Keluarga Keraton Anggap Sultan Tak Lagi Raja
A
A
A
BANTUL - Pertentangan antara Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X dengan adik-adiknya makin terbuka. Sembilan adik laki-laki Sultan kemarin bersamasama berziarah ke makam raja-raja Mataram di Imogiri, Bantul.
Ziarah ini untuk mendoakan agar Sultan HB X yang dinilai telah khilaf dengan mengeluarkan dua sabda raja agar bertaubat. Salah satu adik Sultan, Gusti Bendara Pangeran Haryo (GPPH) Yudhaningrat, mengatakan keluarga Keraton Yogyakarta tidak lagi mengakui Sri Sultan HB X sebagai ngarso dalem atau raja dan gubernur DIY.
Menurut Gusti Yudho— panggilan akrab Yudhaningrat—, merujuk paugeran (ketentuan), Ngarso Dalem Ngayogyokarto harus menggunakan gelar khalifatullah dan hamengku buwono. Sementara dalam sabda rajanya pada Kamis (30/4), Sultan justru membuang gelar khalifatullah serta mengganti hamengku buwono menjadi hamengku bawono. Keluarga tidak mengakui perubahan ini karena menyebabkan kekisruhan di tubuh Keraton Yogyakarta dan Pemerintah Daerah (Pemda) DIY.
Lantaran tidak mengakui lagi keberadaannya, mereka tak akan pernah menghadiri undangan atau panggilan dari Sri Sultan HB X. Komitmen ini akan dipegang selama Sultan masih menghilangkan sebutan khalifatullah dan memakai gelar hamengku bawono. Penghapusan simbol kelaki- lakian seperti khalifatullah diyakini untuk mengangkat putri sulung Sultan, yakni GKR Pembayun, menjadi putri mahkota. Keluarga tak mengelak setiap ada sabda raja, mereka mendapatkan undangan.
“Siapa yang mengundang, kalau masih Hamengku Bawono kami tetap tidak akan datang,” tegas Yudho seusai menyerahkan dana keistimewaan( danais) kepada abdi dalem Keraton Surakarta di Kekanjengan Imogiri kemarin. Gusti Yudho menandaskan, jika sabda raja dipaksakan, para adik Sri Sultan khawatir keraton dan rakyat Yogyakarta akan tercerai-berai. Kendati begitu, jika Sri Sultan tetap saja ngotot dengan sabda rajanya, mereka pun tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya bisa menyerahkan kemelut ini kepada Tuhan Yang Maha Esa.
“Sabda raja itu milik Tuhan, Hamengku Bawono yang artinya kekal juga itu hanya milik Tuhan. Tidak ada yang kekal,” ungkapnya. Bagi Gusti Yudho, Sultan dianggap merusak tatanan yang ada di keraton, padahal sejatinya dia hanyalah seseorang yang tinggal melaksanakan apa yang sudah tersedia. Jika ingin mengubah paugeran, Sri Sultan disarankan mendirikan kerajaan baru dan penggunaan sebutan hamengku bawono bukan yang ke-10, tetapi pertama atau kapisan.
Lebih jauh dia menilai keturunan atau anak-anak Sri Sultan HB X selama ini juga sudah diberi beberapa kedudukan yang penting di perusahaan milik keraton. Meski berseberangan, para pangeran mengaku tidak akan menyabotase Sri Sultan dengan mengangkat pelaksana tugas (plt) ngarso dalem. Mereka akan bermusyawarah terlebih dahulu dengan seluruh keluarga besar dan akan mengadakan Pisowanan Agung.
Selain berimplikasi pada kekisruhan di Keraton Yogyakarta, langkah Sultan juga berimplikasi besar terhadap dana keistimewaan. Sebab sesuai dengan undang-undang danais harus ada pengesahan dari Gubernur Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X bukan Sri Sultan Hamengku Bawono. Jika itu tetap dilakukan Sultan, hal tersebut termasuk dengan tindakan korupsi karena tidak sesuai dengan Undang-Undang Keistimewaan (UUK).
Ketua Dewan Kebudayaan Bantul Harsoyo HS juga mengaku kecewa dengan langkah Sri Sultan HB X. Cara-cara Sultan dinilai menyalahi dan melenceng jauh dari pendahulu-pendahulunya. Keberadaan keraton tidak bisa lepas dari peran Sri Sultan HB I yang telah berkorban dan tetap memilih Yogyakarta sebagai daerah kekuasaan.
Sultan Tak Risau Minim Dukungan
Di tengah kritikan tajam adikadiknya, Sri Sultan tetap menegaskan tak akan merevisi sabdanya. Sultan mengungkapkan, dalam dua kali sabda raja, yakni pada Kamis (30/4) dan Selasa (5/5), dia selalu mengundang adik-adiknya untuk hadir. Gubernur DIY ini mengungkapkan, sabda raja merupakan momen penting sehingga harus dihadiri oleh keluarga keraton.
“Mereka kan adik-adik saya, tetap saya undang. Akan saya jelaskan. Tapi nggak datang, ya sudah nggak papa,” ungkapnya di Kepatihan Yogyakarta kemarin. Raja yang naik takhta sejak 7 Maret 1989 ini menilai adikadiknya enggan datang karena tidak sepakat dengan sabda raja. “Ya bisa terjadi (tidak sepakat). Orang lain yang tidak setuju juga boleh kok. Wong orang belum kenal saya nggak setuju juga boleh. Ya kan, namanya orang. Ya udah gitu saja,” paparnya.
Ditanya apakah akan menjalin komunikasi lagi dengan para adik, Sultan mengungkapkan sudah tidak perlu lagi. “Nggak perlu,” tegasnya. Sultan sampai kemarin belum mengungkapkan secara jelas sabda raja yang kedua berupa penobatan GKR Pembayun yang berganti nama GKR Mangkubumi sebagai putri mahkota penerus takhta. Namun, secara implisit, Sultan tidak menampiknya. Pria bernama lahir BRM Herjuno Darpito itu mengaku sengaja membiarkan pihak yang tidak setuju atas keputusannya untuk berkomentar macam-macam lebih dahulu.
Pada saatnya nanti dia akan menjelaskan secara terbuka kepada publik, khususnyamedia massa seputar sabda raja dan latar belakangnya. “Minggu depan baru akan saya undang wartawan,” kata dia. Namun juru bicara adik-adik SultanHBX, GBPHPrabukusumo tetap menandaskan bahwa mayoritasadik-adikSultanHJBX tidak sepakat dengan sabda raja. “Kami menyadari, Ngarso Dalem (Sultan HB X) sudah khilaf,” katanya sebelum berangkat ke makam Imogiri.
Rombongan pangeran kemarin berangkat dari Tepas Keprajuritan Keraton Yogyakarta. Ada sembilan pangeran yang berziarah di Makam Imogiri. Mereka antara lain Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hadiwinoto, GBPH Prabukusumo, dan GBPH Cakraningrat. Gusti Prabu menegaskan, sikap para pangeranyangtidaksepakat dengan Sultan HB X tak memiliki kepentingan apa pun. Para pangeran juga tidak bermaksud memengaruhi siapa pun agar melawan apa yang telah dilakukan Sultan beberapa waktu terakhir ini.
“Kami hanya ingin menyelamatkan keraton tetap lestari, menjunjung tinggi leluhur. Itu yang terpenting,” tegasnya. Menyikapi kekisruhan di keraton, DPRD Istimewa Yogyakarta masih menunggu penjelasan langsung dari Sri Sultan mengenai isi sabda raja. “Nanti pada waktunya juga akan ada penjelasan dari Ngarso Dalem,” kata anggota Fraksi Partai Golkar DPRD DIY Slamet yang juga mantan Ketua Pansus Rancangan Peraturan Daerah Istimewa (Raperdais) DPRD DIY itu.
Erfanto linangkung/ ridwan anshori
Ziarah ini untuk mendoakan agar Sultan HB X yang dinilai telah khilaf dengan mengeluarkan dua sabda raja agar bertaubat. Salah satu adik Sultan, Gusti Bendara Pangeran Haryo (GPPH) Yudhaningrat, mengatakan keluarga Keraton Yogyakarta tidak lagi mengakui Sri Sultan HB X sebagai ngarso dalem atau raja dan gubernur DIY.
Menurut Gusti Yudho— panggilan akrab Yudhaningrat—, merujuk paugeran (ketentuan), Ngarso Dalem Ngayogyokarto harus menggunakan gelar khalifatullah dan hamengku buwono. Sementara dalam sabda rajanya pada Kamis (30/4), Sultan justru membuang gelar khalifatullah serta mengganti hamengku buwono menjadi hamengku bawono. Keluarga tidak mengakui perubahan ini karena menyebabkan kekisruhan di tubuh Keraton Yogyakarta dan Pemerintah Daerah (Pemda) DIY.
Lantaran tidak mengakui lagi keberadaannya, mereka tak akan pernah menghadiri undangan atau panggilan dari Sri Sultan HB X. Komitmen ini akan dipegang selama Sultan masih menghilangkan sebutan khalifatullah dan memakai gelar hamengku bawono. Penghapusan simbol kelaki- lakian seperti khalifatullah diyakini untuk mengangkat putri sulung Sultan, yakni GKR Pembayun, menjadi putri mahkota. Keluarga tak mengelak setiap ada sabda raja, mereka mendapatkan undangan.
“Siapa yang mengundang, kalau masih Hamengku Bawono kami tetap tidak akan datang,” tegas Yudho seusai menyerahkan dana keistimewaan( danais) kepada abdi dalem Keraton Surakarta di Kekanjengan Imogiri kemarin. Gusti Yudho menandaskan, jika sabda raja dipaksakan, para adik Sri Sultan khawatir keraton dan rakyat Yogyakarta akan tercerai-berai. Kendati begitu, jika Sri Sultan tetap saja ngotot dengan sabda rajanya, mereka pun tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya bisa menyerahkan kemelut ini kepada Tuhan Yang Maha Esa.
“Sabda raja itu milik Tuhan, Hamengku Bawono yang artinya kekal juga itu hanya milik Tuhan. Tidak ada yang kekal,” ungkapnya. Bagi Gusti Yudho, Sultan dianggap merusak tatanan yang ada di keraton, padahal sejatinya dia hanyalah seseorang yang tinggal melaksanakan apa yang sudah tersedia. Jika ingin mengubah paugeran, Sri Sultan disarankan mendirikan kerajaan baru dan penggunaan sebutan hamengku bawono bukan yang ke-10, tetapi pertama atau kapisan.
Lebih jauh dia menilai keturunan atau anak-anak Sri Sultan HB X selama ini juga sudah diberi beberapa kedudukan yang penting di perusahaan milik keraton. Meski berseberangan, para pangeran mengaku tidak akan menyabotase Sri Sultan dengan mengangkat pelaksana tugas (plt) ngarso dalem. Mereka akan bermusyawarah terlebih dahulu dengan seluruh keluarga besar dan akan mengadakan Pisowanan Agung.
Selain berimplikasi pada kekisruhan di Keraton Yogyakarta, langkah Sultan juga berimplikasi besar terhadap dana keistimewaan. Sebab sesuai dengan undang-undang danais harus ada pengesahan dari Gubernur Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X bukan Sri Sultan Hamengku Bawono. Jika itu tetap dilakukan Sultan, hal tersebut termasuk dengan tindakan korupsi karena tidak sesuai dengan Undang-Undang Keistimewaan (UUK).
Ketua Dewan Kebudayaan Bantul Harsoyo HS juga mengaku kecewa dengan langkah Sri Sultan HB X. Cara-cara Sultan dinilai menyalahi dan melenceng jauh dari pendahulu-pendahulunya. Keberadaan keraton tidak bisa lepas dari peran Sri Sultan HB I yang telah berkorban dan tetap memilih Yogyakarta sebagai daerah kekuasaan.
Sultan Tak Risau Minim Dukungan
Di tengah kritikan tajam adikadiknya, Sri Sultan tetap menegaskan tak akan merevisi sabdanya. Sultan mengungkapkan, dalam dua kali sabda raja, yakni pada Kamis (30/4) dan Selasa (5/5), dia selalu mengundang adik-adiknya untuk hadir. Gubernur DIY ini mengungkapkan, sabda raja merupakan momen penting sehingga harus dihadiri oleh keluarga keraton.
“Mereka kan adik-adik saya, tetap saya undang. Akan saya jelaskan. Tapi nggak datang, ya sudah nggak papa,” ungkapnya di Kepatihan Yogyakarta kemarin. Raja yang naik takhta sejak 7 Maret 1989 ini menilai adikadiknya enggan datang karena tidak sepakat dengan sabda raja. “Ya bisa terjadi (tidak sepakat). Orang lain yang tidak setuju juga boleh kok. Wong orang belum kenal saya nggak setuju juga boleh. Ya kan, namanya orang. Ya udah gitu saja,” paparnya.
Ditanya apakah akan menjalin komunikasi lagi dengan para adik, Sultan mengungkapkan sudah tidak perlu lagi. “Nggak perlu,” tegasnya. Sultan sampai kemarin belum mengungkapkan secara jelas sabda raja yang kedua berupa penobatan GKR Pembayun yang berganti nama GKR Mangkubumi sebagai putri mahkota penerus takhta. Namun, secara implisit, Sultan tidak menampiknya. Pria bernama lahir BRM Herjuno Darpito itu mengaku sengaja membiarkan pihak yang tidak setuju atas keputusannya untuk berkomentar macam-macam lebih dahulu.
Pada saatnya nanti dia akan menjelaskan secara terbuka kepada publik, khususnyamedia massa seputar sabda raja dan latar belakangnya. “Minggu depan baru akan saya undang wartawan,” kata dia. Namun juru bicara adik-adik SultanHBX, GBPHPrabukusumo tetap menandaskan bahwa mayoritasadik-adikSultanHJBX tidak sepakat dengan sabda raja. “Kami menyadari, Ngarso Dalem (Sultan HB X) sudah khilaf,” katanya sebelum berangkat ke makam Imogiri.
Rombongan pangeran kemarin berangkat dari Tepas Keprajuritan Keraton Yogyakarta. Ada sembilan pangeran yang berziarah di Makam Imogiri. Mereka antara lain Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hadiwinoto, GBPH Prabukusumo, dan GBPH Cakraningrat. Gusti Prabu menegaskan, sikap para pangeranyangtidaksepakat dengan Sultan HB X tak memiliki kepentingan apa pun. Para pangeran juga tidak bermaksud memengaruhi siapa pun agar melawan apa yang telah dilakukan Sultan beberapa waktu terakhir ini.
“Kami hanya ingin menyelamatkan keraton tetap lestari, menjunjung tinggi leluhur. Itu yang terpenting,” tegasnya. Menyikapi kekisruhan di keraton, DPRD Istimewa Yogyakarta masih menunggu penjelasan langsung dari Sri Sultan mengenai isi sabda raja. “Nanti pada waktunya juga akan ada penjelasan dari Ngarso Dalem,” kata anggota Fraksi Partai Golkar DPRD DIY Slamet yang juga mantan Ketua Pansus Rancangan Peraturan Daerah Istimewa (Raperdais) DPRD DIY itu.
Erfanto linangkung/ ridwan anshori
(ars)