Cegah Swa-Radikalisasi lewat Duta dan Sekolah Damai

Rabu, 07 Agustus 2024 - 12:26 WIB
Guru Besar Sejarah Peradaban Islam IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Prof Didin Nurul Rosidin. FOTO/IST
JAKARTA - Swa-radikalisasi atau meradikalisasi diri secara mandiri masih menjadi fenomena yang terjadi di kalangan anak muda. Jumlahnya memang tidak banyak, tapi potensi kerusakan dan jatuhnya korban jiwa berkat swa-radikalisasi begitu besar hingga sesat pikir ini tidak sepatutnya diabaikan oleh siapa pun.

Guru Besar Sejarah Peradaban Islam IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Prof Didin Nurul Rosidin menjelaskan pentingnya mewadahi generasi muda dalam suatu komunitas tertentu. Menurutnya, sangat bagus apabila ada inisiatif-inisiatif seperti ini sebagai upaya membangun kesadaran akan bahaya terorisme di tengah masyarakat.

"Selama ini anak-anak muda hanya tahu bahwa terorisme itu adanya di televisi, misalnya ketika terjadi penangkapan dan disiarkan. Padahal terorisme tidak sesederhana itu. Bisa jadi mereka tidak sadar bahwa di sekitar anak-anak ini, misalnya di sekitar lingkungan, atau bahkan di dalam rumahnya sendiri sudah ada proses radikalisasi terhadap mereka. Para anak muda seringkali tidak menyadarinya," kata Prof Didin, Rabu (7/8/2024).



Menurutnya, kegiatan-kegiatan yang menjawab kebutuhan edukasi generasi muda tentang bahayanya radikalisme dan terorisme sebenarnya sudah berjalan cukup lama. Beberapa program yang diinisiasi oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme atau BNPT, seperti Duta Damai dan Sekolah Damai, hadir untuk mewadahi generasi muda dan agar jangan terjadi kekosongan pengetahuan akan bahaya laten ideologi transnasional.

Dengan adanya Sekolah Damai atau Duta Damai, kata Prof Didin, akan menjadi sarana yang sangat efektif dalam pencegahan radikalisme dan terorisme di kalangan anak muda. Hal yang selanjutnya perlu diperhatikan adalah sejauh mana sosialisasi telah berjalan agar masyarakat tersentuh oleh program-program seperti ini.

"Karena memang sekarang itu zamannya gadget, dan pola pikir sekarang terkadang jika belum viral, maka belum dikenal. Istilahnya itu, no viral, no justice ataupun no viral, no consciousness. Tidak viral maka tidak ada keadilan atau kesadaran. Maka perlu juga untuk ditambah lagi sosialisasi, dan promosi berbagai program penanggulangan radikalisme terorisme, seperti Duta Damai dan Sekolah Damai ini," katanya.

Akademisi yang pernah menjabat Wakil Direktur Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon ini menambahkan pula perlunya terus meningkatkan pengetahuan, terlepas dari tingkatan umur ataupun latar belakang lainnya. Menurutnya, segala pengetahuan yang baik, termasuk ilmu agama, adalah pengetahuan yang bersumber dari sumber yang otoritatif dan bisa tervalidasi kebenarannya.

"Dengan bersandar pada sumber keilmuan yang valid, sebenarnya kita sedang mengamalkan salah satu prinsip dalam epistemologi Islam. Manakala kita mempelajari sesuatu yang tidak diketahui otoritas dan validitasnya, cepat atau lambat kita akan tersesat. Bentuk kesesatan inilah yang seringkali menjadikan seseorang merasa benar sendiri. Ketika dia berpikir demikian, alih-alih sedang belajar, orang seperti ini justru menjadi Tuhan bagi dirinya sendiri (monopoli kebenaran)," kata Prof Didin.

Ia berpendapat apa yang dilakukan oleh gerakan radikal adalah seringkali mengambil sesuatu tanpa memastikan apakah ini otoritatif atau tidak. Padahal, kebenaran datang pada orang yang memiliki pemikiran terbuka tentang berbagai kemungkinan. Orang yang terbuka pemikirannya adalah yang selalu mencoba dalam hidupnya untuk membangun sumber-sumber yang otoritatif dan juga bisa dipastikan validitasnya.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More