Kisah Klasik Tentang Perempuan
Kamis, 11 Juli 2024 - 14:22 WIB
Sekar Mayang
Editor dan pengulas buku, hidup di Bali
“RONGGENG Dukuh Paruk” -judul buku ini, berkisah tentang seorang penari, seorang penghibur sejati, tepatnya seorang ronggeng. Dan, sesuai status ronggeng yang milik semua orang, perempuan penari ini pun didaulat sebagai milik publik, termasuk tubuhnya.
baca juga: Tentang Pernikahan Orang Tionghoa dengan Orang Indonesia
Sebagai mana kisah klasik, tentu sudah banyak yang membahasnya. Tetap saja akan ada pembeda dari tiap perspektif. Empat kata pertama yang saya tandai adalah gerak birahi dan mantra pekasih. Kita semua paham bahwa dalam aspek tertentu, perempuan masih dijadikan objek hanya gara-gara keindahan dalam dirinya. Dicari, dijadikan pajangan atau malah mainan, lalu dicampakkan ketika bosan.
Sebagian muak, sebagian lagi ada yang tidak sadar telah turut melestarikan kebiasaan seperti itu. Demi warisan budaya, katanya. Padahal, budaya sendiri sifatnya dinamis, harus menyesuaikan diri dengan zaman, dengan lingkungan, dengan kebenaran kolektif.
“Seorang ronggeng di lingkungan pentas tidak akan menjadi bahan pencemburuan bagi perempuan Dukuh Paruk. Malah sebaliknya, makin lama seorang suami bertayub dengan ronggeng, makin bangga pula istrinya. Perempuan semacam itu puas karena diketahui umum bahwa suaminya seorang lelaki jantan, baik dalam arti uangnya maupun birahinya.” (halaman 46-47)
Kenyataannya, baik laki-laki maupun perempuan malah saling menumbalkan demi ego. Jangan dilihat enaknya diizinkan bertayub. Lihat seberapa lama wadah itu akan bertahan. Atau, lihat seberapa cepat selera Sang Ronggeng berubah.
Rasus, sang tokoh utama, menyadari bahwa ketertarikannya terhadap Srintil mungkin karena kerinduan akan sosok anima―sosok perempuan primitif yang penting dalam hidup seorang laki-laki―yaitu sang ibu. Namun, kita tahu bahwa imaji bisa salah, tidak sesuai dengan aslinya. Maka, Rasus pun mengubur bayangan tentang sang ibu yang tidak pernah benar-benar ia kenal sejak kecil, seiring dengan makin besarnya Srintil di panggung ronggeng.
Editor dan pengulas buku, hidup di Bali
“RONGGENG Dukuh Paruk” -judul buku ini, berkisah tentang seorang penari, seorang penghibur sejati, tepatnya seorang ronggeng. Dan, sesuai status ronggeng yang milik semua orang, perempuan penari ini pun didaulat sebagai milik publik, termasuk tubuhnya.
baca juga: Tentang Pernikahan Orang Tionghoa dengan Orang Indonesia
Sebagai mana kisah klasik, tentu sudah banyak yang membahasnya. Tetap saja akan ada pembeda dari tiap perspektif. Empat kata pertama yang saya tandai adalah gerak birahi dan mantra pekasih. Kita semua paham bahwa dalam aspek tertentu, perempuan masih dijadikan objek hanya gara-gara keindahan dalam dirinya. Dicari, dijadikan pajangan atau malah mainan, lalu dicampakkan ketika bosan.
Sebagian muak, sebagian lagi ada yang tidak sadar telah turut melestarikan kebiasaan seperti itu. Demi warisan budaya, katanya. Padahal, budaya sendiri sifatnya dinamis, harus menyesuaikan diri dengan zaman, dengan lingkungan, dengan kebenaran kolektif.
“Seorang ronggeng di lingkungan pentas tidak akan menjadi bahan pencemburuan bagi perempuan Dukuh Paruk. Malah sebaliknya, makin lama seorang suami bertayub dengan ronggeng, makin bangga pula istrinya. Perempuan semacam itu puas karena diketahui umum bahwa suaminya seorang lelaki jantan, baik dalam arti uangnya maupun birahinya.” (halaman 46-47)
Kenyataannya, baik laki-laki maupun perempuan malah saling menumbalkan demi ego. Jangan dilihat enaknya diizinkan bertayub. Lihat seberapa lama wadah itu akan bertahan. Atau, lihat seberapa cepat selera Sang Ronggeng berubah.
Rasus, sang tokoh utama, menyadari bahwa ketertarikannya terhadap Srintil mungkin karena kerinduan akan sosok anima―sosok perempuan primitif yang penting dalam hidup seorang laki-laki―yaitu sang ibu. Namun, kita tahu bahwa imaji bisa salah, tidak sesuai dengan aslinya. Maka, Rasus pun mengubur bayangan tentang sang ibu yang tidak pernah benar-benar ia kenal sejak kecil, seiring dengan makin besarnya Srintil di panggung ronggeng.
Lihat Juga :
tulis komentar anda