Indonesia Perlu Lakukan Backdoor Diplomacy Respons Situasi di Myanmar
Rabu, 10 Februari 2021 - 11:47 WIB
DEPOK - Situasi di Yangoon, Myanmar semakin memprihatinkan saat masyarakat melakukan demontrasi terkait penentangan terhadap milter yang melakukan kudeta. Polisi dan militer dikerahkan untuk membubarkan demonstrasi hingga memakan korban.
Melihat situasi demikian, negara-negara ASEAN tidak dapat berbuat banyak mengingat prinsip non-intervensi dalam urusan dalam negeri negara anggota. Meski demikian pemerintah Indonesia melalui pernyataan Kementerian Luar Negeri telah menyampaikan keprihatinannya dan mengharapkan penyelesaian damai yang mengedepankan dialog. Tentu ini jauh dari cukup agar kekerasan di Myanmar tidak terus berlanjut.
"Oleh karenanya Indonesia sebagai sahabat Myanmar perlu melakukan upaya lebih dalam meredakan kekerasan yang mungkin bereskalasi," kata Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana, Rabu (10/2/2021).
Menurutnya, salah satu cara yang perlu dilakukan Indonesia adalah dengan backdoor diplomacy. Diplomasi yang tidak menggunakan saluran formal, melainkan pendekatan informal melalui tokoh-tokoh berpengaruh di kedua negara.
"Indonesia perlu menyampaikan ke Myanmar bahwa di era saat ini penggunaan kekerasan oleh pemerintah terhadap rakyatnya sudah tidak dapat ditoleransi oleh masyarakat internasional," katanya.
Rektor Universitas Jenderal A Yani itu menjelaskan penggunaan kekerasan dapat berujung pada pelanggaran HAM berat dan para pemimpinnya akan dimintakan pertanggungjawaban secara hukum pidana internasional. Bahkan bila kekerasan berlanjut bukannya tidak mungkin masyarakat internasional dibawah naungan PBB melakukan intervensi bersenjata. Intervensi ini disebut sebagai Responsibility to Protect.
"Terlebih lagi penggunaan kekerasan akan berdampak pada perekonomian Myanmar yang sudah berkembang pesat dalam mengejar ketertinggalan dengan negara-negara ASEAN lainnya," katanya.
Melihat situasi demikian, negara-negara ASEAN tidak dapat berbuat banyak mengingat prinsip non-intervensi dalam urusan dalam negeri negara anggota. Meski demikian pemerintah Indonesia melalui pernyataan Kementerian Luar Negeri telah menyampaikan keprihatinannya dan mengharapkan penyelesaian damai yang mengedepankan dialog. Tentu ini jauh dari cukup agar kekerasan di Myanmar tidak terus berlanjut.
"Oleh karenanya Indonesia sebagai sahabat Myanmar perlu melakukan upaya lebih dalam meredakan kekerasan yang mungkin bereskalasi," kata Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana, Rabu (10/2/2021).
Menurutnya, salah satu cara yang perlu dilakukan Indonesia adalah dengan backdoor diplomacy. Diplomasi yang tidak menggunakan saluran formal, melainkan pendekatan informal melalui tokoh-tokoh berpengaruh di kedua negara.
"Indonesia perlu menyampaikan ke Myanmar bahwa di era saat ini penggunaan kekerasan oleh pemerintah terhadap rakyatnya sudah tidak dapat ditoleransi oleh masyarakat internasional," katanya.
Rektor Universitas Jenderal A Yani itu menjelaskan penggunaan kekerasan dapat berujung pada pelanggaran HAM berat dan para pemimpinnya akan dimintakan pertanggungjawaban secara hukum pidana internasional. Bahkan bila kekerasan berlanjut bukannya tidak mungkin masyarakat internasional dibawah naungan PBB melakukan intervensi bersenjata. Intervensi ini disebut sebagai Responsibility to Protect.
"Terlebih lagi penggunaan kekerasan akan berdampak pada perekonomian Myanmar yang sudah berkembang pesat dalam mengejar ketertinggalan dengan negara-negara ASEAN lainnya," katanya.
(abd)
tulis komentar anda