Pandemi dan Ketahanan Pangan (Semu) Kota
Selasa, 26 Januari 2021 - 05:02 WIB
Tantan Hermansah
Pengajar Sosiologi Perkotaan, Ketua Program Magister KPI UIN Jakarta
SELAMA masa pandemi terjadi beragam gangguan yang cukup signifikan dalam kehidupan masyarakat kota. Gangguan yang cukup menyita energi tentu saja dalam aspek pendapatan banyak orang yang menurun tajam. Menurunnya pendapatan kebanyakan disumbang oleh beberapa faktor, seperti pemutusan hubungan kerja (PHK) dan pemotongan gaji.
Turunnya pendapatan juga disumbang oleh banyaknya aktivitas ekonomi tersier yang terhenti karena kebijakan pemerintah melakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) atau yang di masyarakat dikenal dengan istilah lockdown. Sebab pada masa PSBB ini, aktivitas sosial seperti berkumpul, kongko, termasuk pesta-pesta yang melibatkan banyak orang dan biaya, secara formal dilarang. Otomatis pusat-pusat keramaian menjadi sepi, meski tetap bisa diakses secara terbatas.
Begitu juga lembaga-lembaga pendidikan yang umumnya merupakan sumber mata pencaharian sektor informal, seperti ojek daring, pedagang kaki lima, angkot, jasa antar-jemput, dan sebagainya, pun harus berhenti dan otomatis “mematikan” para pelaku jasa yang terhubung dengan institusi ini.
Gangguan sektor transportasi pun rupanya cukup signifikan memukul ekonomi desa. Harga komoditas pertanian yang melambung di kota, ternyata tidak berbanding lurus dengan apa yang terjadi di desa. Hasil panen banyak yang tidak terangkut karena tidak ada atau kurangnya sarana transportasi. Akibatnya, banyak hasil-hasil pertanian tidak terdistribusi. Minimnya permintaan hasil pertanian di desa pun turut menjadi penyumbang murahnya harga komoditas ini.
Walau bagaimana, manusia pada hakikatnya terus membutuhkan pangan. Pangan adalah kebutuhan primer. Meski kenyataannya, pandemi memang telah mengubah pola konsumsi masyarakat. Di Yogyakarta, sebagai contoh, konsumsi pangan menurun sampai 50% (antaranews.com 13/07/2020). Menurunnya pola konsumsi ini juga terjadi di Kabupaten Temanggung, meski tidak sebesar di Yogyakarta. Namun di Temanggung terjadi peningkatan konsumsi lain, seperti pulsa, listrik, dan hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan bekerja atau belajar di rumah.
Akan tetapi jika dipikirkan lebih jauh, ketika suplai dari desa atau kawasan-kawasan pertanian berkurang, apakah konsumen di perkotaan memang benar menurunkan tingkat konsumsinya secara besar-besaran atau ada suplai lain yang memasok kebutuhan harian tersebut.
Urban Farming sebagai Solusi?
Pengajar Sosiologi Perkotaan, Ketua Program Magister KPI UIN Jakarta
SELAMA masa pandemi terjadi beragam gangguan yang cukup signifikan dalam kehidupan masyarakat kota. Gangguan yang cukup menyita energi tentu saja dalam aspek pendapatan banyak orang yang menurun tajam. Menurunnya pendapatan kebanyakan disumbang oleh beberapa faktor, seperti pemutusan hubungan kerja (PHK) dan pemotongan gaji.
Turunnya pendapatan juga disumbang oleh banyaknya aktivitas ekonomi tersier yang terhenti karena kebijakan pemerintah melakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) atau yang di masyarakat dikenal dengan istilah lockdown. Sebab pada masa PSBB ini, aktivitas sosial seperti berkumpul, kongko, termasuk pesta-pesta yang melibatkan banyak orang dan biaya, secara formal dilarang. Otomatis pusat-pusat keramaian menjadi sepi, meski tetap bisa diakses secara terbatas.
Begitu juga lembaga-lembaga pendidikan yang umumnya merupakan sumber mata pencaharian sektor informal, seperti ojek daring, pedagang kaki lima, angkot, jasa antar-jemput, dan sebagainya, pun harus berhenti dan otomatis “mematikan” para pelaku jasa yang terhubung dengan institusi ini.
Gangguan sektor transportasi pun rupanya cukup signifikan memukul ekonomi desa. Harga komoditas pertanian yang melambung di kota, ternyata tidak berbanding lurus dengan apa yang terjadi di desa. Hasil panen banyak yang tidak terangkut karena tidak ada atau kurangnya sarana transportasi. Akibatnya, banyak hasil-hasil pertanian tidak terdistribusi. Minimnya permintaan hasil pertanian di desa pun turut menjadi penyumbang murahnya harga komoditas ini.
Walau bagaimana, manusia pada hakikatnya terus membutuhkan pangan. Pangan adalah kebutuhan primer. Meski kenyataannya, pandemi memang telah mengubah pola konsumsi masyarakat. Di Yogyakarta, sebagai contoh, konsumsi pangan menurun sampai 50% (antaranews.com 13/07/2020). Menurunnya pola konsumsi ini juga terjadi di Kabupaten Temanggung, meski tidak sebesar di Yogyakarta. Namun di Temanggung terjadi peningkatan konsumsi lain, seperti pulsa, listrik, dan hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan bekerja atau belajar di rumah.
Akan tetapi jika dipikirkan lebih jauh, ketika suplai dari desa atau kawasan-kawasan pertanian berkurang, apakah konsumen di perkotaan memang benar menurunkan tingkat konsumsinya secara besar-besaran atau ada suplai lain yang memasok kebutuhan harian tersebut.
Urban Farming sebagai Solusi?
Lihat Juga :
tulis komentar anda