Rumah Tanpa Batas
A
A
A
Selain sebagai tempat beristirahat, rumah bagi Hikmahanto Juwana adalah tempat bekerja. Bagaimana tidak, dalam satu lingkup pagar terdapat tempat tinggal yang berdampingan dengan rumah yang difungsikan sebagai kantor serta perpustakaan.
”Sebagai dosen, saya senang bekerja tanpa batas karena ide bisa muncul di mana saja. Nah , biasanya inspirasi muncul di rumah,” kata Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia ini kepada KORAN SINDO saat dijumpai di kediamannya di kawasan Mampang, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu. Hik, sapaan Hikmahanto, mengaku lebih senang berada di griya yang merangkap kantor ini.
”Spot favorit saya di sana (menunjuk rumah yang difungsikan sebagai kantor, red ). Terkadang istri suka complain karena susah dibedakan kapan saat bekerja, kapan di rumah,” ujarnya. Di sudut belakang tempat tinggal Hik terdapat sebuah ruang kaca, lengkap dengan beragam alat olahraga. Rumah juga sebagai tempat berolahraga. Hik mengatakan, rumah yang dia huni bersama keluarganya ini dulu merupakan milik sang ayah, Juwana, yang dibeli pada era 1970- an.
Setelah menikahi Nenden Esty Nurhayati, Hik memutuskan untuk memboyong keluarganya pindah ke daerah Bekasi Timur dengan menyewa sebuah rumah pada 1993. Tak berselang lama, mereka pun membeli rumah di Bekasi Barat. ”Ternyata capek juga Bekasi-Jakarta- Bekasi karena kebanyakan aktivitas saya di Jakarta,” imbuh peraih gelar doktor dari University of Nottingham pada 1997 ini. Hik lantas memutuskan untuk mencari rumah di Jakarta.
Telanjur cinta dengan kawasan Mampang, dia pun mencari calon huniannya di sekitar lokasi ini. Sayang, selalu ada kendala untuk mendapatkan rumah di daerah tersebut. Pada akhirnya sang ayah menawarkan Hik untuk membeli rumah beliau. Dengan catatan, sesuai harga pasaran agar tidak menimbulkan kesenjangan di antara saudara kandungnya.
”Beliau mengatakan saya yang lebih membutuhkan, sementara beliau hanya butuh tempat olahraga,” ujar profesor termuda dalam bidang hukum internasional, sekaligus Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) periode 2004-2008 ini. Hik membeli griya ayahnya pada 2003. Bagian depan dibiarkan seperti aslinya, hanya ada sedikit pembetulan seperti di bagian kusen.
Perubahan diutamakan mulai ruang makan hingga taman belakang. ”Bapak (suami) suka yang terang, maka dibuat kaca-kaca. Kalau di (bagian) depan masih bangunan lama,” ujar istri Hik, Nenden. Ruang gerak Hik kala berada di huniannya sebatas pada bagian belakang ini. Kamar utama, ruang makan, dan tempat berolahraga. Di bagian depan griya terdapat ruang tamu dan ruang keluarga.
Di ruang tamu terdapat tiga lukisan karya ibunda Hik, Siti Aisjah. Ada pula sebuah balai tempat bersantai. ”Bale dari Vietnam, sudah ada dari zaman ayah saya. Furnitur turunan,” ujar Hik, disertai gelak tawa. ”Kami kurang suka membeli pernak-pernik pajangan. Pajangan di rumah ini entah turunan dari orang tua atau pemberian teman,” timpal Nenden, yang dinikahi Hik pada 1990.
Hunian bertingkat ini tidak memiliki desain tertentu. Hik mengatakan, ayahnya menyukai putih sebagai elemen warna interior dan kehijauan untuk eksterior. Lantai satu terdiri atas ruang tamu dengan nuansa kayu, ruang keluarga berkonsep lebih modern, ruang workshop fashion, kamar tamu, ruang televisi anak-anak, ruang makan, dapur bersih, dan kamar utama.
Di lantai dua, terdapat kamar anak serta butik milik Nenden. Pada 2007, Hik membeli sebuah rumah yang tepat bersebelahan dengan griya yang dia huni. Sadar akan koleksi bukunya yang melimpah, Hik menjadikan rumah ini sebagai perpustakaan sekaligus kantor. Selain perpustakaan, terdapat pula ruang kerja, ruang kelas, dan ruang tamu. Di belakang ada kolam renang dan tempat duduk bersantai di pinggir kolam.
”Kolam renang ini bawaan, sudah ada sejak saya beli. Saya suka duduk-duduk di dekat kolam renang sambil baca ditemani gemericik air,” kata pria peraih British Achieving Award dari pemerintah Inggris ini. Impian Hik mengenai rumah pun tercapai, sebab impiannya tentang rumah yaitu punya rumah di Jakarta. ”Jadi, inilah rumah impian saya,” tutup pria yang hobi bersepeda ini.
Dina angelina
”Sebagai dosen, saya senang bekerja tanpa batas karena ide bisa muncul di mana saja. Nah , biasanya inspirasi muncul di rumah,” kata Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia ini kepada KORAN SINDO saat dijumpai di kediamannya di kawasan Mampang, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu. Hik, sapaan Hikmahanto, mengaku lebih senang berada di griya yang merangkap kantor ini.
”Spot favorit saya di sana (menunjuk rumah yang difungsikan sebagai kantor, red ). Terkadang istri suka complain karena susah dibedakan kapan saat bekerja, kapan di rumah,” ujarnya. Di sudut belakang tempat tinggal Hik terdapat sebuah ruang kaca, lengkap dengan beragam alat olahraga. Rumah juga sebagai tempat berolahraga. Hik mengatakan, rumah yang dia huni bersama keluarganya ini dulu merupakan milik sang ayah, Juwana, yang dibeli pada era 1970- an.
Setelah menikahi Nenden Esty Nurhayati, Hik memutuskan untuk memboyong keluarganya pindah ke daerah Bekasi Timur dengan menyewa sebuah rumah pada 1993. Tak berselang lama, mereka pun membeli rumah di Bekasi Barat. ”Ternyata capek juga Bekasi-Jakarta- Bekasi karena kebanyakan aktivitas saya di Jakarta,” imbuh peraih gelar doktor dari University of Nottingham pada 1997 ini. Hik lantas memutuskan untuk mencari rumah di Jakarta.
Telanjur cinta dengan kawasan Mampang, dia pun mencari calon huniannya di sekitar lokasi ini. Sayang, selalu ada kendala untuk mendapatkan rumah di daerah tersebut. Pada akhirnya sang ayah menawarkan Hik untuk membeli rumah beliau. Dengan catatan, sesuai harga pasaran agar tidak menimbulkan kesenjangan di antara saudara kandungnya.
”Beliau mengatakan saya yang lebih membutuhkan, sementara beliau hanya butuh tempat olahraga,” ujar profesor termuda dalam bidang hukum internasional, sekaligus Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) periode 2004-2008 ini. Hik membeli griya ayahnya pada 2003. Bagian depan dibiarkan seperti aslinya, hanya ada sedikit pembetulan seperti di bagian kusen.
Perubahan diutamakan mulai ruang makan hingga taman belakang. ”Bapak (suami) suka yang terang, maka dibuat kaca-kaca. Kalau di (bagian) depan masih bangunan lama,” ujar istri Hik, Nenden. Ruang gerak Hik kala berada di huniannya sebatas pada bagian belakang ini. Kamar utama, ruang makan, dan tempat berolahraga. Di bagian depan griya terdapat ruang tamu dan ruang keluarga.
Di ruang tamu terdapat tiga lukisan karya ibunda Hik, Siti Aisjah. Ada pula sebuah balai tempat bersantai. ”Bale dari Vietnam, sudah ada dari zaman ayah saya. Furnitur turunan,” ujar Hik, disertai gelak tawa. ”Kami kurang suka membeli pernak-pernik pajangan. Pajangan di rumah ini entah turunan dari orang tua atau pemberian teman,” timpal Nenden, yang dinikahi Hik pada 1990.
Hunian bertingkat ini tidak memiliki desain tertentu. Hik mengatakan, ayahnya menyukai putih sebagai elemen warna interior dan kehijauan untuk eksterior. Lantai satu terdiri atas ruang tamu dengan nuansa kayu, ruang keluarga berkonsep lebih modern, ruang workshop fashion, kamar tamu, ruang televisi anak-anak, ruang makan, dapur bersih, dan kamar utama.
Di lantai dua, terdapat kamar anak serta butik milik Nenden. Pada 2007, Hik membeli sebuah rumah yang tepat bersebelahan dengan griya yang dia huni. Sadar akan koleksi bukunya yang melimpah, Hik menjadikan rumah ini sebagai perpustakaan sekaligus kantor. Selain perpustakaan, terdapat pula ruang kerja, ruang kelas, dan ruang tamu. Di belakang ada kolam renang dan tempat duduk bersantai di pinggir kolam.
”Kolam renang ini bawaan, sudah ada sejak saya beli. Saya suka duduk-duduk di dekat kolam renang sambil baca ditemani gemericik air,” kata pria peraih British Achieving Award dari pemerintah Inggris ini. Impian Hik mengenai rumah pun tercapai, sebab impiannya tentang rumah yaitu punya rumah di Jakarta. ”Jadi, inilah rumah impian saya,” tutup pria yang hobi bersepeda ini.
Dina angelina
(ars)