Paradoks Bali dan Seniman Agus Saputra
Minggu, 09 Juni 2024 - 19:00 WIB
SENIMAN muda I Made Agus Saputra berupaya memanggungkan Bali dalam lukisan-lukisannya yang menggambarkan tegangan sejarah kolonial, kegalauannya dengan paradoks nilai-nilai lokal vis a vis global serta ledekannya tentang Bali saat ini. Isu-isu substansial tentang itu, cukup tergambarkan secara apik dalam lukisan-lukisannya.
baca juga: Seniman Bali Hadirkan Lukisan Bertema Catharsis di Fashion Jeans
Agus memanggungkan solo show-nya di CG Artspace, bulan Juni ini, dan memulai debutnya melukis kembali ke arah pola-pola azali karakternya, yakni representasi lukisan realis-komikal yang dalam perspektif spasial kanvas, menimba inspirasi gaya klasik Batuan Bali yang padat sekujur kanvas lukisan. Ia sejak akhir 2019 telah menanggalkan ekspresi-ekspresi lukisan abstraktifnya.
Agus menggali secara personal tentang Bali yang penuh paradoks, semisal dalam wawancara dengan penulis, ia menyebut wisatawan mancanegara, terutama dari Barat acapkali bertingkah aneh. Satu waktu, wisman itu dengan uniknya menggelar alas Yoga dan memulai aktifitas gerak tubuh di tengah jalan. Tentu saja mengganggu para pengguna jalan yang lain.
Di lain waktu, ia menyaksikan sekelompok “bule” yang menurut Agus, menyerobot lampu merah lalu-lintas bersama iringan motor dengan gaya zig-zag dengan rileksnya, tanpa merasa bersalah. Agus merasakan paradoks tentang Bali terang-benderang terasa.
Saat sama ia menyaksikan banyak “bule” yang peduli dengan sampah, menjadi relawan “pembersih kota dadakan”, yang mereka juga sangat perhatian pada binatang-binatang, seperti anjing-anjing yang terlantar di jalan-jalan besar di Bali, yang membuat nyaman dan lansekap kota menjadi bersih.
“Yang paling parah, tentu munculnya kluster-kluster privat dan terisolasi, di area dan lahan tertentu di Bali, mereka seolah memiliki “istana-istana privat tersendiri” dengan membeli tanah-tanah di sana” terang Agus.
Namun Agus tak menampik, bahwa Bali terbantu pula oleh jumlah wisatawan yang semakin banyak datang. “Tentu saja keniscayaan modernisme membantu sekaligus mengkhawatirkan kerusakan ekologis pun tradisi yang ditanggalkan” ungkapnya.
baca juga: Seniman Bali Hadirkan Lukisan Bertema Catharsis di Fashion Jeans
Agus memanggungkan solo show-nya di CG Artspace, bulan Juni ini, dan memulai debutnya melukis kembali ke arah pola-pola azali karakternya, yakni representasi lukisan realis-komikal yang dalam perspektif spasial kanvas, menimba inspirasi gaya klasik Batuan Bali yang padat sekujur kanvas lukisan. Ia sejak akhir 2019 telah menanggalkan ekspresi-ekspresi lukisan abstraktifnya.
Agus menggali secara personal tentang Bali yang penuh paradoks, semisal dalam wawancara dengan penulis, ia menyebut wisatawan mancanegara, terutama dari Barat acapkali bertingkah aneh. Satu waktu, wisman itu dengan uniknya menggelar alas Yoga dan memulai aktifitas gerak tubuh di tengah jalan. Tentu saja mengganggu para pengguna jalan yang lain.
Di lain waktu, ia menyaksikan sekelompok “bule” yang menurut Agus, menyerobot lampu merah lalu-lintas bersama iringan motor dengan gaya zig-zag dengan rileksnya, tanpa merasa bersalah. Agus merasakan paradoks tentang Bali terang-benderang terasa.
Saat sama ia menyaksikan banyak “bule” yang peduli dengan sampah, menjadi relawan “pembersih kota dadakan”, yang mereka juga sangat perhatian pada binatang-binatang, seperti anjing-anjing yang terlantar di jalan-jalan besar di Bali, yang membuat nyaman dan lansekap kota menjadi bersih.
“Yang paling parah, tentu munculnya kluster-kluster privat dan terisolasi, di area dan lahan tertentu di Bali, mereka seolah memiliki “istana-istana privat tersendiri” dengan membeli tanah-tanah di sana” terang Agus.
Namun Agus tak menampik, bahwa Bali terbantu pula oleh jumlah wisatawan yang semakin banyak datang. “Tentu saja keniscayaan modernisme membantu sekaligus mengkhawatirkan kerusakan ekologis pun tradisi yang ditanggalkan” ungkapnya.
tulis komentar anda