Cegah Calon Tunggal di Pilkada, Perkecil Syarat Minimal Kursi DPRD
Kamis, 27 Agustus 2020 - 14:57 WIB
JAKARTA - Pemilihan Kepala Daerah ( pilkada ) dengan calon tunggal memang diperbolehkan secara aturan. Namun, fenomena ini membuat masyarakat tidak memiliki variasi pilihan untuk pemimpinnya.
Pengamat politik Anang Sujoko mengatakan fenomena ini semakin menguatkan adanya politik transaksional antara partai politik (parpol) yang tergabung dalam koalisi. Pada pilkada serentak 2020 ini ada 30 daerah yang berpotensi memunculkan calon tunggal. Daerah-daerah itu, antara lain, Ngawi, Boyolali, Sragen, dan Pematang Siantar.
"Hal ini tidak baik bagi iklim demokrasi di Indonesia," ujarnya saat dihubungi SINDOnews, Kamis (27/8/2020).( )
Parpol yang tidak masuk koalisi pasangan calon yang kuat secara finansial, popularitas, dan elektabilitas, akan berada dalam situasi sulit. Mereka bisa jadi mempunyai calon, tapi jumlah kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tidak mencukupi untuk mencalonkan.
Ini yang menimpa Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Solo. PKS memiliki 5 kursi DPRD. Sementara untuk bisa mencalonkan membutuhkan minimal 9 kursi DPRD.
Di Solo, pasangan Gibran Rakabuming Raka-Teguh Prakosa mendapatkan dukungan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang memiliki 30 kursi DPRD. Partai-partai lain, seperti Gerindra dan Golkar ikut mendukung pasangan ini.
"Parpol yang tidak masuk koalisi akan berpikir banyak untuk memajukan kader atau calonnya mengingat pilkada membutuhkan biaya yang sangat besar. Bukan hanya dari sisi biaya resmi, tetapi juga biaya-biaya lain yang tidak mungkin dilakukan secara sukarela," tutur Anang.( )
Anang mengungkapkan elit politik bangsa seharusnya melakukan evaluasi terhadap biaya mahal yang harus dikeluarkan kandidat kepala daerah. Salah satu solusi mencegah calon tunggal, yakni mempermudah syarat calon perseorangan. "Saya tahu ini akan banyak ditentang oleh parpol. Selain itu, batasan kursi di dewan seharusnya juga diperkecil sehingga peluang banyak calon akan terjadi," katanya.
Pengamat politik Anang Sujoko mengatakan fenomena ini semakin menguatkan adanya politik transaksional antara partai politik (parpol) yang tergabung dalam koalisi. Pada pilkada serentak 2020 ini ada 30 daerah yang berpotensi memunculkan calon tunggal. Daerah-daerah itu, antara lain, Ngawi, Boyolali, Sragen, dan Pematang Siantar.
"Hal ini tidak baik bagi iklim demokrasi di Indonesia," ujarnya saat dihubungi SINDOnews, Kamis (27/8/2020).( )
Parpol yang tidak masuk koalisi pasangan calon yang kuat secara finansial, popularitas, dan elektabilitas, akan berada dalam situasi sulit. Mereka bisa jadi mempunyai calon, tapi jumlah kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tidak mencukupi untuk mencalonkan.
Ini yang menimpa Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Solo. PKS memiliki 5 kursi DPRD. Sementara untuk bisa mencalonkan membutuhkan minimal 9 kursi DPRD.
Di Solo, pasangan Gibran Rakabuming Raka-Teguh Prakosa mendapatkan dukungan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang memiliki 30 kursi DPRD. Partai-partai lain, seperti Gerindra dan Golkar ikut mendukung pasangan ini.
"Parpol yang tidak masuk koalisi akan berpikir banyak untuk memajukan kader atau calonnya mengingat pilkada membutuhkan biaya yang sangat besar. Bukan hanya dari sisi biaya resmi, tetapi juga biaya-biaya lain yang tidak mungkin dilakukan secara sukarela," tutur Anang.( )
Anang mengungkapkan elit politik bangsa seharusnya melakukan evaluasi terhadap biaya mahal yang harus dikeluarkan kandidat kepala daerah. Salah satu solusi mencegah calon tunggal, yakni mempermudah syarat calon perseorangan. "Saya tahu ini akan banyak ditentang oleh parpol. Selain itu, batasan kursi di dewan seharusnya juga diperkecil sehingga peluang banyak calon akan terjadi," katanya.
(abd)
tulis komentar anda