Egalitarianisme di Balik Ide KUA untuk Semua Agama

Kamis, 29 Februari 2024 - 18:35 WIB
Rektor UIN Alauddin Makassar Hamdan Juhannis. FOTO/IST
Hamdan Juhannis

Rektor UIN Alauddin Makassar

IDE Kantor Urusan Agama ( KUA ) untuk semua agama yang dilontarkan Menteri Agama RI, Gus Yaqut Cholil Qoumas, telah memancing perhatian di berbagai lapisan masyarakat. KUA menurut Gus Men akan menjadi sentra pelayanan semua agama, termasuk pernikahan, bahkan aula-aula di KUA bisa menjadi sarana ibadah bagi non-Muslim untuk beribadah.



Ide ini pada prinsipnya adalah wujud penjabaran dari program revitalisasi KUA yang merupakan salah satu dari tujuh program prioritas Kementerian Agama (Kemenag). Gagasan orisinil ini disampaikan oleh Menteri Agama pada saat rapat kerja Direktorat Bimas Islam Kemenag RI di Jakarta pada 24 Februari 2024.

Mengapa disebut orisinil, karena ide ini tidak pernah terpikirkan, bahkan sejak berdirinya Kementerian Agama pada tanggal 3 Januari 1946, KUA tidak pernah bergeser dari fungsinya sebagai layanan khusus Umat Islam. KUA selama ini memang identik dengan pelayanan khusus umat Islam, mulai dari registrasi pencatatan pernikahan, pelayanan haji, zakat dan seterusnya. Lebih khusus lagi, KUA sering dipelesetkan sebagai Kantor Urusan Asmara, karena seringnya dianggap hanya berkutat pada urusan pernikahan.

Meskipun ide progresif ini mungkin ada yang menganggapnya kontroversial, karena regulasi kita masih memisahkan pernikahan antara Muslim dan non-Muslim. Sesuai UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, PMA Nomor 20 Tahun 2019, PMA Nomor 34 Tahun 2016, bahwa pencatatan pernikahan non-Muslim ditempatkan di Disdukcapil, dan KUA hanya mengurusi urusan pelayanan keagamaan umat Islam.

Terlepas dari polemik tersebut, ide KUA untuk pelayanan semua agama yang digelindingkan oleh Gus Men adalah bentuk nyata inklusivitas pada tataran administrasi keagamaan. Penulis menelisik bahwa salah satu filosofi Gus Menteri terkait ide ini adalah penegasan bahwa Kementerian Agama tidak hanya milik satu agama tertentu. Kemenag sebagai alat negara adalah payung besar dari semua agama yang harus memperlakukan secara egaliter kepada semua pemeluk agama yang berbeda. Prinsip egalitarianisme inilah yang menjadi alas pikir kemunculan ide ini. Gus Men seakan ingin mengatakan bahwa fondasi beragama itu adalah kesetaraan dan kebersamaan yang menjadi roh dari egalitarianisme.

Filosofi inilah yang ingin dibumikan oleh Gus Men hingga sampai kepada organ kecil dari Kemenag, yaitu KUA. Jamak dipahami bahwa pada level Kemenag Pusat dan Perguruan Tinggi, layanan kepada agama-agama lain telah terepresentasikan dengan hadirnya Dirjen agama lain selain Islam, begitu pula hadirnya Perguruan Tinggi Agama lain seperti IAKN Toraja, STAKN Pontianak, STAB, dan Universitas Hindu Negeri juga menguatkan bahwa pelayanan kepada semua agama telah terjabarkan secara praktis. KUA dalam imaginasi Gus Men akan menjadi minimal layanan keagamaan untuk semua agama.

Prinsip egalitarianisme ini sejatinya menjadi napas bagi Kemenag RI dalam menjalankan program-programnya. Bahwa siapa pun anak bangsa, terlepas dari agama dan rasnya, semuanya harus mendapatkan pelayanan yang sama dan setara dari negara. Ide KUA untuk sebagai sentra semua pemeluk agama yang berbeda hanya sebagian kecil dari deretan pelayanan yang harus dibumikan kepada seluruh anak bangsa dalam konteks bernegara. Prinsip ini tidak hanya menjadi slogan saja, tetapi harus inheren dalam program Kemenag. Program revitalisasi KUA yang telah digagas oleh Kemenag, tidak hanya merenovasi secara fisik ratusan kantor-kantor KUA yang tersebar di nusantara sejak 2021 sampai 2023, tetapi juga peningkatan kualitas layanan keagamaan kepada masyarakat juga menjadi prioritas.

Jika melihat roadmap revitalisasi KUA, yang digawangi Direktorat Bimas Islam, penulis optimistis bahwa KUA akan memberi manfaat yang lebih luas kepada masyarakat, terutama terkait pelayanan keagamaan. Progam ini juga pada dasarnya adalah wujud implementasi egalitarianisme dimana kantor-kantor KUA harus memiliki kantor yang sama antara yang berlokus di desa dan di kota. Selain itu, dari segi kuantitas dan demografis, kantor-kantor KUA memiliki modal yang kuat karena merekalah paling dekat serta bersentuhan langsung dengan masyarakat.

Yang paling penting dari semua ini adalah para pegawai KUA harus lebih egaliter lebih awal sebelum ide KUA untuk semua agama dieksekusi. Namun demikian, penerapan ide KUA untuk semua agama tentu membutuhkan kajian yang mendalam, terutama dari aspek regulasinya, sumber daya, dan persepsi masyarakat, namun setidaknya gagasan segar ini telah memantik kesadaran kita bagaimana seharusnya kita beragama. Akhirnya, jika penulis diminta untuk merespon ide ini, jawabannya: "Kalau aku sih, yes."
(abd)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More