Deepfake dan Tantangan Jurnalisme Masa Depan

Senin, 12 Juni 2023 - 14:10 WIB
Proses demokratisasi teknologi yang menjadi ciri masyarakat internet, tak urung terjadi juga pada AI yang mulai merangsek ke hampir semua sektor industri. Video palsu, yang tadinya hanya mungkin diproduksi oleh perusahaan besar dengan budget yang juga besar, kini bisa diproduksi menggunakan ponsel—yang dimiliki oleh hampir semua orang—dengan biaya nyaris nihil.

Aplikasi Reface misalnya, mampu menukar wajah aktor/aktris dalam adegan di film-film kondang dengan wajah kita atau wajah lain cukup dengan memasukkan foto sebagai umpan sehingga seolah-olah kitalah yang membintangi film-film tersebut. Aplikasi ini sangat populer dan menghibur. Reface telah diunduh satu juta kali dari Google Play Store saja.



Sementara produksi deepfake menjadi semakin mudah dan terjangkau, tidak demikian dengan teknologi untuk menanggulanginya. Model seperti CNN (Convolutional Neural Network) yang dapat digunakan untuk mendeteksi peta wajah, kedipan mata, kepadatan pixel, disparitas warna, dan beberapa elemen visual lainnya, sepertinya kalah cepat dan masih terbata-bata menghadapi perkembangan teknologi produksi video sintesis berbasi AI.

Deepfake sebagai ancaman jurnalisme



Kebanyakan deepfake yang tersebar di berbagai platform media sosial saat ini adalah foto/video artistik dan humor yang relatif tidak berbahaya dan bisa dikategorikan sebagai hiburan. Namun, seiring demokratisasi AI yang membuat akses terhadap teknologi ini menjadi semakin mudah dan murah, produksi deepfake menjadi semakin liar dan tak terkendali.

Hoaks politik menjadi semakin mudah dibuat dan disebar sehingga rawan menimbulkan benturan sosial dan potensial mengancam keamanan dan ketenteraman masyarakat. Pun fitnah (terutama kepada para pesohor) menjadi semakin produktif dan sulit dibedakan dari kenyataan. Belum lama ini, tokoh-tokoh politik dunia seperti Barack Obama, Donald Trump, dan Boris Johnson menjadi korban deepfake baik dalam format foto maupun video. Belum termasuk selebritas hiburan yang hampir selalu menjadi objek kebencian dan hujatan.

Berkaitan dengan potensi bahaya ini, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pernah merilis Siaran Pers No. 38/HM/KOMINFO/02/2022 yang pada intinya memaklumatkan bahaya jurnalisme instan dan informasi palsu. Menurut Dirjen IKP (Informasi dan Komunikasi Publik) Usman Kansong, setiap individu kini bisa memproduksi berita, sehingga yang diberitakan tersebut bisa saja merupakan kebohongan atau bentuk disinformasi, misinformasi, atau malinformasi yang lazim kita sebut sebagai hoaks. Karenanya, pers (media arus utama) memiliki peran penting dalam melakukan klarifikasi dan kontra narasi terhadap berita-berita bohong tersebut. Pers semestinya tidak menjadi pengekor tetapi menjadi pelopor wacana publik yang terjadi di masyarakat.

Kontra narasi berkaitan dengan upaya melawan penyebaran informasi palsu—apa pun formatnya—untuk mengantisipasi ancaman yang mungkin terjadi akibat distribusi berita-berita yang menyesatkan, fitnah, termasuk menyaring paham-paham radikal dan ideologi berbahaya lainnya. Lalu, selain pers dan lembaga-lembaga jurnalistik, siapa lagi yang bertanggung jawab mengantisipasi hoaks dan deepfake?

Mika Waterlund mengusulkan 4 cara untuk mengantisipasi bahaya deepfake, meliputi: 1) undang-undang dan peraturan; 2) kebijakan korporat dan tindakan sukarela; 3) pendidikan dan pelatihan; dan 4) teknologi anti-deepfake.

Tentu saja, negara harus hadir dalam upaya pencegahan bahaya deepfake dan berita palsu. Pemerintah memiliki kewenangan dalam menerbitkan undang-undang yang mengatur bagaimana deepfake diproduksi dan atau disebarkan. Peraturan yang dimaksud juga harus memuat sanksi tegas kepada yang melanggar.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More