Jokowi Bilang Presiden Boleh Kampanye dan Memihak, Pakar: Ini soal Kepercayaan Publik
Rabu, 24 Januari 2024 - 13:14 WIB
JAKARTA - Pernyataan Presiden Joko Widodo ( Jokowi ) yang menyebut seorang kepala negara boleh berkampanye dan memihak disoroti banyak pihak. Terlebih, putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka merupakan salah satu kandidat Pilpres 2024.
Merespons hal tersebut, Pakar Hukum dari Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah Castro mengingkatkan soal kepercayaan publik. Sebab, kata dia, sebelum masa kampanye Jokowi cenderung sudah terlihat cawe-cawe atau memihak ke salah satu pasangan calon.
"Pada akhirnya ini bukan soal boleh tidaknya semata. Karena aturannya dalam UU Pemilu memang membolehnya kampanye. Tapi ini soal public trust. Publik kadung tidak percaya karena selama ini presiden cenderung cawe-cawe," jelas Castro, Rabu (24/1/2024).
Padahal, kata Castro, sikap preferensi politik oleh presiden hanya boleh ditunjukkan selama masa kampanye. Selama kampanye itu pun, ada aturan yang membatasi presiden sesuai dengan Pasal 281 Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
"Yakni diharusnya cuti di luar tanggungan negara, tidak menggunakan fasilitas negara, dan memperhatikan keberlangsungan penyelenggaraan negara dan pemerintah daerah," tambahnya.
Ia pun kembali mengingat Jokowi untuk mengedepankan aturan kampanye tersebut. Hal itu termasuk menteri dan pejabat negara lainnya yang melakukan politik praktis.
"Jadi intinya, presiden, menteri, dan pejabat lainnya, tidak boleh memihak ataupun cawe-cawe, selain saat kampanye," pungkasnya.
Merespons hal tersebut, Pakar Hukum dari Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah Castro mengingkatkan soal kepercayaan publik. Sebab, kata dia, sebelum masa kampanye Jokowi cenderung sudah terlihat cawe-cawe atau memihak ke salah satu pasangan calon.
"Pada akhirnya ini bukan soal boleh tidaknya semata. Karena aturannya dalam UU Pemilu memang membolehnya kampanye. Tapi ini soal public trust. Publik kadung tidak percaya karena selama ini presiden cenderung cawe-cawe," jelas Castro, Rabu (24/1/2024).
Padahal, kata Castro, sikap preferensi politik oleh presiden hanya boleh ditunjukkan selama masa kampanye. Selama kampanye itu pun, ada aturan yang membatasi presiden sesuai dengan Pasal 281 Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
"Yakni diharusnya cuti di luar tanggungan negara, tidak menggunakan fasilitas negara, dan memperhatikan keberlangsungan penyelenggaraan negara dan pemerintah daerah," tambahnya.
Ia pun kembali mengingat Jokowi untuk mengedepankan aturan kampanye tersebut. Hal itu termasuk menteri dan pejabat negara lainnya yang melakukan politik praktis.
"Jadi intinya, presiden, menteri, dan pejabat lainnya, tidak boleh memihak ataupun cawe-cawe, selain saat kampanye," pungkasnya.
(rca)
Lihat Juga :
tulis komentar anda