PSBB Transisi Butuh Kesadaran Tinggi
Selasa, 13 Oktober 2020 - 06:16 WIB
KEPUTUSAN Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang mulai kemarin hingga dua pekan ke depan memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tipe transisi tentu agak melegakan hati. Melegakan lantaran beberapa pelonggaran baru tak ayal membuat kepenatan-kepenatan warga selama ini seolah terobati. Dari sudut pandang ekonomi, PSBB transisi ini juga dinanti-nanti kalangan usaha karena diyakini akan menghidupkan lagi sumber-sumber rezeki mereka.
Menjulangnya rasa optimisme publik itu tak berlebihan. Masyarakat umumnya sudah jengah karena sekitar enam bulan terakhir tidak bisa beraktivitas lagi seperti sedia kala. Tak hanya berdampak pada kontraksi keuangan, pandemi juga secara tak langsung menghadirkan disonansi kognitif. Ini membuat masyarakat dituntut untuk hidup semeleh dan adaptif menghadapi realitas yang banyak tidak pasti ini. Jika gagal mengelola hati, sangat mungkin kejiwaan akan mudah terganggu.
Praktis, PSSB transisi menjadi babak dan harapan baru bagi banyak orang untuk bangkit lagi. Tentu hidup dalam kondisi yang belum sepenuhnya normal ini butuh kesiapan mental dan taktik yang tak biasa. Siap mental dalam arti tiap individu harus memiliki kesadaran baru bahwa kondisi saat ini masih bersifat transisi atau peralihan. Lantaran transisi, hakikatnya kita ini belum bebas dari ancaman pandemi. Dasar Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengubah PSBB dari ketat ke transisi lagi sebatas berpatokan data-data kasus positif baru harian, kematian, dan okupansi rumah sakit rujukan yang mulai mengalami deklinasi. Artinya, virus Covid-19 belum benar-benar terkendali dan masih mengintai di sekitar kita.
Penurunan angka, okupansi, kematian dan lain sebagainya itu juga bukan harga mati. Sangat mungkin jika semua kembali larut dengan nuansa kebebasan baru dalam pelonggaran ini, maka kurva Covid-19 akan menukik naik lagi. Dan, pengetatan lagi atau rem darurat dalam istilah Anies, efektivitasnya belum dijamin akan lebih baik seperti saat PSBB ketat. Hal itu tak berlebihan, sebab beban psikologis masyarakat sudah telanjur berat kala menjalani hidup dalam pembatasan. Apalagi, jika kontrol terhadap kebijakan itu lemah di lapangan, maka kepercayaan publik terhadap kebijakan pemerintah akan terdegradasi.
Kita semua tentu tidak ingin kurva-kurva kasus Covid-19 ke depan menjulang tinggi lagi. Sebab, jika itu terjadi, maka sangat mahal dan besar risiko yang bakal dihadapi. Di tengah kondisi yang serba belum pasti ini, terus membangun kesadaran dan kewaspadaan diri adalah sebuah keharusan. Tak hanya bagi masyarakat, pemerintah berikut aparat negara juga didorong memiliki tanggung jawab yang sama untuk memulihkan kondisi saat ini.
Benar memang melalui peraturan gubernur terbaru, Anies telah menata dengan rinci ketentuan bioskop saat PSBB transisi ini. Demikian pula, rumah makan, kafe, restoran da pernikahan juga telah diberi pemahaman pentingnya menjaga protokol kesehatan secara ketat, seperti menjaga jarak, aturan wajib bermasker, penggunaan plastik tangan, hand sanitizer dan lain sebagainya. Namun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dipastikan tidak akan mampu terus mengawasi aktivitas harian sektor-sektor yang diberi hak kelonggaran tersebut.
Ketegasan aparat meski masih dalam tahap parsial dalam mengenakan sanksi selama ini bukanlah jawaban esensial dalam persoalan lemahnya kepatuhan publik. Yang lebih penting, masing-masing individu baik itu masyarakat biasa, pengusaha, aparat hingga pejabat memiliki gelombang yang sama, yaitu kewaspadaan dan kesadaran tinggi bersama. Tanpa sikap mental yang dibalut kolektivitas semacam itu, maka sangat mungkin kita akan masuk dalam jebakan PSBB transisi lagi.
Menjulangnya rasa optimisme publik itu tak berlebihan. Masyarakat umumnya sudah jengah karena sekitar enam bulan terakhir tidak bisa beraktivitas lagi seperti sedia kala. Tak hanya berdampak pada kontraksi keuangan, pandemi juga secara tak langsung menghadirkan disonansi kognitif. Ini membuat masyarakat dituntut untuk hidup semeleh dan adaptif menghadapi realitas yang banyak tidak pasti ini. Jika gagal mengelola hati, sangat mungkin kejiwaan akan mudah terganggu.
Praktis, PSSB transisi menjadi babak dan harapan baru bagi banyak orang untuk bangkit lagi. Tentu hidup dalam kondisi yang belum sepenuhnya normal ini butuh kesiapan mental dan taktik yang tak biasa. Siap mental dalam arti tiap individu harus memiliki kesadaran baru bahwa kondisi saat ini masih bersifat transisi atau peralihan. Lantaran transisi, hakikatnya kita ini belum bebas dari ancaman pandemi. Dasar Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengubah PSBB dari ketat ke transisi lagi sebatas berpatokan data-data kasus positif baru harian, kematian, dan okupansi rumah sakit rujukan yang mulai mengalami deklinasi. Artinya, virus Covid-19 belum benar-benar terkendali dan masih mengintai di sekitar kita.
Penurunan angka, okupansi, kematian dan lain sebagainya itu juga bukan harga mati. Sangat mungkin jika semua kembali larut dengan nuansa kebebasan baru dalam pelonggaran ini, maka kurva Covid-19 akan menukik naik lagi. Dan, pengetatan lagi atau rem darurat dalam istilah Anies, efektivitasnya belum dijamin akan lebih baik seperti saat PSBB ketat. Hal itu tak berlebihan, sebab beban psikologis masyarakat sudah telanjur berat kala menjalani hidup dalam pembatasan. Apalagi, jika kontrol terhadap kebijakan itu lemah di lapangan, maka kepercayaan publik terhadap kebijakan pemerintah akan terdegradasi.
Kita semua tentu tidak ingin kurva-kurva kasus Covid-19 ke depan menjulang tinggi lagi. Sebab, jika itu terjadi, maka sangat mahal dan besar risiko yang bakal dihadapi. Di tengah kondisi yang serba belum pasti ini, terus membangun kesadaran dan kewaspadaan diri adalah sebuah keharusan. Tak hanya bagi masyarakat, pemerintah berikut aparat negara juga didorong memiliki tanggung jawab yang sama untuk memulihkan kondisi saat ini.
Benar memang melalui peraturan gubernur terbaru, Anies telah menata dengan rinci ketentuan bioskop saat PSBB transisi ini. Demikian pula, rumah makan, kafe, restoran da pernikahan juga telah diberi pemahaman pentingnya menjaga protokol kesehatan secara ketat, seperti menjaga jarak, aturan wajib bermasker, penggunaan plastik tangan, hand sanitizer dan lain sebagainya. Namun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dipastikan tidak akan mampu terus mengawasi aktivitas harian sektor-sektor yang diberi hak kelonggaran tersebut.
Ketegasan aparat meski masih dalam tahap parsial dalam mengenakan sanksi selama ini bukanlah jawaban esensial dalam persoalan lemahnya kepatuhan publik. Yang lebih penting, masing-masing individu baik itu masyarakat biasa, pengusaha, aparat hingga pejabat memiliki gelombang yang sama, yaitu kewaspadaan dan kesadaran tinggi bersama. Tanpa sikap mental yang dibalut kolektivitas semacam itu, maka sangat mungkin kita akan masuk dalam jebakan PSBB transisi lagi.
(bmm)
tulis komentar anda