Momentum Reshuffle Kabinet Jokowi
Senin, 21 Desember 2020 - 05:30 WIB
Pertama, hukum besi Jokowi. Sebagai presiden yang dipilih rakyat langsung, Jokowi memiliki kuasa penuh atas perombakan kabinet. Tak bisa diintervensi pihak manapun. Keputusan politiknya tak bisa diganggu gugat, mengikat kuat, dan berkekuatan hukum tetap. Mungkin hanya Tuhan yang bisa mengintervensi Presiden Jokowi. Selebihnya tak ada apalagi hanya ketua umum partai politik. Dalam konteks inilah hukum besi presiden itu perlu diuji materikan.
Kedua, hukum besi partai politik. Dalam sistem presidensialisme multipartai ekstrem, banyak kerumitan yang sukar diterabas nalar rasional. Salah satunya tentang otoritas memilih menteri. Meski presiden dipilih rakyat namun kuasa partai politik tak bisa dihilangkan. Bahkan menjadi faktor determinan yang kerap menyandera kuasa presiden. Tak heran jika dalam praktiknya soal rombak kabinet saja bisa berlarut-larut. Hukum besi partai politik bermata ganda. Yakni, untuk internal dan ekstenal partai politik.
Ketiga, hukum besi reshuffle tak mungkin terjadi pada ketua umum partai politik. Apapun judul kemarahan Jokowi, entah karena faktor kinerja atau alasan lain, pergantian kabinet bisa dipastikan tak akan dilakukan pada ketua umum partai politik yang saat ini jadi menteri. Inilah ruwetnya presiden hasil koalisional banyak partai politik. Presiden kerap “kontreversi hati” dalam memutuskan keputusan strategis seperti reshuffle kabinet.
Oleh karena itu, wacana rombak kabinet yang santer belakangan tak seindah keinginan publik di mana Presiden bisa seenak hati mengganti pembantu yang tak maksinal. Ada tembok tebal yang dihadapi Jokowi. Tentunya ini bagian dari sandera politik pemerintahan koalisional yang rumit. Alasan menjaga stabilitas dan dukungan politik sangat mengemuka dalam konteks ini. Jokowi telah belajar banyak dari periode pertama awal pemerintahannya yang tak bekutik melawan dominasi parlemen pendukung Prabowo Subianto.
Dilema
Sepertinya Jokowi terjebak dalam sebuah dilema akut soal desakan rehsuffle kabinet. Satu sisi banyak menteri yang kinerjanya memang tak bisa diharapkan lagi, namun sisi lain rombak kabinet bukan perkara gampang macam simsalabim. Antara pilihan kerja maksimal profesional dan stabilitas politik menjadi simalakama. Bukan tak mungkin reshuffle yang dilakukan di tengah pandemi Covid-19 justeru menciptakan gejolak politik tak terkendali.
Apalagi pada 2024 Jokowi tak bisa maju pemilihan umum presiden, maka ancaman stabilitas politik sangat rasional jadi pertimbangan utama. Sebab, partai politik serta aktor politik lain merasa tak butuh ke Jokowi lagi. Mereka bisa melakukan resistensi kapan pun tanpa diduga sebelumnya. Sekali lagi, ini bagian dari rumitnya rezim pemerintahan koalisional yang pola politiknya sukar ditebak, acak, yang sangat potensial muncul oposisi dari dalam seperti yang sering terjadi di era kedua Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Dalam konteks inilah ketegasan politik Jokowi diuji. Pilihan menjadi presiden bekerja tanpa beban atau berkompromi dengan suasana politik dipertaruhkan. Dua pilihan ruwet seperti buah simalakama. Namun, jika melihat kecenderungan publik, banyak yang berhadap Jokowi lebih memilih menjadi presiden tanpa beban politik. Tutup mata dengan dukungan politik mengganti menteri berkinerja buruk dengan pemain baru yang lebih fresh, berintegritas, dan total mengabdi pada negara. Bukan loyal pada kepentingan partai politik maupun segelintir elite oligarki ekonomi politik tertentu.
Jokowi mulai perlu segera memikirkan calon menteri pengganti yang setiap bangun pagi lebih memilih mengontak dirinya, bukan menteri atau calon menteri yang lebih memilih berkomunikasi dengan ketua umum partai atau aktor politik lain untuk melaporkan performa kinerja. Saat ini, yang dibutuhkan Jokowi totalitas pembantu sebagai syarat utama reshuffle.
Publik selalu berharap Jokowi tak berkompromi dengan sokongan politik. Warisan kinerja yang baik di periode kedua nyata sebagai pertaruhan legacy Jokowi sebagai presiden yang dikenang manis. Karenanya, mengganti menteri yang kinerjanya buruk adalah keniscayaan. Tak perlu ragu rakyat selalu di belakangan Jokowi. Ini momentum pas Jokowi menunjukkan kepada publik sebagai presiden pilihan rakyat yang bekerja tanpa beban, bukan presiden yang tersandera dukungan partai politik.
Kedua, hukum besi partai politik. Dalam sistem presidensialisme multipartai ekstrem, banyak kerumitan yang sukar diterabas nalar rasional. Salah satunya tentang otoritas memilih menteri. Meski presiden dipilih rakyat namun kuasa partai politik tak bisa dihilangkan. Bahkan menjadi faktor determinan yang kerap menyandera kuasa presiden. Tak heran jika dalam praktiknya soal rombak kabinet saja bisa berlarut-larut. Hukum besi partai politik bermata ganda. Yakni, untuk internal dan ekstenal partai politik.
Ketiga, hukum besi reshuffle tak mungkin terjadi pada ketua umum partai politik. Apapun judul kemarahan Jokowi, entah karena faktor kinerja atau alasan lain, pergantian kabinet bisa dipastikan tak akan dilakukan pada ketua umum partai politik yang saat ini jadi menteri. Inilah ruwetnya presiden hasil koalisional banyak partai politik. Presiden kerap “kontreversi hati” dalam memutuskan keputusan strategis seperti reshuffle kabinet.
Oleh karena itu, wacana rombak kabinet yang santer belakangan tak seindah keinginan publik di mana Presiden bisa seenak hati mengganti pembantu yang tak maksinal. Ada tembok tebal yang dihadapi Jokowi. Tentunya ini bagian dari sandera politik pemerintahan koalisional yang rumit. Alasan menjaga stabilitas dan dukungan politik sangat mengemuka dalam konteks ini. Jokowi telah belajar banyak dari periode pertama awal pemerintahannya yang tak bekutik melawan dominasi parlemen pendukung Prabowo Subianto.
Dilema
Sepertinya Jokowi terjebak dalam sebuah dilema akut soal desakan rehsuffle kabinet. Satu sisi banyak menteri yang kinerjanya memang tak bisa diharapkan lagi, namun sisi lain rombak kabinet bukan perkara gampang macam simsalabim. Antara pilihan kerja maksimal profesional dan stabilitas politik menjadi simalakama. Bukan tak mungkin reshuffle yang dilakukan di tengah pandemi Covid-19 justeru menciptakan gejolak politik tak terkendali.
Apalagi pada 2024 Jokowi tak bisa maju pemilihan umum presiden, maka ancaman stabilitas politik sangat rasional jadi pertimbangan utama. Sebab, partai politik serta aktor politik lain merasa tak butuh ke Jokowi lagi. Mereka bisa melakukan resistensi kapan pun tanpa diduga sebelumnya. Sekali lagi, ini bagian dari rumitnya rezim pemerintahan koalisional yang pola politiknya sukar ditebak, acak, yang sangat potensial muncul oposisi dari dalam seperti yang sering terjadi di era kedua Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Dalam konteks inilah ketegasan politik Jokowi diuji. Pilihan menjadi presiden bekerja tanpa beban atau berkompromi dengan suasana politik dipertaruhkan. Dua pilihan ruwet seperti buah simalakama. Namun, jika melihat kecenderungan publik, banyak yang berhadap Jokowi lebih memilih menjadi presiden tanpa beban politik. Tutup mata dengan dukungan politik mengganti menteri berkinerja buruk dengan pemain baru yang lebih fresh, berintegritas, dan total mengabdi pada negara. Bukan loyal pada kepentingan partai politik maupun segelintir elite oligarki ekonomi politik tertentu.
Jokowi mulai perlu segera memikirkan calon menteri pengganti yang setiap bangun pagi lebih memilih mengontak dirinya, bukan menteri atau calon menteri yang lebih memilih berkomunikasi dengan ketua umum partai atau aktor politik lain untuk melaporkan performa kinerja. Saat ini, yang dibutuhkan Jokowi totalitas pembantu sebagai syarat utama reshuffle.
Publik selalu berharap Jokowi tak berkompromi dengan sokongan politik. Warisan kinerja yang baik di periode kedua nyata sebagai pertaruhan legacy Jokowi sebagai presiden yang dikenang manis. Karenanya, mengganti menteri yang kinerjanya buruk adalah keniscayaan. Tak perlu ragu rakyat selalu di belakangan Jokowi. Ini momentum pas Jokowi menunjukkan kepada publik sebagai presiden pilihan rakyat yang bekerja tanpa beban, bukan presiden yang tersandera dukungan partai politik.
Lihat Juga :
tulis komentar anda