Menanti Sihir Joe Biden

Kamis, 21 Januari 2021 - 07:00 WIB
Joe Biden dan Kamala Harris akhirnya dilantik menjadi presiden dan wakil presiden Amerika Serikat setelah melewati banyak drama. (Ilustrasi: SINDONews/Wawan Bastian)
MATA dunia tertuju ke Washington DC, ibu kota Amerika Serikat (AS). Meskipun diwarnai beragam drama, akhirnya Presiden AS terpilih Joe Biden dilantik menjadi presiden ke-46 di Negeri Paman Sam itu. Tugas berat menanti Sleepy Joe, begitu sapaan Donal Trump saat debat Pilpres AS yang digelar November 2020 silam. Selain mengatasi pandemi korona (Covid-19) yang masih mengganas di negaranya, Biden harus memperkuat fondasi perekonomian negara adidaya itu yang hampir luluh lantak karena Covid-19.

Salah satu yang harus dilakukan adalah memulihkan hubungan dagang dengan negara-negara di luar Uni Eropa yang selama ini dikenal sebagai negara penyokong AS dalam kebijakan perekonomian dunia. Memang Joe Biden menjanjikan dana pemulihan ekonomi terbesar sepanjang sejarah AS, yakni USD1,9 triliun. Nilai itu masih ditambah sebesar USD2 triliun pada Maret mendatang plus USD900 miliar di pengujung 2019. Kebijakan ini memang mirip yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia.

Jumlah anggaran yang besar itu berasal dari utang, lagi-lagi mirip yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Artinya guyuran triliunan dolar AS itu bukan tanpa risiko. Risiko gagal bayar akan membuat ekonomi AS suram meskipun kebijakan yang populis itu didukung oleh kalangan pengusaha AS.

Tak hanya soal kebijakan dalam negerinya saja yang dinanti dunia, kebijakan luar negeri Biden juga sangat dinantikan. Banyak negara yang berharap perang dagang antara AS dengan China yang berlangsung di era presiden Donald Trump segera usai. Namun Amerika tetaplah Amerika. Meskipun dua kubu berseteru, untuk urusan kebijakan luar negeri Amerika membawa ciri khasnya tersendiri.



Lalu apa dampak kebijakan progresif Biden bagi negara-negara berkembang? Tentu saja dampaknya belum akan terasa dalam waktu dekat. Tapi sejarah menunjukkan, negara-negara berkembang kurang beruntung apabila berhadapan dengan AS. Contohnya tuduhan antidumping, antisubsidi, atas produk biofuel dari Indonesia di era Barrack Obama sehingga hingga saat ini biofuel tidak bisa lagi diekspor ke AS karena tuduhan anti-subsidinya dimenangi AS di level domestik maupun di level organisasi perdagangan dunia (WTO).

Tak hanya itu, Indonesia pernah masuk ke dalam ”jebakan” AS di era Donald Trump tatkala status Indonesia sebagai negara berkembang dicabut dan dimasukkan ke dalam negara maju di (WTO). Perubahan status tersebut tentunya terlihat keren, tetapi yang tidak disadari kebijakan itu berpotensi memukul neraca perdagangan Indonesia.

Sebab gara-gara pencabutan status ini, Indonesia berpotensi kehilangan fasilitas generalize system of preference (GSP) berupa keringanan bea masuk. Padahal Bank Dunia mencatat nilai gross national income (GNI) Indonesia per 2018 baru mencapai USD3.840, jauh di bawah batas minimum GNI senilai USD12.235 yang akan mendapat pengecualian insentif GSP dari AS. Menurut data Bank Dunia dengan nilai itu, Indonesia belum masuk kategori negara berpendapatan atas atau negara maju.

Karena itu apabila impor AS dari Indonesia, dengan status sebagai negara maju, menggunakan tarif normal atau most favoured nation (MFN), industri Indonesia bakal kehilangan daya saing. Sebelum Covid-19, AS menduduki posisi kedua sebagai negara tujuan ekspor Indonesia setelah China.

Secuil harapan masih terpencar tatkala Biden membawa gaya kepemimpinan yang lebih tenang dan kalem dibandingkan para pendahulunya. Setidaknya apabila dibandingkan dengan George W Bush, Barrack Obama, apalagi Donald Trump, diyakini Biden akan menghasilkan kebijakan-kebijakan yang lebih ramah.

Terpilihnya Joe Biden direspons positif oleh pasar, tak hanya di kawasan Amerika, tetapi hampir di seluruh dunia. Biden diyakini akan membawa kebijakan yang lebih akomodatif bagi pasar global, termasuk surat utang Indonesia.

Dengan serangkaian kebijakannya yang sudah dikumandangkan saat debat pilpres tahun lalu, apa yang akan dilakukan Biden diyakini meningkatkan minat investor asing untuk memasuki atau kembali ke pasar Indonesia. Kebijakan AS di bawah kepemimpinan presiden baru juga diharapkan akan berdampak baik bagi pasar saham global sebagai salah satu motor penggerak perekonomian dunia, termasuk di Indonesia. Harapannya, di bawah kepemimpinan Biden, AS akan lebih fokus pada perbaikan ekonomi yang lebih harmonis dengan mitra dagangnya. Semoga saja pelantikan Biden sebagai presiden AS akan memberikan dampak positif seiring dengan adanya harapan baru bagi pemulihan ekonomi AS dan dunia.
(bmm)
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More