RUU Kesehatan dan Hak Pekerja Memicu Polemik, Ini Penyebabnya
Minggu, 30 April 2023 - 16:25 WIB
JAKARTA - Jelang peringatan May Day 1 Mei 2023 esok, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, mengklaim bahwa 100 ribu buruh bakal ikut serta dalam aksi unjuk rasa di Istana Kepresidenan dan gedung Mahkamah Konsititusi. Salah satu tuntuntan yang akan disuarakan ialah perihal RUU Kesehatan yang disebut-sebut memicu polemik dan tidak berpihak pada pekerja.
Pihaknya menolak rencana pengelolaan dana BPJS Kesehatan diambil alih Kementerian Kesehatan melalui RUU Kesehatan tersebut. Pasalnya, dana tersebut bukan murni berasal dari APBN, melainkan juga terdiri atas dana yang berasal dari iuran pekerja hingga pengusaha.
“BPJS Kesehatan harus di bawah langsung presiden. Ketika ada keadaan darurat dan dana BPJS berkurang, itu presiden bisa keluarkan APBN atau sumber lain. Kalau menteri kan tidak bisa. Makanya kita usulkan BPJS di bawah presiden, karena dana BPJS ada tiga sumber. Ada Penerima Bantuan Iuran (PBI) melalui APBN, iuran buruh, dan iuran mandiri. Masa mau diambil pemerintah di bawah Menteri Kesehatan,” katanya, beberapa waktu lalu.
Mengamati hal tersebut, Dinna Prapto Raharja, Direktur Eksekutif Synergy Policies, mengungkapkan bahwa RUU Kesehatan memang berdampak fundamental terhadap sistem kesehatan di Indonesia, apalagi RUU tersebut mencabut 9 undang-undang terkait kesehatan dan mengubah 4 undang-undang yang menjamin hak warga negara mendapatkan jaminan kesehatan, termasuk di dalamnya hak pekerja.
Dinna Prapto Raharja, Direktur Eksekutif Synergy Policies.
“Kementerian Kesehatan sebagai regulator hendaknya fokus menjamin penyelesaian masalah struktural, seperti kecukupan ketersediaan tempat tidur, dokter, dokter spesialis, perawat, dan sejenisnya di seluruh Indonesia. JKN yang diselenggarakan secara independen adalah mandat konstitusi yang tidak bisa dicabut UU Omnibus. Keliru kalau menyalahkan JKN, karena ada pekerjaan rumah yang belum dilakukan regulator,” tegasnya, Minggu (30/4/2023).
Sebagai peneliti yang turut mengawal proses lahirnya UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), UU BPJS, dan regulasi turunannya, Dinna mengungkapkan bahwa JKN merupakan bagian dari transformasi kesehatan nasional. JKN menyediakan perlindungan sosial bagi seluruh warga negara di bidang kesehatan, terlebih 114,7 juta penduduk Indonesia berstatus ‘menuju kelas menengah’ dan 61 juta penduduk berstatus 'rentan'.
“Tanpa JKN, kemampuan warga negara Indonesia untuk mendapatkan layanan kesehatan akan tergerus. Sistem akan kembali ke sistem awal sebelum ada JKN. Perbaikan kemampuan rumah sakit dan dokter dalam merespon JKN justru seharusnya dijadikan prioritas dalam transformasi kesehatan nasional. Kami tidak melihat adanya overlapping struktur kewenangan antara Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan. Upaya mengubah kondisi ini melalui RUU Kesehatan, justru mengganggu transformasi layanan sistem kesehatan yang sudah berjalan sejak tahun 2014,” pungkas Dinna.
Pihaknya menolak rencana pengelolaan dana BPJS Kesehatan diambil alih Kementerian Kesehatan melalui RUU Kesehatan tersebut. Pasalnya, dana tersebut bukan murni berasal dari APBN, melainkan juga terdiri atas dana yang berasal dari iuran pekerja hingga pengusaha.
“BPJS Kesehatan harus di bawah langsung presiden. Ketika ada keadaan darurat dan dana BPJS berkurang, itu presiden bisa keluarkan APBN atau sumber lain. Kalau menteri kan tidak bisa. Makanya kita usulkan BPJS di bawah presiden, karena dana BPJS ada tiga sumber. Ada Penerima Bantuan Iuran (PBI) melalui APBN, iuran buruh, dan iuran mandiri. Masa mau diambil pemerintah di bawah Menteri Kesehatan,” katanya, beberapa waktu lalu.
Mengamati hal tersebut, Dinna Prapto Raharja, Direktur Eksekutif Synergy Policies, mengungkapkan bahwa RUU Kesehatan memang berdampak fundamental terhadap sistem kesehatan di Indonesia, apalagi RUU tersebut mencabut 9 undang-undang terkait kesehatan dan mengubah 4 undang-undang yang menjamin hak warga negara mendapatkan jaminan kesehatan, termasuk di dalamnya hak pekerja.
Dinna Prapto Raharja, Direktur Eksekutif Synergy Policies.
“Kementerian Kesehatan sebagai regulator hendaknya fokus menjamin penyelesaian masalah struktural, seperti kecukupan ketersediaan tempat tidur, dokter, dokter spesialis, perawat, dan sejenisnya di seluruh Indonesia. JKN yang diselenggarakan secara independen adalah mandat konstitusi yang tidak bisa dicabut UU Omnibus. Keliru kalau menyalahkan JKN, karena ada pekerjaan rumah yang belum dilakukan regulator,” tegasnya, Minggu (30/4/2023).
Sebagai peneliti yang turut mengawal proses lahirnya UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), UU BPJS, dan regulasi turunannya, Dinna mengungkapkan bahwa JKN merupakan bagian dari transformasi kesehatan nasional. JKN menyediakan perlindungan sosial bagi seluruh warga negara di bidang kesehatan, terlebih 114,7 juta penduduk Indonesia berstatus ‘menuju kelas menengah’ dan 61 juta penduduk berstatus 'rentan'.
“Tanpa JKN, kemampuan warga negara Indonesia untuk mendapatkan layanan kesehatan akan tergerus. Sistem akan kembali ke sistem awal sebelum ada JKN. Perbaikan kemampuan rumah sakit dan dokter dalam merespon JKN justru seharusnya dijadikan prioritas dalam transformasi kesehatan nasional. Kami tidak melihat adanya overlapping struktur kewenangan antara Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan. Upaya mengubah kondisi ini melalui RUU Kesehatan, justru mengganggu transformasi layanan sistem kesehatan yang sudah berjalan sejak tahun 2014,” pungkas Dinna.
(ars)
tulis komentar anda