Penembakan 6 Laskar FPI, Refly Harun Tegaskan Tak Boleh Ada Negosiasi
Kamis, 17 Desember 2020 - 19:52 WIB
JAKARTA - Pakar hukum tata Negara, Refly Harun memiliki dua pandangan terkait insiden penembakan enam Laskar Front Pembela Islam (FPI) di Tol Jakarta-Cikampek pada 7 Desember lalu.
Dua pandangan itu, yakni pandangan hukum dan nonhukum. Namun intinya, Refly meminta agar kasus ini diinvestigasi secara terang benderang.
“Kalau terkait penembakan enam Laskar FPI di jalan tol itu adalah masalah hukum dan harus betul-betul diinvestigasi, diungkap seterang-terangnya siapa aktor yang bertanggung jawab mulai dari yang melakukan sampai yang menyuruh lakukan,” kata Refly dalam konferensi pers bersama Amien Rais dan tokoh lainnya di Restoran Pulau Dua, Senayan, Jakarta, Kamis (17/12/2020).
Refly menegaskan, jangan sampai ada negosiasi dalam pengungkapan kasus tersebut. Jika memang ada pelanggaran HAM, tidak boleh pihak yang bersalah dibiarkan lepas dan tidak ada keadilan.
“Itu memang tidak ada yang namanya negosiasi, karena kalau itu dikategorikan sebagai pelanggaran HAM, tidak boleh go unpunishment, tidak boleh dibiarkan tanpa keadilan jadi bring to justice,” katanya.(
Karena terduganya melibatkan dua pihak, sambung Refly, tentu saja dibutuhkan tim independen di luar pihak-pihak yang terlibat dalam masalah tersebut dalam hal ini Laskar FPI dan juga polisi.
Tim independen ini bisa difasilitasi oleh Komnas HAM, oleh presiden, DPR dan lain sebagainya. “Intinya kalau muaranya pengadilan HAM, maka kita menggunakan mekanisme yang diatur dalam UU Nomor 26/2000 di mana penyelidiknya adalah Komnas HAM dan penyidik dari jaksa Agung atau bisa jaksa independen,” kata Refly.(
)
Refly menegaskan, harus ada kepercayaan bahwa proses ini untuk betul-betul mengungkap kejadian sesungguhnya. "Tidak membiarkan siapa pun yang bersalah tidka dihukum, dan tidak boleh menyalahkan yang benar,” ujarnya.
Terkait masalah nonhukum, Refly sependapat untuk digelar dialog karena banyak hal yang bisa dilalui dalam masa pemerintahan Presiden Jokowi ini. Menurut Freedom House, Indonesia ini partly free atau separuh bebas.
"Tentu hal ini patut disayangkan karena reformasi rasanya baru kemarin terjadi, tetapi Indonesia seperti akan kembali ke otoritarianisme. Kita tidak inginkan sampai terjadi apalagi teman-teman media kalau balik pada otoritarianisme tidak ada kebebasan untuk meliput, untuk memuat dan itu akan menjadi penderitaan kita semua,” ungkapnya.
Oleh karena itu, Refly menuntut pemerintah untuk memelihara ruang demokrasi, ruang kebebasan dan tidak melulu menggunakan pasal atau hukum untuk siapapun yang berbeda pendapat untuk menjerat mereka.
“Dengan UU ITE misalnya yang awalnya bertujuan untuk melindungi transaksi elektronik dari penipuan dan lain sebagainya, tapi jadi alat represi rezim untuk menghukum orang-orang yang berbeda pendapat,” kata Refly.
Dua pandangan itu, yakni pandangan hukum dan nonhukum. Namun intinya, Refly meminta agar kasus ini diinvestigasi secara terang benderang.
“Kalau terkait penembakan enam Laskar FPI di jalan tol itu adalah masalah hukum dan harus betul-betul diinvestigasi, diungkap seterang-terangnya siapa aktor yang bertanggung jawab mulai dari yang melakukan sampai yang menyuruh lakukan,” kata Refly dalam konferensi pers bersama Amien Rais dan tokoh lainnya di Restoran Pulau Dua, Senayan, Jakarta, Kamis (17/12/2020).
Refly menegaskan, jangan sampai ada negosiasi dalam pengungkapan kasus tersebut. Jika memang ada pelanggaran HAM, tidak boleh pihak yang bersalah dibiarkan lepas dan tidak ada keadilan.
“Itu memang tidak ada yang namanya negosiasi, karena kalau itu dikategorikan sebagai pelanggaran HAM, tidak boleh go unpunishment, tidak boleh dibiarkan tanpa keadilan jadi bring to justice,” katanya.(
Karena terduganya melibatkan dua pihak, sambung Refly, tentu saja dibutuhkan tim independen di luar pihak-pihak yang terlibat dalam masalah tersebut dalam hal ini Laskar FPI dan juga polisi.
Tim independen ini bisa difasilitasi oleh Komnas HAM, oleh presiden, DPR dan lain sebagainya. “Intinya kalau muaranya pengadilan HAM, maka kita menggunakan mekanisme yang diatur dalam UU Nomor 26/2000 di mana penyelidiknya adalah Komnas HAM dan penyidik dari jaksa Agung atau bisa jaksa independen,” kata Refly.(
Baca Juga
Refly menegaskan, harus ada kepercayaan bahwa proses ini untuk betul-betul mengungkap kejadian sesungguhnya. "Tidak membiarkan siapa pun yang bersalah tidka dihukum, dan tidak boleh menyalahkan yang benar,” ujarnya.
Terkait masalah nonhukum, Refly sependapat untuk digelar dialog karena banyak hal yang bisa dilalui dalam masa pemerintahan Presiden Jokowi ini. Menurut Freedom House, Indonesia ini partly free atau separuh bebas.
"Tentu hal ini patut disayangkan karena reformasi rasanya baru kemarin terjadi, tetapi Indonesia seperti akan kembali ke otoritarianisme. Kita tidak inginkan sampai terjadi apalagi teman-teman media kalau balik pada otoritarianisme tidak ada kebebasan untuk meliput, untuk memuat dan itu akan menjadi penderitaan kita semua,” ungkapnya.
Oleh karena itu, Refly menuntut pemerintah untuk memelihara ruang demokrasi, ruang kebebasan dan tidak melulu menggunakan pasal atau hukum untuk siapapun yang berbeda pendapat untuk menjerat mereka.
“Dengan UU ITE misalnya yang awalnya bertujuan untuk melindungi transaksi elektronik dari penipuan dan lain sebagainya, tapi jadi alat represi rezim untuk menghukum orang-orang yang berbeda pendapat,” kata Refly.
(dam)
tulis komentar anda