Menakar Program Deradikalisasi
Rabu, 07 April 2021 - 05:05 WIB
Rio Christiawan
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
INDONESIA kembali berduka setelah aksi bom bunuh diri terjadi di Gereja Katedral Makassar pada Minggu, 28 Maret 2021, dengan korban jiwa dan luka, serta aksi percobaan penyerangan Mabes Polri pada 31 Maret 2021. Peristiwa tersebut membawa dejavu bagi masyarakat Indonesia akan rentetan aksi radikal berupa aksi bom bunuh diri beruntun di beberapa kota pada Mei 2018. Kala itu Undang-Undang Nomor 5/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dipandang sebagai penyebab terjadinya serentetan aksi radikal.
Kala itu UU Nomor 5/2003 dipandang mengandung kelemahan karena tidak adanya wewenang aparat untuk menahan pihak-pihak yang dicurigai akan melakukan aksi radikal. Mengacu pada UU Nomor 5 Tahun 2003 penahanan terduga terorisme perlu melalui proses penyidikan yang dipandang memakan waktu sehingga aparat sering tidak dapat mengantisipasi pergerakan para terduga teroris.
Setelah terjadinya rentetan aksi radikal pada 2018 maka pemerintah bersama DPR merevisi UU Nomor 5/2003 menjadi Undang-Undang Nomor 5/2018 yang salah satu poin penting dalam revisinya adalah memberi hak kepada aparat kepolisian untuk melakukan penangkapan dan penahanan pada para terduga teroris tanpa melalui proses penyidikan. Tujuannya untuk menghindari aksi radikal sebagaimana terjadi pada Mei 2018.
Guna menjawab polemik atas pendekatan yang dipandang terlalu represif tersebut pada saat itu pemerintah juga menyampaikan gagasan dan program deradikalisasi sebagai upaya untuk menyelesaikan permasalahan radikalisasi.
Arah Deradikalisasi
Persoalannya setelah UU Nomor 5/2018 diberlakukan bahkan program deradikalisasi secara khusus diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 77/2019, masih terjadi aksi hasil radikalisasi yang membahayakan keselamatan masyarakat luas.
Memang tidak bijak serta-merta menyalahkan pemerintah atas terjadinya aksi radikal, namun sebaliknya pemerintah perlu melakukan introspeksi atas masih terjadinya aksi radikal di tengah masyarakat. Sejauh ini tampak jelas bahwa aparat penegak hukum lebih menggunakan UU Nomor 5/2018 pada aspek penegakan hukum (law enforcement) dengan adanya kewenangan yang lebih kuat dibanding UU Nomor 5/2003.
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
INDONESIA kembali berduka setelah aksi bom bunuh diri terjadi di Gereja Katedral Makassar pada Minggu, 28 Maret 2021, dengan korban jiwa dan luka, serta aksi percobaan penyerangan Mabes Polri pada 31 Maret 2021. Peristiwa tersebut membawa dejavu bagi masyarakat Indonesia akan rentetan aksi radikal berupa aksi bom bunuh diri beruntun di beberapa kota pada Mei 2018. Kala itu Undang-Undang Nomor 5/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dipandang sebagai penyebab terjadinya serentetan aksi radikal.
Kala itu UU Nomor 5/2003 dipandang mengandung kelemahan karena tidak adanya wewenang aparat untuk menahan pihak-pihak yang dicurigai akan melakukan aksi radikal. Mengacu pada UU Nomor 5 Tahun 2003 penahanan terduga terorisme perlu melalui proses penyidikan yang dipandang memakan waktu sehingga aparat sering tidak dapat mengantisipasi pergerakan para terduga teroris.
Setelah terjadinya rentetan aksi radikal pada 2018 maka pemerintah bersama DPR merevisi UU Nomor 5/2003 menjadi Undang-Undang Nomor 5/2018 yang salah satu poin penting dalam revisinya adalah memberi hak kepada aparat kepolisian untuk melakukan penangkapan dan penahanan pada para terduga teroris tanpa melalui proses penyidikan. Tujuannya untuk menghindari aksi radikal sebagaimana terjadi pada Mei 2018.
Guna menjawab polemik atas pendekatan yang dipandang terlalu represif tersebut pada saat itu pemerintah juga menyampaikan gagasan dan program deradikalisasi sebagai upaya untuk menyelesaikan permasalahan radikalisasi.
Arah Deradikalisasi
Persoalannya setelah UU Nomor 5/2018 diberlakukan bahkan program deradikalisasi secara khusus diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 77/2019, masih terjadi aksi hasil radikalisasi yang membahayakan keselamatan masyarakat luas.
Memang tidak bijak serta-merta menyalahkan pemerintah atas terjadinya aksi radikal, namun sebaliknya pemerintah perlu melakukan introspeksi atas masih terjadinya aksi radikal di tengah masyarakat. Sejauh ini tampak jelas bahwa aparat penegak hukum lebih menggunakan UU Nomor 5/2018 pada aspek penegakan hukum (law enforcement) dengan adanya kewenangan yang lebih kuat dibanding UU Nomor 5/2003.
tulis komentar anda