisnya adalah hal ini tak hanya diidentikkan dengan pelaku terorisme, melainkan juga tak jarang dikaitkan kepada para pihak yang berjuang untuk menyelesaikan terorisme, khususnya aparat. Bahkan, tak jarang mereka yang menjadi korban dari aksi terorisme ini juga terkena efek ngeri dari kata terorisme itu sendiri.
Padahal, terorisme tak selalu identik dengan kekerasan dan sadisme seperti di atas. Alih-alih di kalangan aparat yang berjuang untuk menyelesaikan persoalan terorisme ataupun masyarakat sipil yang terdampak aksi terorisme, bahkan di kalangan pelaku terorisme itu sendiri terorisme tak selamanya dan seluruhnya bercorak kekerasan dan kengerian. Minimal kalau kita merujuk kepada yang dirasakan oleh sebagian teroris. Itu sebabnya, tak jarang para teroris menolak disebut sebagai teroris (dengan konotasi sebagaimana di atas), malah mereka menyebut diri sebagai pejuang (mujahid, bahasa Arab).
Bila terorisme diurai dari tahap awal hingga akhir perjuangan yang ingin dicapai (visi), hal-hal bercorak kekerasan seperti yang selama ini identik dengan kata terorisme (sebagaimana di atas) merupakan tujuan antara yang sifatnya situasional dan kondisional. Sementara tujuan akhirnya adalah menegakkan sistem kehidupan bernegara yang sesuai dengan keyakinan mereka. Cita-cita terkait dengan penegakan sistem kehidupan bernegara yang sesuai dengan keyakinannya mungkin tidak hadir atau dimiliki oleh setiap pribadi yang bergabung dengan jaringan terorisme, tapi hampir dipastikan cita-cita tersebut menjadi tujuan dari organisasi teror yang diikuti.
Disebut situasional dan kondisional karena aksi kekerasan seperti penyerangan aparat ataupun pengeboman dilakukan untuk menaklukkan musuh-musuh yang dianggap sebagai thaghut atau penolong thaghut (ansor thaghut). Karena itu, mereka kerap menyebut aksinya dengan label-label heroik seperti mati syahid (mereka menolak disebut bunuh diri) yang nilainya sangat tinggi dalam ajaran Islam.
Di luar hal-hal yang bersifat situasional dan kondisional, hampir tak ada apa pun dari dunia terorisme yang bercorak kekerasan. Sebaliknya, hal-hal yang ada justru bercorak keagamaan, kepedulian, kehangatan, bahkan kepahlawanan, khususnya pada tahap proses awal.
Disebut keagamaan, karena sebagian orang bergabung dengan jaringan terorisme akibat ingin menemukan pola keberagamaan yang lebih murni dan sejati. Kebetulan jaringan terorisme acap mengklaim penjaga dan penerus keberagamaan yang murni dan sejati. Hingga akhirnya yang bersangkutan bergabung dengan kelompok teror dengan tujuan awal mempelajari keberagamaan yang dianggap sejati dan murni.
Pun demikian disebut kepedulian, karena sebagian orang bergabung dengan jaringan terorisme akibat peduli terhadap persoalan sosial-ekonomi-politik, khususnya yang menimpa umat yang satu agama. Seseorang yang bergabung dengan jaringan terorisme karena semangat ini kadang-kadang sampai pada tahap melupakan “saudara dekat” karena peduli dengan “saudara jauh”. Umat satu agama yang ada di luar negeri, misalnya, terasa sangat dekat dan perlu dibela. Walaupun dalam rangka pembelaan yang dilakukan, aksi para teroris justru melukai dan mengorbankan saudara dekat yang ada di dalam negeri.
tulis komentar anda