Ketua MPR Kecewa Cara Kemlu Tangani Kasus Kematian WNI di Kapal China
Minggu, 10 Mei 2020 - 12:15 WIB
JAKARTA - Ketua MPR Bambang Soesatyo menyesalkan respons Kementerian Luar Negeri (Kemlu) terkait peristiwa meninggalnya anak buah kapal (ABK) asal Indonesia akibat tindakan eksploitasi oleh pemilik kapal penangkap Ikan Long Xing 629 dari China.
Kemlu dinilainya tidak responsif mengurusi aspek administratif bagi para ABK yang meninggal itu. “Akibat kelambanan dan sikap minimalis itu, para almarhum dan keluarganya tidak mendapatkan perlakuan yang layak,” kata pria yang biasa disapa Bamsoet itu dalam keterangannya, Minggu (10/5/2020).
Mantan Ketua DPR melanjutkan, akibat lainnya, masyarakat baru mengetahui peristiwa pelarungan jenazah dan eksploitasi ABK WNI itu pada pekan kedua Mei 2020. Padahal, peristiwa kematian dan pelarungan tiga ABK WNI terjadi pada Desember 2019 dan Maret 2020.
“Lagi pula viralnya peristiwa ini bukan karena inisiatif institusi pemerintah berbagi informasi kepada masyarakat. Tetapi, karena pemberitaan pers Korea Selatan dan aksi warganet memviralkannya,” lanjut Bamsoet.
Bamsoet mengungkapkan, dari kolega para almarhum diperoleh informasi bahwa laporan tentang peristiwa kematian dan pelarungan jenazah ABK WNI di kapal ikan Long Xing 629 sudah masuk dan diterima Kemenlu RI sejak Desember 2019.
Kolega almarhum bahkan sudah mendatangi Kemlu. Selain melaporkan identitas para ABK yang meninggal, mereka juga meminta Kemlu mendorong KBRI Seoul di Korsel untuk mengeluarkan atau menerbitkan Surat Keterangan Kematian untuk keperluan mengurus asuransi bagi ketiga almarhum.
“Surat ini penting karena asuransi di Indonesia baru bisa membayar asuransi ketiga almarhum, jika ada Surat Keterangan Kematian yang diterbitkan oleh Kementerian Luar Negeri RI cq KBRI,” urainya.( )
Namun, Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini menyayangkan permintaan surat tersebut sama sekali tidak direspons oleh Kemlu sejak Desember 2019.
Akibatnya, asuransi para almarhum tak bisa diurus selama berbulan-bulan. Untuk membantu keluarga almarhum yang pasti mengalami kesulitan, para kolega hanya bisa memberi sebagian dari total Rp150 juta nilai asuransi.
“Ketika informasi kematian dan pelarungan jenazah tiga ABK WNI itu mulai viral di dalam negeri, barulah Kemenlu RI dan KBRI Seoul bergerak menerbitkan Surat Keterangan Kematian itu. Cara kerja seperti ini sangat mengecewakan, karena bisa menumbuhkan citra negatif bagi pemerintah. Ketika ada WNI yang meninggal di negara lain akibat eksploitasi, Kemlu dan KBRI hendaknya responsif untuk menunjukan kehadiran negara dan pemerintah,” tutur Bamsoet.
Kemlu dinilainya tidak responsif mengurusi aspek administratif bagi para ABK yang meninggal itu. “Akibat kelambanan dan sikap minimalis itu, para almarhum dan keluarganya tidak mendapatkan perlakuan yang layak,” kata pria yang biasa disapa Bamsoet itu dalam keterangannya, Minggu (10/5/2020).
Mantan Ketua DPR melanjutkan, akibat lainnya, masyarakat baru mengetahui peristiwa pelarungan jenazah dan eksploitasi ABK WNI itu pada pekan kedua Mei 2020. Padahal, peristiwa kematian dan pelarungan tiga ABK WNI terjadi pada Desember 2019 dan Maret 2020.
“Lagi pula viralnya peristiwa ini bukan karena inisiatif institusi pemerintah berbagi informasi kepada masyarakat. Tetapi, karena pemberitaan pers Korea Selatan dan aksi warganet memviralkannya,” lanjut Bamsoet.
Bamsoet mengungkapkan, dari kolega para almarhum diperoleh informasi bahwa laporan tentang peristiwa kematian dan pelarungan jenazah ABK WNI di kapal ikan Long Xing 629 sudah masuk dan diterima Kemenlu RI sejak Desember 2019.
Kolega almarhum bahkan sudah mendatangi Kemlu. Selain melaporkan identitas para ABK yang meninggal, mereka juga meminta Kemlu mendorong KBRI Seoul di Korsel untuk mengeluarkan atau menerbitkan Surat Keterangan Kematian untuk keperluan mengurus asuransi bagi ketiga almarhum.
“Surat ini penting karena asuransi di Indonesia baru bisa membayar asuransi ketiga almarhum, jika ada Surat Keterangan Kematian yang diterbitkan oleh Kementerian Luar Negeri RI cq KBRI,” urainya.( )
Namun, Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini menyayangkan permintaan surat tersebut sama sekali tidak direspons oleh Kemlu sejak Desember 2019.
Akibatnya, asuransi para almarhum tak bisa diurus selama berbulan-bulan. Untuk membantu keluarga almarhum yang pasti mengalami kesulitan, para kolega hanya bisa memberi sebagian dari total Rp150 juta nilai asuransi.
“Ketika informasi kematian dan pelarungan jenazah tiga ABK WNI itu mulai viral di dalam negeri, barulah Kemenlu RI dan KBRI Seoul bergerak menerbitkan Surat Keterangan Kematian itu. Cara kerja seperti ini sangat mengecewakan, karena bisa menumbuhkan citra negatif bagi pemerintah. Ketika ada WNI yang meninggal di negara lain akibat eksploitasi, Kemlu dan KBRI hendaknya responsif untuk menunjukan kehadiran negara dan pemerintah,” tutur Bamsoet.
(dam)
tulis komentar anda