Menuju Kota Wisata Dunia

Minggu, 10 Mei 2015 - 10:15 WIB
Menuju Kota Wisata Dunia
Menuju Kota Wisata Dunia
A A A
Kehadiran Bandros ternyata mendongkrak indeks Bandung sebagai kota wisata dunia. Bus city tour ini dengan cepat menjadi salah satu magnet yang menarik perhatian wisatawan domestik maupun mancanegara untuk datang ke Kota Kembang.

Di Indonesia, hanya Bandung dan Jakarta yang mampu memenuhi indeks standar sebagai kota wisata di dunia dengan sejumlah indikator. Bandros membantu Bandung dalam indikator transportasi wisata. Maka Bandung pun resmi bergabung dengan kota-kota lain dari 98 negara dalam Federasi Kota Pariwisata Dunia (World Tourism City Federation). Antusiasme masyarakat terhadap Bandros memang luar biasa.

Saat masih dioperasikan untuk umum, antrean penumpang tak pernah sepi. Fenomena ini sejalan dengan salah satu tujuan community awareness. Keberhasilan sebuah kota wisata bukan hanya dilihat dari kebersihan atau keindahannya. Kepedulian dan karakter masyarakat pun menjadi daya tarik wisata. Melihat hal ini, Pemerintah Kota Bandung berencana membentuk semacam konsorsium komunitas yang mengelola Bandros secara profesional. Pemesanan tiket diarahkan agar dapat dilakukan secara online.

Pemerintah Kota Bandung akan merangkul kalangan hotel dan pusat perbelanjaan untuk bekerjasama. Shelter-shelter pun akan didirikan berdasarkan hasil kajian mengenai lintasan atau rute yang paling banyak dikunjungi dan diminati para wisatawan. Setidaknya, ada empat zona lintasan yang direncanakan yakni heritage track, shopping track, history track, dan segmented track.

“Turis Singapura dan Malaysia lebih suka belanja ke Pasar Baru sedangkanturis Eropa lebih suka wisata sejarah. Jadi track ini disesuaikan dengan minat wisatawan,” jelas Kepala Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) Kota Bandung, Nicolaus Lumanauw. BPPD adalah pengelola Bandros saat ini. Namun keberadaan Bandros dinilai belum ditunjang infrastruktur yang mumpuni.

“Dari segi kuantitas, jumlah bus yang dioperasikan juga harus ditambah, disesuaikan dengan jumlah kunjungan wisatawan yang semakin banyak. Dari sisi kualitas, bus Bandros perlu sentuhan teknologi terkini dalam hal pelayanan informasi interaktif bagi para penumpang,” kata pengamat pariwisata dari Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) Bandung Anang Sutono.

Terlepas dari semua itu, Anang menilai Bandros menjadi sebuah perspektif baru untuk membangun pariwisata di Kota Bandung. Ini adalah wujud inovasi dan aplikasi konsep branding, advertising, dan selling (BAS).“Semacamefekdankekuatanbaruuntuk Bandung sebagai destinasi wisata yang sempurna,” pungkas kepala STP Bandung ini. Keberadaan Bandros pun potensial menjadi salah solusi kemacetan Kota Bandung di akhir pekan.

Para wisatawan akan lebih banyak yang memilih naik Bandros daripada menggunakan kendaraan pribadi untuk berwisata di dalam kota. Terlebih, sebagian besar wisatawan lokal datang ke Bandung untuk wisata belanja maupun kuliner. “Kalau mobilitas mereka beralih ke angkutan massal, tentu dapat meminimalisasi kemacetan secara signifikan,” terang pengamat transportasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Ofyar Z Tamim. Karena itu, armada Bandros memang selayaknya ditambah.

Bus-bus Bandros idealnya disiapkan di hotelhotel, pusat perbelanjaan, dan berbagai spot wisata potensial lainnya. Intervalnya pun dirapatkan, Dengan begitu, para wisatawan dari luar kota akan lebih memilih keliling Bandung dengan Bandros ketimbang menggunakan kendaraan carteran atau kendaraan pribadi. Pengamat tata kota dari ITB Deny Zulkaidi menyayangkan digunakannya kendaraan yang seharusnya khusus untuk wisatawan oleh masyarakat umum. “Ini terbalik. Seharusnya wisatawan yang ikut menggunakan transportasi masyarakat umum,” sesalnya.

Meski begitu, Deny tak menampik keberadaan Bandros memberi nilai tambah positif bagi pariwisata di Kota Bandung. Catatannya, manajemen operasional Bandros harus dikelola secara profesional, ada pengembangan rute, dan tentu penambahan armada. Menurut dia, perlu dilakukan klasterisasi rute terutama untuk spot-spot wisata di pusat kota.

Pengemudi Freelance

Seorang pengemudi Bandros, Dadang Sumardi, 62, mengaku mendapat upah Rp150.000 per hari. Dengan sistem carter seperti sekarang, jasanya hanya dipakai saat ada order. Karena itu, penghasilannya pun tidak tentu.

“Bagaimana lagi, saya kan freelance,” tutur pria yang pernah mengemudi bus tingkat PPD pada tahun 70-an di Jakarta ini . Dadang yang sudah sejak awal atau hampir 1,5 tahun menjadi pengemudi Bandros ini berharap kerjasama antara pengelola Bandros dengan pengemudi bisa ditingkatkan dengan gaji yang tetap. Terlebih apabila rencana Pemerintah Kota Bandung memperluas rute dan menambah armada Bandros benar-benar direalisasikan.

Sehari-hari, Dadang sudah siap mengoperasikan Bandros mulai pukul 07.00 WIB di garasi sementara, di Balai Kota Bandung. Seragamnya adalah kemeja warna merah sesuai warna bus dengan iket Sunda berwana cokelat plus kaca mata hitam. Dia mengaku bangga menjadipengemudi Bandros karena dapat melayani para wisatawan termasuk tamu-tamu penting seperti presiden, gubernur, kepala daerah, duta besar, juga menteri.

Dian rosadi
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0726 seconds (0.1#10.140)