TPN Ganjar-Mahfud: Pemilu yang Lahir dari Proses Cacat Tak Akan Miliki Legitimasi Kuat
Selasa, 06 Februari 2024 - 20:44 WIB
JAKARTA - Deputi Hukum Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar Pranowo-Mahfud MD , Todung Mulya Lubis mengingatkan, Pemilu bukan semata-mata mementingkan hasil siapa yang menang, tapi juga bagaimana prosesnya selama pemilihan.
Menurutnya, Pemilu yang lahir dari proses cacat atau dari hasil nepotisme, dan sarat dengan pelanggaran etik, tidak akan memiliki legitimasi kuat di mata rakyat.
“Dari jumlah pelanggaran yang kami kumpulkan ada 400-an laporan pelanggaran masuk dari berbagai sumber di hotline kami. Tapi, ada juga sebuah aplikasi yang sudah mengumpulkan hingga 40 ribu pelanggaran, lengkap dengan peta kecurangan di 31 provinsi di Indonesia. Di luar itu, masih banyak ‘dark numbers’, pelanggaran-pelanggaran yang tak dilaporkan,” kata Todung dalam diskusi media di Media Centre TPN, Cemara Menteng, Jakarta, Selasa (6/2/2024).
Pengacara senior ini menegaskan, masyarakat harus bersama mengawal agar pelanggaran-pelanggaran dalam pemilu bisa diminimalisir.
"Kami mengingatkan kepada semua pihak agar Pemilu ini tidak menjadi cacat. Mengapa penting, karena hajatan demokrasi ini terjadi lima tahun sekali, masyarakat punya hak untuk memilih dan tidak boleh satu suara pun dirugikan atau ditinggalkan," ucapnya.
Todung menyoroti kasus kertas suara ganda di Malaysia, sementara, dalam pengalamannya sebagai duta besar, kemungkian banyak warga negara Indonesia tak terdaftar sangat besar. "Dari sini kita tak tahu suara mereka ini rentan dimanipulasi," urainya.
Ia menyebut, massifnya pelanggaran di berbagai tempat seperti politisasi bansos, intervensi kekuasaan dan kriminalisasi suara-suara kritis, menimbulkan persepsi ada kemungkinan pemilu berlangsung tidak jujur dan adil, termasuk adanya manipulasi berupa penggelembungan suara.
Kekhawatiran itulah yang membuat Tim Hukum TPN hari ini datang ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). "Kami ingin Bawaslu bersikap tegas, tidak ambigu, dan profesional. Jangan sampai apa yang terjadi di MK, di KPU kemudian terjadi juga di Bawaslu, nanti dilaporkan kembali ke DKPP," ujarnya.
Menurutnya, Pemilu yang lahir dari proses cacat atau dari hasil nepotisme, dan sarat dengan pelanggaran etik, tidak akan memiliki legitimasi kuat di mata rakyat.
“Dari jumlah pelanggaran yang kami kumpulkan ada 400-an laporan pelanggaran masuk dari berbagai sumber di hotline kami. Tapi, ada juga sebuah aplikasi yang sudah mengumpulkan hingga 40 ribu pelanggaran, lengkap dengan peta kecurangan di 31 provinsi di Indonesia. Di luar itu, masih banyak ‘dark numbers’, pelanggaran-pelanggaran yang tak dilaporkan,” kata Todung dalam diskusi media di Media Centre TPN, Cemara Menteng, Jakarta, Selasa (6/2/2024).
Pengacara senior ini menegaskan, masyarakat harus bersama mengawal agar pelanggaran-pelanggaran dalam pemilu bisa diminimalisir.
"Kami mengingatkan kepada semua pihak agar Pemilu ini tidak menjadi cacat. Mengapa penting, karena hajatan demokrasi ini terjadi lima tahun sekali, masyarakat punya hak untuk memilih dan tidak boleh satu suara pun dirugikan atau ditinggalkan," ucapnya.
Todung menyoroti kasus kertas suara ganda di Malaysia, sementara, dalam pengalamannya sebagai duta besar, kemungkian banyak warga negara Indonesia tak terdaftar sangat besar. "Dari sini kita tak tahu suara mereka ini rentan dimanipulasi," urainya.
Ia menyebut, massifnya pelanggaran di berbagai tempat seperti politisasi bansos, intervensi kekuasaan dan kriminalisasi suara-suara kritis, menimbulkan persepsi ada kemungkinan pemilu berlangsung tidak jujur dan adil, termasuk adanya manipulasi berupa penggelembungan suara.
Kekhawatiran itulah yang membuat Tim Hukum TPN hari ini datang ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). "Kami ingin Bawaslu bersikap tegas, tidak ambigu, dan profesional. Jangan sampai apa yang terjadi di MK, di KPU kemudian terjadi juga di Bawaslu, nanti dilaporkan kembali ke DKPP," ujarnya.
tulis komentar anda