Tiga Makna Anjloknya Indeks Persepsi Korupsi Indonesia versi ICW
Sabtu, 30 Januari 2021 - 19:40 WIB
JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) berpandangan ada tiga makna yang terkandung dalam penurunan skor Indeks Persepsi Korusi (IPK) Indonesia pada 2020 menjadi 37 dari skor 40 pada 2019.
Koordinator Badan Pekerja ICW, Adnan Topan Husodo menegaskan, secara garis besar ada tiga hal yang dapat dimaknai atas menurunnya skor IPK Indonesia pada 2020. Pertama, ketidakjelasan orientasi pemerintah dalam merumuskan kebijakan pemberantasan korupsi.
Sebagaimana diketahui, kata Adnan, terlepas dari perubahan regulasi kelembagaan KPK, maka sepanjang 2020 pemerintah dan DPR juga mengundangkan beberapa aturan yang mementingkan kelompok oligarki dan mengesampingkan nilai-nilai demokrasi. Sebut saja misalnya Omnibus Law atau UU Cipta Kerja.
Tak bisa dipungkiri, ujar Adnan, pengesahan dan pemberlakuan UU Cipta Kerja menunjukkan bahwa pemerintah maupun DPR hanya mengakomodasi kepentingan elit dalam kerangka investasi ekonomi dan mengesampingkan pentingnya tata Kelola pemerintahan yang baik.
"Padahal pada saat yang sama, legislasi yang dapat menjadi suplemen bagi penguatan pemberantasan korupsi, mulai dari revisi UU Tindak Pidana Korupsi, Rancangan UU Perampasan Aset, dan Rancangan UU Pembatasan Transaksi Tunai dapat dijadikan prioritas agenda. Namun, berbagai regulasi penting itu justru menggantung tanpa pembahasan," kata Adnan dalam siaran persnya, Sabtu (30/1/2021).
Baca juga: MAKI Beberkan Faktor Penyebab Turunnya Indeks Persepsi Korupsi Indonesia
Kedua, tutur dia, kegagalan reformasi penegak hukum dalam memaksimalkan penindakan perkara korupsi. Adnan mengatakan, kesimpulan ini bukan tanpa dasar. Merujuk pada data KPK, kata dia, jumlah penindakan mengalami penurunan drastis di sepanjang 2020 lalu. Mulai dari penyidikan, penuntutan, sampai pada instrumen penting seperti tangkap tangan.
"Akan tetapi, penurunan ini dapat dimaklumi karena adanya perubahan hukum acara penindakan yang mengakibatkan penegakan hukum menjadi tumpul," katanya.
Makna ketiga, lanjut Adnan, menurunnya performa KPK dalam pemberantasan korupsi. Sejak komisioner baru (periode 2019-2023) dilantik, praktis lembaga antirasuah itu banyak melahirkan kontroversi ketimbang memperlihatkan prestasi. Mundurnya kinerja KPK tentu tidak bisa dilepaskan dari keputusan politik Pemerintah dan DPR dalam menentukan komisioner KPK saat ini.
"Padahal KPK selama ini merupakan salah satu pilar penting pemberantasan korupsi yang menunjang kenaikan skor CPI Indonesia," ucap Adnan.
Koordinator Badan Pekerja ICW, Adnan Topan Husodo menegaskan, secara garis besar ada tiga hal yang dapat dimaknai atas menurunnya skor IPK Indonesia pada 2020. Pertama, ketidakjelasan orientasi pemerintah dalam merumuskan kebijakan pemberantasan korupsi.
Sebagaimana diketahui, kata Adnan, terlepas dari perubahan regulasi kelembagaan KPK, maka sepanjang 2020 pemerintah dan DPR juga mengundangkan beberapa aturan yang mementingkan kelompok oligarki dan mengesampingkan nilai-nilai demokrasi. Sebut saja misalnya Omnibus Law atau UU Cipta Kerja.
Tak bisa dipungkiri, ujar Adnan, pengesahan dan pemberlakuan UU Cipta Kerja menunjukkan bahwa pemerintah maupun DPR hanya mengakomodasi kepentingan elit dalam kerangka investasi ekonomi dan mengesampingkan pentingnya tata Kelola pemerintahan yang baik.
"Padahal pada saat yang sama, legislasi yang dapat menjadi suplemen bagi penguatan pemberantasan korupsi, mulai dari revisi UU Tindak Pidana Korupsi, Rancangan UU Perampasan Aset, dan Rancangan UU Pembatasan Transaksi Tunai dapat dijadikan prioritas agenda. Namun, berbagai regulasi penting itu justru menggantung tanpa pembahasan," kata Adnan dalam siaran persnya, Sabtu (30/1/2021).
Baca juga: MAKI Beberkan Faktor Penyebab Turunnya Indeks Persepsi Korupsi Indonesia
Kedua, tutur dia, kegagalan reformasi penegak hukum dalam memaksimalkan penindakan perkara korupsi. Adnan mengatakan, kesimpulan ini bukan tanpa dasar. Merujuk pada data KPK, kata dia, jumlah penindakan mengalami penurunan drastis di sepanjang 2020 lalu. Mulai dari penyidikan, penuntutan, sampai pada instrumen penting seperti tangkap tangan.
"Akan tetapi, penurunan ini dapat dimaklumi karena adanya perubahan hukum acara penindakan yang mengakibatkan penegakan hukum menjadi tumpul," katanya.
Makna ketiga, lanjut Adnan, menurunnya performa KPK dalam pemberantasan korupsi. Sejak komisioner baru (periode 2019-2023) dilantik, praktis lembaga antirasuah itu banyak melahirkan kontroversi ketimbang memperlihatkan prestasi. Mundurnya kinerja KPK tentu tidak bisa dilepaskan dari keputusan politik Pemerintah dan DPR dalam menentukan komisioner KPK saat ini.
"Padahal KPK selama ini merupakan salah satu pilar penting pemberantasan korupsi yang menunjang kenaikan skor CPI Indonesia," ucap Adnan.
(abd)
tulis komentar anda