Cegah Karhutla, Kementerian LHK Optimalkan TMC hingga Tahun Depan
Kamis, 27 Agustus 2020 - 06:42 WIB
JAKARTA - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan penggunaan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) akan terus dilakukan hingga awal tahun depan. Hal ini mengingat meskipun ada musim hujan, namun kemungkinan cuaca panas berlangsung hingga Januari-Februari 2021.
(Baca juga: Bareskrim Polri Tetapkan 112 Tersangka Karhutla)
"Kita tidak bisa menyebut TMC hingga Oktober 2020. TMC perlu kita teruskan sambil melihat kondisi sampai tidak perlu dilakukan," tutur Menteri LHK Siti Nurbaya dalam keterangan resminya, Kamis (27/8/2020).
(Baca juga: Satgas Karhutla Berhasil Padamkan 478 Titik Api di Sumsel)
Keberadaan teknologi yang memungkinkan kemampuan membaca tanda-tanda alam harus betul-betul dioptimalkan. Karena itu, Siti menegaskan, KLHK akan mengikuti dan mengembangkan teori dan teknologi yang mendukung pencegahan karhutla bersama Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan TNI Angkatan Udara juga pakar iklim dari IPB University.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) KLHK Ruandha Agung Sugardiman, menyampaikan operasi TMC yang dilakukan dalam beberapa bulan terakhir berhasil menurunkan jumlah titik panas (hotspot).
"Pemantauan selama hampir satu bulan penuh ini, di Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan tidak muncul titik panas. Sementara di Kalimantan Barat, sempat muncul beberapa titik panas pada 13 Agustus 2020, yang segera diatasi dengan operasi TMC untuk mencegah potensi asap lintas batas," jelasnya.
Deputi Bidang Teknologi Sumber Daya Alam Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Yudi Anantasena mengatakan, agar efektivitasnya optimal, TMC perlu dilakukan dari sebelum memasuki musim kemarau.
"Tingkat efektivitas TMC pada periode Juli-Agustus tidak sebesar pada Mei dan sebelumnya. Mungkin karena kondisinya sekarang sudah mulai kering. Menyemai awan sebelum musim kemarau datang itu lebih banyak menghasilkan curah hujan," ungkapnya.
Sementara itu, Deputi Bidang Klimatologi BMKG Herizal, menyampaikan sampai Agustus 2020, sebanyak 85 persen daerah zona musim telah memasuki musim kemarau dan telah mengalami hari tanpa hujan (HTH) berturut-turut. Bervariasi antara 21-30 hari, 31-60 hari, dan di atas 60 hari.
"Sebagian daerah yang telah masuk musim kemarau tahun 2020 telah mengalami HTH di atas 21 hari, sehingga perlu mewaspadai potensi kekeringan meteorologis," ujar Herizal.
Berdasarkan panjang HTH dan potensi hujan rendah atau kurang dari 20 milimeter sampai akhir pertengahan September 2020. Sejumlah wilayah dinilai perlu perhatian peringatan dini kekeringan pada level Waspada, Siaga, dan Awas. Beberapa wilayah tersebut yaitu di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku, dan Papua.
(Baca juga: Bareskrim Polri Tetapkan 112 Tersangka Karhutla)
"Kita tidak bisa menyebut TMC hingga Oktober 2020. TMC perlu kita teruskan sambil melihat kondisi sampai tidak perlu dilakukan," tutur Menteri LHK Siti Nurbaya dalam keterangan resminya, Kamis (27/8/2020).
(Baca juga: Satgas Karhutla Berhasil Padamkan 478 Titik Api di Sumsel)
Keberadaan teknologi yang memungkinkan kemampuan membaca tanda-tanda alam harus betul-betul dioptimalkan. Karena itu, Siti menegaskan, KLHK akan mengikuti dan mengembangkan teori dan teknologi yang mendukung pencegahan karhutla bersama Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan TNI Angkatan Udara juga pakar iklim dari IPB University.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) KLHK Ruandha Agung Sugardiman, menyampaikan operasi TMC yang dilakukan dalam beberapa bulan terakhir berhasil menurunkan jumlah titik panas (hotspot).
"Pemantauan selama hampir satu bulan penuh ini, di Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan tidak muncul titik panas. Sementara di Kalimantan Barat, sempat muncul beberapa titik panas pada 13 Agustus 2020, yang segera diatasi dengan operasi TMC untuk mencegah potensi asap lintas batas," jelasnya.
Deputi Bidang Teknologi Sumber Daya Alam Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Yudi Anantasena mengatakan, agar efektivitasnya optimal, TMC perlu dilakukan dari sebelum memasuki musim kemarau.
"Tingkat efektivitas TMC pada periode Juli-Agustus tidak sebesar pada Mei dan sebelumnya. Mungkin karena kondisinya sekarang sudah mulai kering. Menyemai awan sebelum musim kemarau datang itu lebih banyak menghasilkan curah hujan," ungkapnya.
Sementara itu, Deputi Bidang Klimatologi BMKG Herizal, menyampaikan sampai Agustus 2020, sebanyak 85 persen daerah zona musim telah memasuki musim kemarau dan telah mengalami hari tanpa hujan (HTH) berturut-turut. Bervariasi antara 21-30 hari, 31-60 hari, dan di atas 60 hari.
"Sebagian daerah yang telah masuk musim kemarau tahun 2020 telah mengalami HTH di atas 21 hari, sehingga perlu mewaspadai potensi kekeringan meteorologis," ujar Herizal.
Berdasarkan panjang HTH dan potensi hujan rendah atau kurang dari 20 milimeter sampai akhir pertengahan September 2020. Sejumlah wilayah dinilai perlu perhatian peringatan dini kekeringan pada level Waspada, Siaga, dan Awas. Beberapa wilayah tersebut yaitu di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku, dan Papua.
(maf)
tulis komentar anda