Terus Taati Protokol Kesehatan
Kamis, 04 Februari 2021 - 06:33 WIB
HAMPIR setahun pandemi Covid-19 melanda Tanah Air. Lonjakan kasus positif Covid-19 kian tak terbendung. Akibatnya, rumah sakit semakin penuh dan layanan pasien pun tak tersentuh. Di Jakarta saja, fasilitas kesehatan sudah dalam kondisi kritis dan berpotensi tak mampu menangani pasien yang terpapar Covid-19.
Contohnya, di beberapa Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di tingkat kecamatan. Penderita Covid-19 harus mendapat perawatan sementara di Instalasi Gawat Darurat (IGD) Puskesmas karena belum ada ruang perawatan di rumah sakit rujukan.
Pelayanan Puskesmas atau rumah sakit pun tidak bisa maksimal. Dalam kondisi penuh, pasien Covid-19 bisa jadi tidak masuk ruang isolasi melainkan di ruang biasa atau bahkan ruang emergency. Sehingga apabila ada pasien dengan kondisi kedaruratan lain harus mencari fasilitas kesehatan lain yang tidak sedang melayani pasien Covid-19.
Itu di Jakarta, yang fasilitas kesehatannya bertebaran di mana-mana, mulai dari kelurahan, kecamatan hingga rumah sakit tipe A yang banyak jumlahnya. Bagaimana denga di daerah, yang jumlah fasilitas kesehatannya tak sebanyak Jakarta, juga tenaga kesehatannya, dan peralatan medisnya? Tentunya fasilitas kesehatan di daerah akan menghadapi kondisi yang lebih menghawatirkan.
Dalam kondisi jumlah pasien membeludak, maka rumah sakit akan menangani pasien yang sudah ada, lalu bagaimana nasib pasien baru? Bahkan, pengelola rumah sakit di Jawa dan Bali menggambarkan mengalami gejala collapse syndrome di tengah penularan kasus Covid-19 yang terus melonjak. Hampir semua rumah sakit di Jawa dan Bali memiliki tingkat okupansi atau keterisian tempat tidur di atas 60%.
Sejatinya rumah sakit darurat perlu segera dibangun di Jawa mengingat di pulau ini jumlah kasus paling besar dengan penambahan yang besar pula. Pembangunan rumah sakit darurat di pulau Galang, Batam justru sia-sia belaka. Karena tidak mungkin mengangkut pasien yang membutuhkan penanganan segera dari Jawa ke Batam.
Rumah sakit sebenarnya sudah mengikuti seruan Menteri Kesehatan untuk menambah kapasitas tempat tidur untuk pasien Covid-19. Namun kondisinya tetap tidak sebanding dengan lonjakan pasien Covid-19 setiap hari yang jumlahnya diatas 10.000 kasus.
Dengan fasilitas dan sumber daya yang dikerahkan, nyatanya laju kasus nyaris mengalahkan kemampuan rumah sakit menampung lonjakan pasien Covid-19. Tanda-tanda kolaps layanan kesehatan sebenarnya sudah terindikasi sejak September 2020, yang kemudian mereda pada periode pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Jakarta. Jelang pertengahan November 2020, pilkada serentak dan libur Natal dan Tahun Baru memperburuk ketidakmampuan rumah sakit menampung pasien. Imbas libur tersebut, jumlah kasus aktif meningkat hingga 30-40%.
Langkah cepat dan taktis perlu segera diambil agar fasilitas kesehatan tidak semakin kritis dan berakhir dengan kolaps. Tak ada yang bisa dilakukan selain menerapkan aturan yang sungguh-sungguh dan tegas. Tak perlu lagi memakai alasan agar roda ekonomi berjalan, lalu segala aktivitas dilonggarkan. Toh, sudah 11 bulan kondisi yang ada tetap sama saja, ekonomi semakin memburuk, jumlah pasien semakin melambung.
Harus ada good will dari pemegang kekuasaan untuk sedikit berkorban dan mendesak kalangan dunia usaha untuk menghentikan kegiatan selama dua pekan. Lock down dua pekan yang seharusnya dilakukan di awal pandemi dengan alasan demi perekonomian tidak dilakukan, nyatanya malah memperburuk ekonomi nasional. Jika jumlah penderita Covid-19 terus melonjak, tentu orang akan enggan berbelanja, melakukan kegiatan konsumtif meskipun ruang-ruang perekonomian dibuka.
Hal yang juga penting adalah kesadaran masyarakat untuk mengurangi aktivitasnya. Terutama penerapaan protokol kesehatan yang ketat. Sebab, banyak dijumpai masyarakat yang berhasil lolos dari maut justru semakin abai dengan protokol yang seharusnya dipatuhi. Sebab, masih ada potensi serangan kedua yang mungkin menghadirkan maut, tak hanya bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi orang-orang di sekitarnya.
Contohnya, di beberapa Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di tingkat kecamatan. Penderita Covid-19 harus mendapat perawatan sementara di Instalasi Gawat Darurat (IGD) Puskesmas karena belum ada ruang perawatan di rumah sakit rujukan.
Pelayanan Puskesmas atau rumah sakit pun tidak bisa maksimal. Dalam kondisi penuh, pasien Covid-19 bisa jadi tidak masuk ruang isolasi melainkan di ruang biasa atau bahkan ruang emergency. Sehingga apabila ada pasien dengan kondisi kedaruratan lain harus mencari fasilitas kesehatan lain yang tidak sedang melayani pasien Covid-19.
Itu di Jakarta, yang fasilitas kesehatannya bertebaran di mana-mana, mulai dari kelurahan, kecamatan hingga rumah sakit tipe A yang banyak jumlahnya. Bagaimana denga di daerah, yang jumlah fasilitas kesehatannya tak sebanyak Jakarta, juga tenaga kesehatannya, dan peralatan medisnya? Tentunya fasilitas kesehatan di daerah akan menghadapi kondisi yang lebih menghawatirkan.
Dalam kondisi jumlah pasien membeludak, maka rumah sakit akan menangani pasien yang sudah ada, lalu bagaimana nasib pasien baru? Bahkan, pengelola rumah sakit di Jawa dan Bali menggambarkan mengalami gejala collapse syndrome di tengah penularan kasus Covid-19 yang terus melonjak. Hampir semua rumah sakit di Jawa dan Bali memiliki tingkat okupansi atau keterisian tempat tidur di atas 60%.
Sejatinya rumah sakit darurat perlu segera dibangun di Jawa mengingat di pulau ini jumlah kasus paling besar dengan penambahan yang besar pula. Pembangunan rumah sakit darurat di pulau Galang, Batam justru sia-sia belaka. Karena tidak mungkin mengangkut pasien yang membutuhkan penanganan segera dari Jawa ke Batam.
Rumah sakit sebenarnya sudah mengikuti seruan Menteri Kesehatan untuk menambah kapasitas tempat tidur untuk pasien Covid-19. Namun kondisinya tetap tidak sebanding dengan lonjakan pasien Covid-19 setiap hari yang jumlahnya diatas 10.000 kasus.
Dengan fasilitas dan sumber daya yang dikerahkan, nyatanya laju kasus nyaris mengalahkan kemampuan rumah sakit menampung lonjakan pasien Covid-19. Tanda-tanda kolaps layanan kesehatan sebenarnya sudah terindikasi sejak September 2020, yang kemudian mereda pada periode pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Jakarta. Jelang pertengahan November 2020, pilkada serentak dan libur Natal dan Tahun Baru memperburuk ketidakmampuan rumah sakit menampung pasien. Imbas libur tersebut, jumlah kasus aktif meningkat hingga 30-40%.
Langkah cepat dan taktis perlu segera diambil agar fasilitas kesehatan tidak semakin kritis dan berakhir dengan kolaps. Tak ada yang bisa dilakukan selain menerapkan aturan yang sungguh-sungguh dan tegas. Tak perlu lagi memakai alasan agar roda ekonomi berjalan, lalu segala aktivitas dilonggarkan. Toh, sudah 11 bulan kondisi yang ada tetap sama saja, ekonomi semakin memburuk, jumlah pasien semakin melambung.
Harus ada good will dari pemegang kekuasaan untuk sedikit berkorban dan mendesak kalangan dunia usaha untuk menghentikan kegiatan selama dua pekan. Lock down dua pekan yang seharusnya dilakukan di awal pandemi dengan alasan demi perekonomian tidak dilakukan, nyatanya malah memperburuk ekonomi nasional. Jika jumlah penderita Covid-19 terus melonjak, tentu orang akan enggan berbelanja, melakukan kegiatan konsumtif meskipun ruang-ruang perekonomian dibuka.
Hal yang juga penting adalah kesadaran masyarakat untuk mengurangi aktivitasnya. Terutama penerapaan protokol kesehatan yang ketat. Sebab, banyak dijumpai masyarakat yang berhasil lolos dari maut justru semakin abai dengan protokol yang seharusnya dipatuhi. Sebab, masih ada potensi serangan kedua yang mungkin menghadirkan maut, tak hanya bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi orang-orang di sekitarnya.
(bmm)
tulis komentar anda