Politik Dinasti Dinilai Cenderung Destruktif, Ini Sejumlah Faktornya

Rabu, 29 Juli 2020 - 09:31 WIB
Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini mengatakan bicara politik dinasti bukan hanya soal politik kekerabatan dalam konteks hak asasi warga negara atau akses terhadap politik dan kepemiluan, tetapi juga soal politik kekerabatan atau politik dinasti
JAKARTA - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai praktik politik dinasti menjadi faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya politik kekerabatan yang cenderung destruktif.

Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini mengatakan bicara politik dinasti bukan hanya soal politik kekerabatan dalam konteks hak asasi warga negara atau akses terhadap politik dan kepemiluan, tetapi juga soal politik kekerabatan atau politik dinasti yang cenderung destruktif yang terjadi saat ini. (Baca juga: Tang Juan, Tentara China yang Dikejar-kejar FBI Diadili di AS)

Menurutnya, politik kekerabatan yang destruktif ini terjadi karena beberapa faktor. Pertama, kaidah hukum yang memungkinkan akses kepada pencalonan yang memang limitatif.



"(Pencalonan) yang hanya bisa dimiliki oleh partai-partai yang punya daya dukung besar, yaitu adanya ambang batas pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah 20% kursi atau 25 persen suara sah. Itu berkontribusi bagi akses yang limitatif di dalam proses pencalonan pilkada," tutur Titi Anggreini dalam Diskusi Forum Legislasi bertema Kekhawatiran Menguatnya Dinasti Politik di Media Center Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (28/7/2020).

Kedua, calon alternatif semakin sulit muncul dari 3-6,5% persyaratannya, sekarang menjadi 6,5%-10% sehingga akses politik semakin terbatas. "Hanya orang-orang dan kelompok tertentu saja, jadi ada kontribusi dari memang kaidah hukum atau regulasi pemilihan kita," katanya.

Berikutnya yang berkontribusi adalah proses rekrutmen yang diatur di dalam Undang-undang Pilkada yang makin sentralistik. Contohnya, daerah sudah melakukan rekrutmen tetapi DPP bisa ambil alih. "Jadi proses yang berlangsung di daerah itu bisa dieliminir, bisa kemudian batalkan oleh DPP," ucapnya.

Titi mengaku heran karena tata kelola pemerintahannya desentralisasi tapi partai semakin sentralistik. "Ini juga menjadi salah satu (penyebab). Ya mestinya kita evaluasi di dalam undang-undang kepemiluan kita," katanya.

Titi mencontohkan di sebuah daerah terjadi konflik di antara pengurus partai karena pengurus di daerah sudah memutuskan, lalu kemudian DPP mengambil alih. Persoalannya, pengambilalihannya tidak transparan dan tidak akuntabel.

"Nah itu yang yang pertama, jadi ada kontribusi dari kaidah hukum atau regulasi pemilihan kita yang memang seolah-olah memberi karpet merah bagi hadirnya politik dinasti," tuturnya.

Kedua, kata Titi, adalah kelembagaan partai politik kita yang ikut menyumbang kehadiran politik kekerabatan karena tata kelola internal partai yang belum demokratis.

"Sekarang bisa dikatakan rekrutmen itu kan elitis, yang memutuskan itu hanya segelintir orang saja di partai politik. Jadi pemilu yang demokratis itu kan harusnya pemilu yang kompetitif, tetapi kompetisi yang kompetitif itu bukan hanya ketika masa pemilu atau ketika pemungutan suara," jelasnya. (Baca juga: Pengusaha Hotel dan Restoran Meninggal, Diduga Positif COVID-19)

Menurutnya, seharusnya untuk mengakses proses pencalonan ada kompetisi yang melibatkan juga pengurus dan anggota partai. "Hari ini partai politik kita kedaulatan partai itu ada pada siapa, ada pada anggota, tetapi anggota partai hanya diingat ketika satu partai mau menjadi peserta pemilu karena ada persyaratan apa kepemilikan anggota minimal," tandasnya.
(kri)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More