TII: Pandemi Bikin Pekerja Perempuan Rentan Alami Rugi Ekonomi Hingga Kekerasan
Senin, 30 November 2020 - 15:23 WIB
JAKARTA - Bertahan di tengah pandemi COVID-19 tidaklah mudah. Selain dari kesehatan, hantaman wabah global tersebut juga berdampak pada perekonomian. Dampak itu dirasakan pula oleh para pekerja, termasuk kalangan perempuan yang bekerja di sektor informal.
Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute (TII), Nopitri Wahyuni mengungkapkan ada lima hal yang membuat tingkat kerentanan perempuan pekerja informal tak bisa dielakkan. Hal itu diungkapnya dalam kaitan Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan yang mengangkat potret perempuan pekerja informal bertahan di tengah pandemi. (Baca juga: Jadi Sejarah AS, Biden Tunjuk Tim Komunikasi yang Semuanya Perempuan)
“Perempuan pekerja dan pemilik usaha yang berada pada struktur ekonomi informal lebih cenderung menghadapi kerugian ekonomi secara disproporsional ketimbang laki-laki,” ujar Nopitri dalam penjelasannya kepada SINDOnews, Senin (30/11/2020).
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh UN Women tahun ini, aktivitas laki-laki akan pulih kembali seperti sebelum krisis ketika berbagai skema jaring pengaman sosial responsif diberlakukan. Hanya, dampak terhadap ketahanan ekonomi dan kesejahteraan perempuan masih akan berlangsung lama. Hal ini dapat dikaji melalui pengalaman pada epidemi Ebola yang memiliki dampak negatif secara disproporsional terhadap aktivitas ekonomi perempuan.
Kedua, lanjut Nopitri, sektor-sektor yang paling banyak terdampak adalah sektor pariwisata dan layanan makanan, usaha retail, manufaktur, dan lain-lain. Banyak perempuan yang bekerja pada sektor berisiko tinggi ini merupakan pekerja atau pemilik Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).
Merujuk survei Bank Indonesia (BI) di tahun ini, sebesar 72% dari pemilik UMKM di Indonesia terdampak oleh pandemi. Temuan dari Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, angkanya mencapai 185.184 pelaku usaha, terutama pada sektor pariwisata dan makanan/minuman. Terkait itu, BI pada 2018 mencatat total UMKM yang dimiliki oleh perempuan mencapai lebih dari 60%.
Selanjutnya adalah pandemi COVID-19 telah menimbulkan situasi rentan bagi perempuan pekerja informal ketimbang laki-laki yang semakin memperlebar ketimpangan gender. Perempuan seringkali kurang memiliki akses terhadap sumber daya produktif, seperti kredit keuangan, teknologi, akses terhadap kepemilikan lahan, tabungan, maupun kesempatan berjejaring dan rendahnya kemampuan dalam mengambil keputusan.
“Pada masa pandemi, banyak perempuan pekerja informal mengalami pengurangan jam kerja, penambahan biaya mobilitas, keterbatasan dalam mengakses pasar barang dan jasa, serta mengalami pengurangan permintaan konsumen ketika mereka memiliki usaha. Hal ini tentu mempersulit bagaimana upaya perempuan memulihkan kondisi sosio-ekonomi dengan keterbatasan sumber daya di atas,” urainya.
Keempat, hampir semua tipe dari pekerjaan informal yang dimasuki oleh perempuan terdampak secara negatif oleh COVID-19. Banyak perempuan terlibat dalam tipe pekerjaan informal dengan kerentanan sosio-ekonomi tinggi. Misalnya, penyediaan jasa dalam pekerjaan domestik maupun pekerjaan lainnya yang berbasis di rumah (home-based work) masih banyak diduduki oleh perempuan.
“Tipe pekerjaan informal itu banyak terkait dengan rendahnya produktivitas dan pendapatan, akses yang tidak memadai terhadap permodalan dan layanan publik, perlindungan sosial dan infrastruktur lain, serta kurangnya dukungan peningkatan keterampilan,” jelas dia. (Baca juga: Perempuan Singapura Lahirkan Bayi dengan Antibodi Covid-19)
Terakhir, sambung Nopitri, yakni perempuan pekerja informal rentan menghadapi kekerasan seiring adanya pembatasan sosial yang amat ketat. Di masa pandemi, banyak dari para pekerja tersebut menghadapi situasi pekerjaan yang tidak layak, mulai dari tidak menentunya jam kerja yang mengarah pada eksploitasi, risiko kekerasan fisik, tidak memiliki jaminan sosial dan lain-lain. Persoalan tersebut makin tidak rampung, apalagi dengan absennya perlindungan pekerja melalui payung kebijakan yang relevan.
Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute (TII), Nopitri Wahyuni mengungkapkan ada lima hal yang membuat tingkat kerentanan perempuan pekerja informal tak bisa dielakkan. Hal itu diungkapnya dalam kaitan Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan yang mengangkat potret perempuan pekerja informal bertahan di tengah pandemi. (Baca juga: Jadi Sejarah AS, Biden Tunjuk Tim Komunikasi yang Semuanya Perempuan)
“Perempuan pekerja dan pemilik usaha yang berada pada struktur ekonomi informal lebih cenderung menghadapi kerugian ekonomi secara disproporsional ketimbang laki-laki,” ujar Nopitri dalam penjelasannya kepada SINDOnews, Senin (30/11/2020).
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh UN Women tahun ini, aktivitas laki-laki akan pulih kembali seperti sebelum krisis ketika berbagai skema jaring pengaman sosial responsif diberlakukan. Hanya, dampak terhadap ketahanan ekonomi dan kesejahteraan perempuan masih akan berlangsung lama. Hal ini dapat dikaji melalui pengalaman pada epidemi Ebola yang memiliki dampak negatif secara disproporsional terhadap aktivitas ekonomi perempuan.
Kedua, lanjut Nopitri, sektor-sektor yang paling banyak terdampak adalah sektor pariwisata dan layanan makanan, usaha retail, manufaktur, dan lain-lain. Banyak perempuan yang bekerja pada sektor berisiko tinggi ini merupakan pekerja atau pemilik Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).
Merujuk survei Bank Indonesia (BI) di tahun ini, sebesar 72% dari pemilik UMKM di Indonesia terdampak oleh pandemi. Temuan dari Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, angkanya mencapai 185.184 pelaku usaha, terutama pada sektor pariwisata dan makanan/minuman. Terkait itu, BI pada 2018 mencatat total UMKM yang dimiliki oleh perempuan mencapai lebih dari 60%.
Selanjutnya adalah pandemi COVID-19 telah menimbulkan situasi rentan bagi perempuan pekerja informal ketimbang laki-laki yang semakin memperlebar ketimpangan gender. Perempuan seringkali kurang memiliki akses terhadap sumber daya produktif, seperti kredit keuangan, teknologi, akses terhadap kepemilikan lahan, tabungan, maupun kesempatan berjejaring dan rendahnya kemampuan dalam mengambil keputusan.
“Pada masa pandemi, banyak perempuan pekerja informal mengalami pengurangan jam kerja, penambahan biaya mobilitas, keterbatasan dalam mengakses pasar barang dan jasa, serta mengalami pengurangan permintaan konsumen ketika mereka memiliki usaha. Hal ini tentu mempersulit bagaimana upaya perempuan memulihkan kondisi sosio-ekonomi dengan keterbatasan sumber daya di atas,” urainya.
Keempat, hampir semua tipe dari pekerjaan informal yang dimasuki oleh perempuan terdampak secara negatif oleh COVID-19. Banyak perempuan terlibat dalam tipe pekerjaan informal dengan kerentanan sosio-ekonomi tinggi. Misalnya, penyediaan jasa dalam pekerjaan domestik maupun pekerjaan lainnya yang berbasis di rumah (home-based work) masih banyak diduduki oleh perempuan.
“Tipe pekerjaan informal itu banyak terkait dengan rendahnya produktivitas dan pendapatan, akses yang tidak memadai terhadap permodalan dan layanan publik, perlindungan sosial dan infrastruktur lain, serta kurangnya dukungan peningkatan keterampilan,” jelas dia. (Baca juga: Perempuan Singapura Lahirkan Bayi dengan Antibodi Covid-19)
Terakhir, sambung Nopitri, yakni perempuan pekerja informal rentan menghadapi kekerasan seiring adanya pembatasan sosial yang amat ketat. Di masa pandemi, banyak dari para pekerja tersebut menghadapi situasi pekerjaan yang tidak layak, mulai dari tidak menentunya jam kerja yang mengarah pada eksploitasi, risiko kekerasan fisik, tidak memiliki jaminan sosial dan lain-lain. Persoalan tersebut makin tidak rampung, apalagi dengan absennya perlindungan pekerja melalui payung kebijakan yang relevan.
(kri)
tulis komentar anda