Ambisi Nuklir Korea Utara dan Harga yang Harus Dibayar Rakyatnya

Minggu, 15 Desember 2024 - 15:26 WIB
Joohyun Moon, Profesor Teknik Energi di Departemen Universitas Dankook, Korea Selatan. Foto/istimewa
Joohyun Moon

Profesor Teknik Energi di Departemen Universitas Dankook, Korea Selatan

KOREA Utara baru-baru ini mengejutkan komunitas internasional dengan laporan pengiriman pasukan ke Rusia di tengah perang yang sedang berlangsung di Ukraina. Meskipun skala dan peran pasukan ini masih belum jelas, para ahli menyebutkan bahwa keterlibatan Korea Utara dapat berdampak signifikan pada perang Rusia-Ukraina serta dinamika keamanan di Semenanjung Korea.

Keputusan ini menunjukkan prioritas rezim terhadap tujuan militeristik daripada kesejahteraan rakyatnya, sehingga memunculkan pertanyaan serius mengenai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Korea Utara.



Pengiriman pasukan Korea Utara ke Rusia tampaknya didorong oleh beberapa motif strategis, dengan tujuan utama memperkuat aliansi dengan Moskow. Pada Juni, sebuah "Perjanjian Kemitraan Strategis Komprehensif" ditandatangani antara Korea Utara dan Rusia, yang kemudian diratifikasi oleh Duma Negara (Majelis Legislatif) Rusia pada bulan Oktober. Aliansi ini melampaui sekadar formalitas diplomatic.

Korea Utara tampaknya percaya bahwa aliansi dengan Rusia yang dibentuk di medan perang akan lebih menjamin masa depannya. Pemerintahan Kim Jong-un kemungkinan meyakini bahwa hanya hubungan mendalam dengan negara-negara kuat seperti Rusia yang dapat menjaga kelangsungan rezimnya.

Selain itu, pengejaran tanpa henti Pyongyang terhadap pengembangan nuklir dan misil telah lama mengesampingkan kesejahteraan rakyatnya.

Selama kelaparan parah pada 1990-an yang dikenal sebagai "Arduous March," jutaan orang meninggal akibat kelaparan sementara rezim memprioritaskan pengembangan nuklir, yang berpuncak pada uji coba nuklir pertamanya pada 2006. Saat ini, negara tersebut telah mencapai miniaturisasi dan standarisasi hulu ledak nuklir, tetapi terus mencari kemajuan lebih lanjut.

Rusia memiliki teknologi penting dalam kemampuan re-entry untuk rudal balistik antarbenua, satelit pengintai, dan kapal selam bertenaga nuklir—semua elemen yang diinginkan Korea Utara untuk meningkatkan kekuatan militernya. Menguasai teknologi ini akan memungkinkan Korea Utara menjadi ancaman yang lebih besar. Tidak hanya bagi Korea Selatan tetapi juga negara-negara tetangga lainnya, bahkan Amerika Serikat (AS), sehingga semakin mengganggu lanskap keamanan yang sudah rapuh di kawasan ini.
Halaman :
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More