Urgensi RUU Pengawasan Obat dan Makanan serta Kemandirian BPOM

Kamis, 19 Januari 2023 - 21:55 WIB
Seperti diketahui, industri farmasi nasional memproduksi sekitar 90% dari total volume obat nasional dengan berbagai jenis tablet, sirop, injeksi, kapsul, inhalasi dan berbagai produk obat lainnya. Tapi, kasus pencemaran obat hanya terjadi spesifik pada jenis sirup dan tidak terjadi pada semua jenis produk obat dari industri farmasi lainnya.

Data menunjukkan sekitar 5% dari ragam obat sirop yang sempat beredar yang tercemar dan kurang dari 2% dari total obat yang beredar yang tercemar. Sementara itu, lebih dari 94% obat sirop lainnya layak dikonsumsi.

Hal ini menunjukkan mayoritas sistem pengawasan kualitas produksi industri farmasi dan sistem pembinaan oleh BPOM secara mayoritas sudah berjalan baik, meski di sisi lain ada penyebab spesifik yang menyebabkan permasalahan pada obat sirop.

Pada kasus masuknya bahan baku impor obat sirop berupa polyethylene glycol (PEG), propylene glycol (PG) maupun EG/DEG, ke Indonesia, Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia (GPFI) mensinyalir adanya pemalsuan bahan pelarut oleh oknum supplier kimia yang mengganti bahan PG menjadi EG/DEG. Selain itu, hasil produksi sirop obat jadi, tidak diperiksa untuk kandungan EG/DEG karena selama ini belum ada standar di dunia untuk pemeriksaan EG/DEG pada produk obat jadi.

Meski kasus tersebut masih dalam ranah penyelidikan hukum, BPOM berpandangan jika bahan-bahan tersebut, masuk ke dalam negeri sebagaimana bahan kimia umum lainnya untuk kebutuhan industri. Padahal, bahan baku tambahan dalam proses produksi obat sudah semestinya dalam jangkauan pharmaceutical grade yang diawasi BPOM.

Untuk itu, pengawasan obat dan makanan masih memerlukan penguatan payung hukum berupa undang-undang, dan setiap kelembagaan yang diberikan tugas untuk melaksanakan pengawasan obat dan makanan memiliki independensi dan kewenangan yang kuat dalam melaksanakan tugasnya.

Prof Keri yang juga Wakil Ketua Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia mendukung upaya penguatan kemandirian lembaga BPOM selama diikuti kemampuan menyesuaikan irama keperluan layanan masyarakat, seperti perizinan yang cepat, membuka peluang produk inovasi, birokrasi yang tidak kaku. Kemampuan beradaptasi itu memperkuat citra BPOM sebagai pelindung masyarakat, bukan justru penghambat.

"Kemandirian lembaga BPOM diharapkan juga mempertegas tanggung jawab hukum manakala timbul persoalan keamanan produk obat dan makanan di masyarakat, sehingga tidak terjadi saling lempar antarinstansi," jelasnya.

Sebagai perbandingan, perlu dilihat bagaimana negara lain mengatur dan melakukan pengawasan obat dan makanan. Seperti yang dilakukan oleh Food Standards Australia New Zealand/FSANZ (Australia), Ministry of Food and Drug Safety/MFDS (Korea Selatan), Pharmaceuticals and Medical Devices Agency/PMDA (Jepang), dan Saudi Food and Drug Authority/Saudi-FDA (Arab Saudi).

Dari keempat negara tersebut, MFDS Korea Selatan merupakan otoritas regulator nasional yang dinilai dapat digunakan sebagai acuan dalam penguatan kelembagaan BPOM, seperti dari segi tugas, fungsi dan peran dalam melakukan pengawasan terhadap obat, alat kesehatan, produk biologi, kosmetik, obat herbal, obat kuasi, dan makanan yang meliputi produk pertanian, peternakan, perikanan.
Halaman :
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More