DPR Minta PP 28/2024 dan RPMK Ditinjau Ulang
Rabu, 18 September 2024 - 21:55 WIB
JAKARTA - DPR meminta Kementerian Kesehatan (Kemenkes) meninjau kembali Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/2024) serta Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik. Desakan kepada Kemenkes ini diambil setelah adanya kekhawatiran serius tentang dampak negatif dari aturan-aturan tersebut terhadap industri strategis dan perekonomian nasional.
Adapun bagian utama pengaturan dalam RPMK tersebut memuat usulan Kemenkes untuk menerapkan kemasan rokok polos tanpa merek. Anggota Komisi IX DPR Fraksi Nasdem Nurhadi mengatakan bahwa banyak aturan pada PP 28/2024 maupun RPMK yang berada di luar lingkup kewenangan Kemenkes dan telah memicu pro kontra di kalangan masyarakat serta menimbulkan polemik.
Hal itu dikatakannya dalam diskusi bertajuk “Menilik Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan dan Dampaknya Terhadap Industri Tembakau” di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (18/9/2024). Menurutnya, kedua aturan tersebut berisiko menimbulkan kegaduhan menyusul berbagai ancaman, seperti pemutusan hubungan kerja (PHK) pada jutaan pekerja yang bergantung pada industri hasil tembakau dan ekosistem di dalamnya.
Selain itu, pedagang kecil, peritel, serta industri kreatif dan periklanan akan turut terdampak dari kebijakan inisiatif Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin tersebut. Hal senada dikatakan Anggota Komisi IX DPR Fraksi Golkar Yahya Zaini. Yahya pun memberikan kritik terhadap proses penyusunan aturan.
Yahya berpendapat, proses penyusunan PP 28/2024 dan RPMK terkesan terburu-buru dan tidak melibatkan partisipasi publik yang berarti. “Hal ini mengakibatkan pengabaian kepentingan masyarakat dan pihak-pihak yang terdampak, serta menimbulkan berbagai persoalan dalam penerapannya,” ujarnya.
Dia menegaskan bahwa perlakuan pemerintah terhadap industri hasil tembakau cenderung diskriminatif dan tidak pernah berbanding lurus dengan kontribusinya terhadap negara. “Tiap tahun cukai rokok dinaikkan, sementara kita tahu kontribusinya untuk negara mencapai Rp213 triliun, jauh di atas penerimaan negara dari BUMN,” imbuhnya.
Dia pun mengkritik bahwa Kemenkes tidak melakukan konsultasi yang memadai dengan DPR, serta tidak melibatkan berbagai pihak terkait dalam proses penyusunan, yang dianggap penting untuk mendapatkan masukan yang konstruktif. “Kami tidak dilibatkan dalam pembuatan aturan ini. Walaupun memang wewenangnya ada di pemerintah, tapi saya berharap Komisi IX DPR RI bisa dilibatkan,” kata dia.
Sementara itu, Anggota Komisi IX DPR Fraksi PDIP Abidin Fikri juga menyoroti sejarah keberpihakan pemerintah terhadap industri hasil tembakau, terutama kepada kesejahteraan petani. Menimbang hal itu, Abidin meminta pemerintah saat ini mengkaji ulang kebijakan-kebijakan yang dapat menyudutkan industri ini.
Adapun bagian utama pengaturan dalam RPMK tersebut memuat usulan Kemenkes untuk menerapkan kemasan rokok polos tanpa merek. Anggota Komisi IX DPR Fraksi Nasdem Nurhadi mengatakan bahwa banyak aturan pada PP 28/2024 maupun RPMK yang berada di luar lingkup kewenangan Kemenkes dan telah memicu pro kontra di kalangan masyarakat serta menimbulkan polemik.
Hal itu dikatakannya dalam diskusi bertajuk “Menilik Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan dan Dampaknya Terhadap Industri Tembakau” di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (18/9/2024). Menurutnya, kedua aturan tersebut berisiko menimbulkan kegaduhan menyusul berbagai ancaman, seperti pemutusan hubungan kerja (PHK) pada jutaan pekerja yang bergantung pada industri hasil tembakau dan ekosistem di dalamnya.
Selain itu, pedagang kecil, peritel, serta industri kreatif dan periklanan akan turut terdampak dari kebijakan inisiatif Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin tersebut. Hal senada dikatakan Anggota Komisi IX DPR Fraksi Golkar Yahya Zaini. Yahya pun memberikan kritik terhadap proses penyusunan aturan.
Yahya berpendapat, proses penyusunan PP 28/2024 dan RPMK terkesan terburu-buru dan tidak melibatkan partisipasi publik yang berarti. “Hal ini mengakibatkan pengabaian kepentingan masyarakat dan pihak-pihak yang terdampak, serta menimbulkan berbagai persoalan dalam penerapannya,” ujarnya.
Dia menegaskan bahwa perlakuan pemerintah terhadap industri hasil tembakau cenderung diskriminatif dan tidak pernah berbanding lurus dengan kontribusinya terhadap negara. “Tiap tahun cukai rokok dinaikkan, sementara kita tahu kontribusinya untuk negara mencapai Rp213 triliun, jauh di atas penerimaan negara dari BUMN,” imbuhnya.
Dia pun mengkritik bahwa Kemenkes tidak melakukan konsultasi yang memadai dengan DPR, serta tidak melibatkan berbagai pihak terkait dalam proses penyusunan, yang dianggap penting untuk mendapatkan masukan yang konstruktif. “Kami tidak dilibatkan dalam pembuatan aturan ini. Walaupun memang wewenangnya ada di pemerintah, tapi saya berharap Komisi IX DPR RI bisa dilibatkan,” kata dia.
Sementara itu, Anggota Komisi IX DPR Fraksi PDIP Abidin Fikri juga menyoroti sejarah keberpihakan pemerintah terhadap industri hasil tembakau, terutama kepada kesejahteraan petani. Menimbang hal itu, Abidin meminta pemerintah saat ini mengkaji ulang kebijakan-kebijakan yang dapat menyudutkan industri ini.
tulis komentar anda