Faktor Ekonomi Kerap Menjadi Pemicu

Senin, 11 Mei 2015 - 09:41 WIB
Faktor Ekonomi Kerap...
Faktor Ekonomi Kerap Menjadi Pemicu
A A A
PENEMUAN kuburan massal di hutan terpencil di Thailand belum lama ini mengungkap maraknya praktik perdagangan manusia antarnegara.

Penemuan mengerikan itu diyakini merupakan jasad para imigran dari Myanmar dan Bangladesh. Para migran ilegal tersebut kebanyakan berasal dari etnis muslim Rohingya. Merekaberani melakukan perjalanan berbahaya dengan menyeberangi laut untuk menghindari penganiayaan agama dan etnis serta dipekerjakan di Malaysia dan Thailand, daerah pusat perdaganganmanusiadiAsia Tenggara.

Etnis muslim Rohingya selama puluhan tahun mengalami diskriminasi hingga menyebabkan status mereka kini stateless atau tidak memiliki negara. Jauh sebelum konflik Rohingya pada 2012 ini menyita perhatian dunia, sebenarnya etnis Rohingya telah ditindas selama puluhan tahun, baik oleh negara maupun etnis mayoritas di Myanmar.

Ribuan orang Rohingya dibunuh, baik oleh negara maupun etnis mayoritas karena mereka dianggap minoritasdanbukanbagiandari Burma. Kekerasan terhadap etnis Rohingya berulang terus setelah Burma merdeka. Operasi tentara sering kali dilakukan sejak 1950-an. Yang paling sadis adalah Na Sa Ka Operation, di antaranya dengan metode kekerasan, pengusiran, Burmanisasi, halangan untuk menikah, dan pemerkosaan.

Praktik ini dianggap sebagai state violence , di mana negara melakukan genosida, pembantaian etnis (ethic cleansing ), yang kemudian berkembang menjadi kejahatan sipil antarorang Rohingya dengan orang Arakan lain. Etnis Rohingya pun berbondong- bondong pergi menuju Bangladesh untuk mencari perlindungan, namun yang didapat justru penolakan.

Akhirnya mereka meminta bantuan para penyelundup untuk mengangkut mereka dengan perahu yang sudah tua di Laut Andaman menuju Thailand dan Malaysia. Setibanya disana, mereka berniat melanjutkan perjalanan ke luar menujuAustralia, Eropa, kadangkadang Turki. Bagi mereka yang berhasil, para migran tersebut biasanya mengirim uang untuk keluarganya dengan harapan mereka bisa bersatu kembali di kemudian hari.

Sayangnya, para penyelundup menyadari peluang bisnis haram tersebut. Mereka tidak hanya puas dengan menerima uang untuk transportasi, tapi juga mulai menangkap para migran yang mereka angkut dan menahannya di kamp-kamp sampai uang tebusan dibayarkan. Para penyelundup kemudian mulai memaksa para migran ke perahu, mengangkutnya ke lokasi yang bertentangan dengan keinginan mereka, dan menahan mereka untuk uang tebusan.

Jika tidak sanggup membayar, mereka akan dijual kepada negara-negara yang membutuhkan tenaga kerja. Selama dikamp penahanan, beberapa yang sakit ditinggalkan begitu saja bahkan bila sampai meninggal dikubur seadanya. ”Ketika mereka diculik, sering kali perekrut ingin mendapatkan uang dengan menempatkan mereka di laut,” kata Chris Lewa, direktur Arakan Project, LSM yang bekerja mengamati nasib etnis Rohingya di Myanmar selama lebih dari satu dekade, dikutip BBC .

Sementara di Thailand, banyak menampung para imigran untuk dipekerjakan dalam berbagai sektor, termasuk di dunia prostitusi. Umumnya kasus perdagangan manusia dipicu faktor kemiskinan, kurangnya lowongan pekerjaan, minimnya pendidikan, dan keluarga yang berantakan.

Ananda nararya
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8963 seconds (0.1#10.140)