Hamas dan Fatah Bertemu di China, Kemlu: Modal Bersatunya Palestina
Kamis, 18 Juli 2024 - 15:35 WIB
JAKARTA - Dua faksi politik terbesar Palestina , Hamas dan Fatah akan bertemu di China pada 20-21 Juli 2024 mendatang. Dirjen Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri ( Kemlu ) RI, Abdul Kadir Jailani berharap, pertemuan menunjukkan keinginan yang kuat untuk rekonsiliasi untuk menyatukan rakyat Palestina.
"Harapannya segala bentuk kesepakatan dan persatuan antar semua elemen masyarakat Palestina adalah sesuatu yang kita harapkan oleh karena nya kita tentunya akan menyambut baik semua kesepakatan sepanjang itu dapat menjadi modalitas buat persatuan rakyat Palestina," kata Abdul di Kantor MUI, Jakarta Pusat, Kamis (18/7/2024).
"Bahkan beberapa tahun yang lalu sudah ada kemajuan dan saat ini pada mekanisme baru ada upaya yang dipelopori oleh RRT ini sebagai kekuatan global dan peran RRT ini semakin signifikan di Timur Tengah," tambahnya.
Dia pun melihat, China kini dapat menjadi kekuatan geopolitik dan global. Serta upaya mediasi yang dilakukan China ini semakin menurunkan pengaruh Amerika secara perlahan.
"Maka tentunya RRT menjadi negara yang tentunya paling mampu paling tepat untuk menjalankan posisi ini. Yang pasti posisi kita saat ini kita rekonsiliasi di antara semua kelompok di Palestina karena bagi kita bersatunya Palestina itu faktor terpenting untuk mewujudkan kemerdekaan di Palestina," ucapnya.
Sementara Ketua MUI Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional, Prof Sudarnoto Abdul Hakim mengatakan, pertemuan Hamas dan Fatah menjadi wujud keberhasilan Cina untuk mempersatukan Rakyat Palestina.
"Yang kedua, posisi Cina. Posisinya dalam konteks politik global itu sekarang itu menjadi sangat penting, faktanya kemudian menggeser Amerika di kawasan ya. Sebenarnya bukan sekadar kawasan sana tapi juga secara global sekarang ini kan sudah mulai tersisih dan China akan menjadi the next new player yang akan menentukan itu," jelasnya.
Dengan demikian, Indonesia lanjutnya diharapkan juga ikut proaktif dalam rekonsiliasi kedua faksi politik terbesar di Palestina itu.
"Indonesia menurut saya perlu juga proaktif melalui berbagai cara, apakah aktornya state atau mungkin non-state actors seperti Muhammadiyah, NGO, MUI, dan sebagainya untuk memperdekatkan itu," tuturnya.
"Jadi kita waktunya kita (Indonesia) harus mendengar secara langsung situasi terakhir sekarang ini. Penting sekali untuk forum yang mempertemukan dua faksi atau mungkin juga dengan faksi-faksi lainnya," tutupnya.
"Harapannya segala bentuk kesepakatan dan persatuan antar semua elemen masyarakat Palestina adalah sesuatu yang kita harapkan oleh karena nya kita tentunya akan menyambut baik semua kesepakatan sepanjang itu dapat menjadi modalitas buat persatuan rakyat Palestina," kata Abdul di Kantor MUI, Jakarta Pusat, Kamis (18/7/2024).
"Bahkan beberapa tahun yang lalu sudah ada kemajuan dan saat ini pada mekanisme baru ada upaya yang dipelopori oleh RRT ini sebagai kekuatan global dan peran RRT ini semakin signifikan di Timur Tengah," tambahnya.
Dia pun melihat, China kini dapat menjadi kekuatan geopolitik dan global. Serta upaya mediasi yang dilakukan China ini semakin menurunkan pengaruh Amerika secara perlahan.
"Maka tentunya RRT menjadi negara yang tentunya paling mampu paling tepat untuk menjalankan posisi ini. Yang pasti posisi kita saat ini kita rekonsiliasi di antara semua kelompok di Palestina karena bagi kita bersatunya Palestina itu faktor terpenting untuk mewujudkan kemerdekaan di Palestina," ucapnya.
Sementara Ketua MUI Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional, Prof Sudarnoto Abdul Hakim mengatakan, pertemuan Hamas dan Fatah menjadi wujud keberhasilan Cina untuk mempersatukan Rakyat Palestina.
"Yang kedua, posisi Cina. Posisinya dalam konteks politik global itu sekarang itu menjadi sangat penting, faktanya kemudian menggeser Amerika di kawasan ya. Sebenarnya bukan sekadar kawasan sana tapi juga secara global sekarang ini kan sudah mulai tersisih dan China akan menjadi the next new player yang akan menentukan itu," jelasnya.
Dengan demikian, Indonesia lanjutnya diharapkan juga ikut proaktif dalam rekonsiliasi kedua faksi politik terbesar di Palestina itu.
"Indonesia menurut saya perlu juga proaktif melalui berbagai cara, apakah aktornya state atau mungkin non-state actors seperti Muhammadiyah, NGO, MUI, dan sebagainya untuk memperdekatkan itu," tuturnya.
"Jadi kita waktunya kita (Indonesia) harus mendengar secara langsung situasi terakhir sekarang ini. Penting sekali untuk forum yang mempertemukan dua faksi atau mungkin juga dengan faksi-faksi lainnya," tutupnya.
(maf)
tulis komentar anda