Eep Saefulloh Singgung Anomali Bansos: Yang Berkuasa Punya Konflik Kepentingan

Minggu, 18 Februari 2024 - 15:08 WIB
Eep Saefulloh Fatah, menyoroti sebuah anomali di balik kebijakan dana bansos yang dikeluarkan pemerintahan Presiden Jokowi menjelang Pemilu 2024. Foto/SINDOnews
JAKARTA - Konsultan politik sekaligus pendiri PolMark Indonesia, Eep Saefulloh Fatah menyoroti sebuah anomali di balik kebijakan dana bantuan sosial (bansos) yang dikeluarkan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjelang Pemilu 2024.

Dia merinci, bansos dalam berbagai program seperti bantuan beras, Program Keluarga Harapan (PKH), dan bantuan langsung tunai (BLT) kepada masyarakat sejak tahun 2023 hingga penyelenggaraan Pemilu 2024 tersebut menembus Rp560,36 triliun.

Padahal sebelumnya, pada masa Pemilu 2019 atau Pilpres periode kedua Presiden Jokowi, jumlah bansos yang dikucurkan Rp194,76 triliun, sedangkan pada Pemilu 2014 jumlah bansos yang digulirkan Rp78,3 triliun.



"Ini tidak bisa dibiarkan terjadi. Ini akan menjadi modus operandi ketika setiap penguasa atau incumbent, orang yang berkuasa punya konflik kepentingan, membantu keluarganya memenangkan Pemilu akan menggelontorkan dana negara untuk tujuan partisan," kata Eep dilansir dari kanal Youtube Keep Talking, Minggu (18/2/2024).



Eep menyebutkan, penggelontoran dana bansos itu berhimpitan dengan kerja elektoral, seolah-olah tidak ada kaitan tetapi sesungguhnya dimanfaatkan untuk kegiatan pemenangan.

Modus operandi dugaan kecurangan Pemilu 2024 dengan bagi-bagi bansos, kata Eep, dilengkapi putusan Mahkamah Konsitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023, yang rasanya hingga saat ini tidak ada orang yang membantah bahwa ditilik dari sisi materi perundang-undangan dan perdebatan itu adalah nepotisme.

Seperti diketahui, putusan itu memberi karpet merah kepada putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka untuk melaju menjadi Calon Wakil Presiden (Cawapres) pada Pilpres 2024, karena sempat terganjal syarat batas usia untuk mencalonkan diri menjadi presiden atau wakil presiden adalah 40 tahun.

"Sesuatu yang haram hukumnya dan tidak boleh dilakukan presiden. Laporan demi laporan mobilisasi aparatur kita dengar dan tonton di mana-mana," ujarnya.

"Tidak usah mencari saya untuk mencari data itu, silakan buka data digital banyak tersebar di mana-mana dan kita saat ini terbantu dengan beredarnya film dokumenter Dirty Vote yang membantu menilai keadaan, mata kita terbuka tentang potensi kecurangan pemilu memang nyata ada di sekitar kita," tutupnya.
(maf)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More