Normalisasi Jadwal Pilkada agar Kepala Daerah Tak Diisi 'Sopir Cadangan'
Senin, 04 Januari 2021 - 09:12 WIB
JAKARTA - Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini mengaku, pihaknya sejak awal merekomendasikan agar dilakukan normalisasi jadwal pilkada . Bagi daerah yang akhir masa jabatan kepala daerahnya pada 2022 dan 2023, maka tetap dilaksanakan pemilihan yang pemungutan suaranya pada 2022 dan 2023.
(Baca juga: Jadwal Pilkada DKI Jakarta, Banten, Jabar, dan Jateng Perlu Dinormalisasi)
"Kalau dasar hukum berupa undang-undang yang diperlukan untuk merevisi Pasal 201 Ayat (8) UU Nomor 10 Tahun 2016 tidak bisa segera disediakan untuk mengejar penyelenggaraan Pilkada pada 2022, maka bisa saja misalnya pilkada untuk daerah-daerah yang akhir masa jabatannya pada 2022 seperti DKI Jakarta, Aceh, Papua, Barat, dan Banten, pemungutan suaranya digeser bersamaan dengan daerah yang akhir masa jabatannya pada 2023, yaitu setidaknya pada Juni 2023," papar Titi saat dihubungi SINDOnews, Senin (4/1/2021).
(Baca juga: Golkar Bidik Kandidat Pemenang Pilkada di Sulsel jadi Ketua)
Titi menganggap, pilkada serentak nasional pada November 2024 atau setelah pemilu nasional dianggap terlalu berisiko. Risiko itu baik dari sisi beban penyelenggaraan, kualitas pemilihan, maupun penetrasi politik gagasan dan program. Sehingga, normalisasi jadwal adalah pilihan yang bijaksana.
Di sisi lain, Pilkada serentak yang dilakukan 2020 kemarin diusulkan diselenggarakan pada Juni 2027 saja untuk seluruh daerah di Indonesia. Dengan demikian bagi kepala daerah hasil pilkada 2020 juga tidak perlu mengalami pemotongan masa jabatan secara ekstrim.
Titi menuturkan, berdasarkan data yang ada, terdapat 101 daerah yang akhir masa jabatan kepala daerahnya akan jatuh pada 2022, termasuk di dalamnya Gubernur DKI Jakarta dan Gubernur Banten, serta 170 daerah yang akhir masa jabatan kepala daerahnya pada 2023 yang di dalamnya terdapat Gubernur Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Dia menilai, jika pemungutan suara serentak nasional baru akan dijadwalkan pada November 2024, maka akan banyak sekali daerah yang dipimpin para penjabat kepala daerah.
"Padahal Kemendagri kan selalu mengatakan kepemimpinan penjabat kurang maksimal dalam menompang efektivitas tata kelola daerah, makanya pilkada 2020 lalu tidak bisa dimundurkan ke 2021. Pertimbangannya, supir cadangan (penjabat), tidak semaksimal kepemimpinan kepala daerah definitif," jelas mantan Direktur Eksekutif Perludem itu menandaskan.
(Baca juga: Jadwal Pilkada DKI Jakarta, Banten, Jabar, dan Jateng Perlu Dinormalisasi)
"Kalau dasar hukum berupa undang-undang yang diperlukan untuk merevisi Pasal 201 Ayat (8) UU Nomor 10 Tahun 2016 tidak bisa segera disediakan untuk mengejar penyelenggaraan Pilkada pada 2022, maka bisa saja misalnya pilkada untuk daerah-daerah yang akhir masa jabatannya pada 2022 seperti DKI Jakarta, Aceh, Papua, Barat, dan Banten, pemungutan suaranya digeser bersamaan dengan daerah yang akhir masa jabatannya pada 2023, yaitu setidaknya pada Juni 2023," papar Titi saat dihubungi SINDOnews, Senin (4/1/2021).
(Baca juga: Golkar Bidik Kandidat Pemenang Pilkada di Sulsel jadi Ketua)
Titi menganggap, pilkada serentak nasional pada November 2024 atau setelah pemilu nasional dianggap terlalu berisiko. Risiko itu baik dari sisi beban penyelenggaraan, kualitas pemilihan, maupun penetrasi politik gagasan dan program. Sehingga, normalisasi jadwal adalah pilihan yang bijaksana.
Di sisi lain, Pilkada serentak yang dilakukan 2020 kemarin diusulkan diselenggarakan pada Juni 2027 saja untuk seluruh daerah di Indonesia. Dengan demikian bagi kepala daerah hasil pilkada 2020 juga tidak perlu mengalami pemotongan masa jabatan secara ekstrim.
Titi menuturkan, berdasarkan data yang ada, terdapat 101 daerah yang akhir masa jabatan kepala daerahnya akan jatuh pada 2022, termasuk di dalamnya Gubernur DKI Jakarta dan Gubernur Banten, serta 170 daerah yang akhir masa jabatan kepala daerahnya pada 2023 yang di dalamnya terdapat Gubernur Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Dia menilai, jika pemungutan suara serentak nasional baru akan dijadwalkan pada November 2024, maka akan banyak sekali daerah yang dipimpin para penjabat kepala daerah.
"Padahal Kemendagri kan selalu mengatakan kepemimpinan penjabat kurang maksimal dalam menompang efektivitas tata kelola daerah, makanya pilkada 2020 lalu tidak bisa dimundurkan ke 2021. Pertimbangannya, supir cadangan (penjabat), tidak semaksimal kepemimpinan kepala daerah definitif," jelas mantan Direktur Eksekutif Perludem itu menandaskan.
(maf)
tulis komentar anda