Peneliti CSIPP: Oposisi Penting untuk Check and Balances Pemerintahan Mendatang
Selasa, 27 Februari 2024 - 12:28 WIB
JAKARTA - Pemilu 2024 selesai digelar 14 Februari lalu. Melalui hitung cepat (quick count) yang dilakukan beberapa lembaga survei hasilnya sudah diketahui, Pilpres 2024 dimenangi paslon nomor 02 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Sementara untuk Pileg, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai peraih suara terbanyak.
Peneliti senior Centre for Strategic and Indonesia Public Policy (CSIPP) Agus Surono berpendapat, hasil pilpres dan pileg menggambarkan dua kekuatan yang berbeda. Prabowo-Gibran diusung 4 partai politik di DPR, yakni Golkar, Gerindra, PAN, dan Demokrat. Sementara PDIP mengusung pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
"Jika, pada akhirnya perolehan suara hasil hitung Komisi Pemilihan Umum (KPU) paralel dengan hasil Quick count, maka hasil pemilu kali ini memungkinkan suguhan demokrasi yang menarik. Satu sisi, PDIP sebagai partai pemenang pileg, tapi kalah di pilpres, sementara Gerindra kalah di pileg, tapi menang di Pilpres," kata Agus, Selasa (27/2/2024).
Menurut Agus, dua kutub besar tersebut akan menjadi orkestrasi demokrasi antara eksekutif dengan legislatif. Bahwa pemerintah yang sedang berkuasa, di saat bersamaan perlu kehadiran oposisi untuk mengontrol secara kritis kebijakan dan program negara yang akan dan sedang dilaksanakan.
"Kehadiran oposisi juga akan memberikan insentif demokrasi dan check and balances antara legislatif dan eksekutif. Hal ini tidak cukup terlihat dalam pemerintahan 1 dekade terakhir yang menunjukkan dominannya eksekutif terhadap legislatif," terang alumnus Fisipol Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) ini.
Harus diakui, menjadi oposisi kekuasaan tidak mudah. Selain oposisi sendiri tidak dikenal dalam sistem politik Indonesia yang mengedepankan presidensialisme multi partai, menjadi oposisi juga secara otomatis menutup kran dan akses terhadap sumber-sumber kekuasaan dan ekonomi. Hal yang tentu saja bisa berdampak pada modalitas politik dalam pertarungan Pemilu 2029.
"Tetapi, manakala pemerintah yang berkuasa tidak menjalankannya dengan baik, dan tingkat kepuasan rakyat rendah, maka oposisi potensial mendapatkan dukungan rakyat. Dan ini tentu saja cukup menguntungkan untuk kepentingan elektoral ke depan," tandasnya.
Agus mengatakan, dalam sejarah perpolitikan Indonesia pasca-Orde Baru, PDIP merupakan salah satu atau bahkan satu-satunya parpol yang pernah memiliki pengalaman dan mampu menjalankan sikap oposisi atau di luar pemerintah. Yakni saat pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) periode 2004-2009 dan 2009-2014.
"Dengan melihat hasil pilpres dan pileg serta perkembangan politik pascapemilu, maka PDI Perjuangan sepertinya akan memilih jalan sunyi kekuasaan berupa oposisi. Kalau ini yang dipilih, maka politik Indonesia lima tahun ke depan akan diwarnai dinamika politik yang sangat menarik dan kaya gagasan," terangnya.
Peneliti senior Centre for Strategic and Indonesia Public Policy (CSIPP) Agus Surono berpendapat, hasil pilpres dan pileg menggambarkan dua kekuatan yang berbeda. Prabowo-Gibran diusung 4 partai politik di DPR, yakni Golkar, Gerindra, PAN, dan Demokrat. Sementara PDIP mengusung pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
"Jika, pada akhirnya perolehan suara hasil hitung Komisi Pemilihan Umum (KPU) paralel dengan hasil Quick count, maka hasil pemilu kali ini memungkinkan suguhan demokrasi yang menarik. Satu sisi, PDIP sebagai partai pemenang pileg, tapi kalah di pilpres, sementara Gerindra kalah di pileg, tapi menang di Pilpres," kata Agus, Selasa (27/2/2024).
Menurut Agus, dua kutub besar tersebut akan menjadi orkestrasi demokrasi antara eksekutif dengan legislatif. Bahwa pemerintah yang sedang berkuasa, di saat bersamaan perlu kehadiran oposisi untuk mengontrol secara kritis kebijakan dan program negara yang akan dan sedang dilaksanakan.
"Kehadiran oposisi juga akan memberikan insentif demokrasi dan check and balances antara legislatif dan eksekutif. Hal ini tidak cukup terlihat dalam pemerintahan 1 dekade terakhir yang menunjukkan dominannya eksekutif terhadap legislatif," terang alumnus Fisipol Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) ini.
Harus diakui, menjadi oposisi kekuasaan tidak mudah. Selain oposisi sendiri tidak dikenal dalam sistem politik Indonesia yang mengedepankan presidensialisme multi partai, menjadi oposisi juga secara otomatis menutup kran dan akses terhadap sumber-sumber kekuasaan dan ekonomi. Hal yang tentu saja bisa berdampak pada modalitas politik dalam pertarungan Pemilu 2029.
"Tetapi, manakala pemerintah yang berkuasa tidak menjalankannya dengan baik, dan tingkat kepuasan rakyat rendah, maka oposisi potensial mendapatkan dukungan rakyat. Dan ini tentu saja cukup menguntungkan untuk kepentingan elektoral ke depan," tandasnya.
Agus mengatakan, dalam sejarah perpolitikan Indonesia pasca-Orde Baru, PDIP merupakan salah satu atau bahkan satu-satunya parpol yang pernah memiliki pengalaman dan mampu menjalankan sikap oposisi atau di luar pemerintah. Yakni saat pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) periode 2004-2009 dan 2009-2014.
Baca Juga
"Dengan melihat hasil pilpres dan pileg serta perkembangan politik pascapemilu, maka PDI Perjuangan sepertinya akan memilih jalan sunyi kekuasaan berupa oposisi. Kalau ini yang dipilih, maka politik Indonesia lima tahun ke depan akan diwarnai dinamika politik yang sangat menarik dan kaya gagasan," terangnya.
(poe)
tulis komentar anda