Muhammadiyah Dorong Lembaga ZIS Bangun Kerja Sama Strategis
Minggu, 03 Mei 2020 - 20:00 WIB
JAKARTA - Sekteraris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti mengatakan, ada enam filantrofi Islam yakni zakat, infak, sedekah, wakaf, hibah, dan hadiah. Jika dikelola secara maksimal dan profesional, filantrofi bisa menjadi soko guru ekonomi karena potensinya sangat besar.
"Akan tetapi potensi itu belum terealisasi. Pertama, masyarakat masih cenderung membayar dan membagi sedekah secara sendiri-sendiri karena alasan keyakinan, kemudahan, kepuasan, dan kepercayaan kepada lembaga/badan zakat. Pembagian zakat seperti ini cenderung karikatif, cash and carry. Dampaknya sangat jangka pendek dan tidak maksimal," katanya dihubungi SINDOnews, Minggu (3/5/2020).
Kedua, badan dan lembaga ZIS cenderung berjalan sendiri-sendiri. Kerja sama antarlembaga masih sangat kurang, bahkan terkesan ada persaingan. "Lembaga atau badan sebagai amil mendapatkan bagian dari sedekah yang terkumpul. Itu sah sesuai syariat dan UU Zakat, akan tetapi keinginan memperoleh bagian itu dalam hal tertentu menjadi kendala kerja sama," paparnya. ( Baca juga: Pandemi Corona, Zakat Baznas di Awal Ramadhan Lampaui Target ).
Ketiga, ada persoalan mentalitas masyarakat yang cenderung pasif sebagai penerima sedekah (mustahik). Berbagai model pemberdayaan belum berhasil mengubah mustahik menjadi muzakki karena faktor mentalitas ini.
"Filantrofi Islam bisa lebih maksimal jika lembaga/badan ZIS dapat lebih bersinergi dan membangun kerja sama yang strategis. Perlu ada edukasi melalui pengajian dan oleh lembaga/badan ZIS untuk mengubah mindset masyarakat bahwa menjadi mandiri dan memberi lebih baik dari meminta dan menerima sedekah," tuturnya.
Diketahui, potensi zakat di Indonesia mencapai ratusan triliun. Jika bisa diptimalkan, zakat bisa menjadi penyelamat untuk mengatasi kemiskinan di tengan pandemi Covid-19 yang saat ini sedang melanda negeri ini.
"Akan tetapi potensi itu belum terealisasi. Pertama, masyarakat masih cenderung membayar dan membagi sedekah secara sendiri-sendiri karena alasan keyakinan, kemudahan, kepuasan, dan kepercayaan kepada lembaga/badan zakat. Pembagian zakat seperti ini cenderung karikatif, cash and carry. Dampaknya sangat jangka pendek dan tidak maksimal," katanya dihubungi SINDOnews, Minggu (3/5/2020).
Kedua, badan dan lembaga ZIS cenderung berjalan sendiri-sendiri. Kerja sama antarlembaga masih sangat kurang, bahkan terkesan ada persaingan. "Lembaga atau badan sebagai amil mendapatkan bagian dari sedekah yang terkumpul. Itu sah sesuai syariat dan UU Zakat, akan tetapi keinginan memperoleh bagian itu dalam hal tertentu menjadi kendala kerja sama," paparnya. ( Baca juga: Pandemi Corona, Zakat Baznas di Awal Ramadhan Lampaui Target ).
Ketiga, ada persoalan mentalitas masyarakat yang cenderung pasif sebagai penerima sedekah (mustahik). Berbagai model pemberdayaan belum berhasil mengubah mustahik menjadi muzakki karena faktor mentalitas ini.
"Filantrofi Islam bisa lebih maksimal jika lembaga/badan ZIS dapat lebih bersinergi dan membangun kerja sama yang strategis. Perlu ada edukasi melalui pengajian dan oleh lembaga/badan ZIS untuk mengubah mindset masyarakat bahwa menjadi mandiri dan memberi lebih baik dari meminta dan menerima sedekah," tuturnya.
Diketahui, potensi zakat di Indonesia mencapai ratusan triliun. Jika bisa diptimalkan, zakat bisa menjadi penyelamat untuk mengatasi kemiskinan di tengan pandemi Covid-19 yang saat ini sedang melanda negeri ini.
(zik)
tulis komentar anda