Akses Pendidikan Agama bagi Disabilitas Sangat Minim
Selasa, 03 Desember 2024 - 20:05 WIB
JAKARTA - Indonesia sebagai negara mayoritas muslim dinilai masih kurang dalam akses pendidikan agama Islam bagi disabilitas , terutama tuna rungu, seperti belajar Al-Qur'an, Al-Hadits, dan lainnya. Untuk itu diperlukan kerja sama dari semua pihak untuk menumbuhkan akses pendidikan agama Islam bagi disabilitas, salah satunya dengan bahasa isyarat hijaiyyah.
Direktur Perhimpunan Pengembangan Masyarakat (P3M), KH Sarmidi Husna mengungkapkan, penyandang disabilitas tuli jumlahnya 2,5 juta orang. Dari jumlah itu, lebih dari 2 juta orang di antaranya adalah muslim. Menurut Sarmidi, mereka perlu belajar agama, seperti belajar Al-Qur'an, Al-Hadis, dan lain-lain.
"Akan tetapi akses mereka belajar agama memerlukan juru bahasa isyarat. Namun juru bahasa isyarat kita masih minim, dan lebih minim lagi adalah juru bahasa isyarat hijaiyyah. Karena itu, masalah ini perlu dapat perhatian khusus," kata KH Sarmidi Husna dalam Halaqah Nasional dan Peringatan Hari Disabilitas Internasional di Universitas Negeri Jakarta, Senin (2/12/2024).
Kiai Sarmidi mengatakan, ada tiga hal yang harus dilakukan untuk membangun masyarakat yang ramah disabilitas. Pertama, mengubah mindset karena biasanya orang tua malu mempunyai anak disabilitas karena dianggap sebagai aib. Kedua, peran negara. Setelah ada UU Nomor 8 Tahun 2016, negara belum optimal melakukan pelayanan atau memberikan fasilitasi kepada penyandang disabilitas. Ketersediaan kantor atau gedung ramah disabilitas masih minim. Fasilitas publik juga fasilitas keagamaan juga tidak ramah.
"Yang ketiga adalah terkait dengan pelayanan. Baik itu masalah kesehatan, pelayanan ekonomi, dan lain lain. Namun yang lebih perlu perhatian adalah masalah pelayanan pendidikan. Dalam data, kita itu masih defisit guru pendamping khusus. Guru pendamping khusus kalau diprosentasikan hanya 15% dari anak siswa penyandang disabilitas," katanya.
Menurut Kiai Sarmidi, Islam sangat mengecam sikap dan tindakan diskriminatif terhadap penyandang disabilitas. Dalam Al-Qur'an dikisahkan perihal interaksi Nabi Muhammad SAW yang dianggap kurang ideal terhadap seorang sahabat penyandang disabilitas netra, sehingga Allah kemudian menegurnya. Hal tersabut tercantum dalam Surat Abasa ayat 1-11. para mufasir meriwayatkan dengan salah seorang penyandang disabilitas yaitu Abdullah bin Ummi Mahtum.
"Beliau mendatangi Nabi SAW untuk memohon bimbingan Islam. Namun diabaikan sebab Rasulullah, sibuk mengadakan rapat dengan petinggi Quraisy tentang hal yang sebenarnya memang prioritas sebab menyangkut nasib kaum muslimin. Kemudian turunlah Surat Abasa itu sebagai peringatan agar Nabi memperhatikannya daripada para pemuka Quraisy itu," katanya. Sejak saat itu Nabi SAW sangat memuliakan sahabatnya yang tuna netra.
Dalam sambutannya, Wakil Rektor Bidang Kerja Sama dan Bisnis Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Andi Hidayanto menyebut harus ada perubahan paradigma tentang istilah disabilitas. "Saya menyitir Habib Ali al Jufri yang mengubah pengertian tentang disabilitas. Bukan orang yang membutuhkan perlakuan khusus, akan tetapi disabilitas diartikan orang yang mempunyai karunia khusus," katanya.
Cara pandang ini akan mampu untuk memberikan penghargaan yang lebih bagi disabilitas. "Dengan pemaknaan itu kita bisa memberikan kesempatan sama, berkarier dan berkembang dengan para disabilitas," kata Andi yang berharap melalui halaqah ini, UNJ mampu menjadi pelopor pelatihan bahasa isyarat hijaiyyah di Tanah Air.
Hadir beberapa narasumber yaitu Guru Besar UNJ Prof Totok Bintoro, Lembaga Pentashih Al Qur’an Ida Zulfiya, Anggota DPR Hindun Anisah sekaligus kepala sekolah inklusi, Komisi Nasional Disabilitas (KND) Kikin P Tarigan S. Selain itu dihadiri oleh sivitas akademika UNJ dan undangan dari berbagai pesantren dan pegiat disabilitas.
Direktur Perhimpunan Pengembangan Masyarakat (P3M), KH Sarmidi Husna mengungkapkan, penyandang disabilitas tuli jumlahnya 2,5 juta orang. Dari jumlah itu, lebih dari 2 juta orang di antaranya adalah muslim. Menurut Sarmidi, mereka perlu belajar agama, seperti belajar Al-Qur'an, Al-Hadis, dan lain-lain.
"Akan tetapi akses mereka belajar agama memerlukan juru bahasa isyarat. Namun juru bahasa isyarat kita masih minim, dan lebih minim lagi adalah juru bahasa isyarat hijaiyyah. Karena itu, masalah ini perlu dapat perhatian khusus," kata KH Sarmidi Husna dalam Halaqah Nasional dan Peringatan Hari Disabilitas Internasional di Universitas Negeri Jakarta, Senin (2/12/2024).
Kiai Sarmidi mengatakan, ada tiga hal yang harus dilakukan untuk membangun masyarakat yang ramah disabilitas. Pertama, mengubah mindset karena biasanya orang tua malu mempunyai anak disabilitas karena dianggap sebagai aib. Kedua, peran negara. Setelah ada UU Nomor 8 Tahun 2016, negara belum optimal melakukan pelayanan atau memberikan fasilitasi kepada penyandang disabilitas. Ketersediaan kantor atau gedung ramah disabilitas masih minim. Fasilitas publik juga fasilitas keagamaan juga tidak ramah.
"Yang ketiga adalah terkait dengan pelayanan. Baik itu masalah kesehatan, pelayanan ekonomi, dan lain lain. Namun yang lebih perlu perhatian adalah masalah pelayanan pendidikan. Dalam data, kita itu masih defisit guru pendamping khusus. Guru pendamping khusus kalau diprosentasikan hanya 15% dari anak siswa penyandang disabilitas," katanya.
Menurut Kiai Sarmidi, Islam sangat mengecam sikap dan tindakan diskriminatif terhadap penyandang disabilitas. Dalam Al-Qur'an dikisahkan perihal interaksi Nabi Muhammad SAW yang dianggap kurang ideal terhadap seorang sahabat penyandang disabilitas netra, sehingga Allah kemudian menegurnya. Hal tersabut tercantum dalam Surat Abasa ayat 1-11. para mufasir meriwayatkan dengan salah seorang penyandang disabilitas yaitu Abdullah bin Ummi Mahtum.
"Beliau mendatangi Nabi SAW untuk memohon bimbingan Islam. Namun diabaikan sebab Rasulullah, sibuk mengadakan rapat dengan petinggi Quraisy tentang hal yang sebenarnya memang prioritas sebab menyangkut nasib kaum muslimin. Kemudian turunlah Surat Abasa itu sebagai peringatan agar Nabi memperhatikannya daripada para pemuka Quraisy itu," katanya. Sejak saat itu Nabi SAW sangat memuliakan sahabatnya yang tuna netra.
Dalam sambutannya, Wakil Rektor Bidang Kerja Sama dan Bisnis Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Andi Hidayanto menyebut harus ada perubahan paradigma tentang istilah disabilitas. "Saya menyitir Habib Ali al Jufri yang mengubah pengertian tentang disabilitas. Bukan orang yang membutuhkan perlakuan khusus, akan tetapi disabilitas diartikan orang yang mempunyai karunia khusus," katanya.
Cara pandang ini akan mampu untuk memberikan penghargaan yang lebih bagi disabilitas. "Dengan pemaknaan itu kita bisa memberikan kesempatan sama, berkarier dan berkembang dengan para disabilitas," kata Andi yang berharap melalui halaqah ini, UNJ mampu menjadi pelopor pelatihan bahasa isyarat hijaiyyah di Tanah Air.
Hadir beberapa narasumber yaitu Guru Besar UNJ Prof Totok Bintoro, Lembaga Pentashih Al Qur’an Ida Zulfiya, Anggota DPR Hindun Anisah sekaligus kepala sekolah inklusi, Komisi Nasional Disabilitas (KND) Kikin P Tarigan S. Selain itu dihadiri oleh sivitas akademika UNJ dan undangan dari berbagai pesantren dan pegiat disabilitas.
(abd)
Lihat Juga :
tulis komentar anda