Ini Poin Gugatan Novel Baswedan terhadap Bareskrim Polri
A
A
A
JAKARTA - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan telah mendaftarkan gugatan praperadilan terhadap Mabes Polri.
Gugatan itu didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Senin (4/5/2015). "Sudah didaftarkan," kata kuasa hukum Novel, Muhammad Isnur saat dihubungi Sindonews, Senin (4/5/2015).
Seperti diberitakan sebelumnya, Breskrim Polri telah menetapkan Novel sebagai tersangka kasus dugaan pencurian sarang burung walet di Bengkulu pada 2004 silam. Saat peristiwa itu, Novel menjabat Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Polres Bengkulu,
Isnur menjelaskan, gugatan praperadilan diajukan Novel karena keberatan terhadap penangkapan dan penahanan yang dilakukan kepolisian pada 1 Mei 2015.
Isnur menilai penangkapan kliennya bukan bertujuan untuk penegakan hukum. Adapun objek gugatan Novel terhadap Bareskrim Polri, yakni pertama terkait penangkapan dan penahanan.
Menurut Isnur, dasar penangkapan dan penahanan kliennya. Proses hukum itu tidak sesuai dengan pasal yang disangkakan kepada Novel atas nama korban Mulya Johani alias Aan.
"Namun yang dijadikan dasar dalam melakukan penangkapan justru surat perintah penyidikan lain yang memuat pasal yang berbeda yaitu Pasal 351 ayat 2 dan Pasal 442 jo Pasal 52 KUHP," katanya.
Kedua, dasar diterbitkannya surat perintah penangkapan dan penahanan yang salah satunya adalah Surat Perintah Kepala Bareskrim (Kabareskrim) Nomor Sprin/1432/Um/IV/2015/Bareskrim tertanggal 20 April 2015.
Menurut dia, hal ini tidak lazim karena dasar menangkap-menahan adalah Surat Perintah Penyidikan (sprindik). Kabareskrim dinilainya bukan bagian dari penyidik yang ditunjuk untuk melakukan penyidikan.
"Hal ini menunjukkan Kabareskrim telah melakukan intervensi terhadap independensi penyidik terkait kebijakan dalam penyidikan yaitu penangkapan dan penahanan," kata dia.
Kuasa hukum Novel juga menilai adanya pernyataan dari Mabes Polri yang membohongi publik dengan menutupi fakta sebenarnya terkait penangkapan dan penahanan kliennya.
Keempat, adanya perbedaan antara perintah Presiden dan pernyataan Kapolri tentang tidak adanya penahanan. Meski pada saat itu akhirnya yang bersangkutan ditahan.
"Tidak ada koordinasi antara Kapolri dengan Kabareskrim. Kabareskrim melawan perintah Kapolri dan Presiden. Direktur Tindak Pidana Umum yang membawahi penyidik lebih mendengarkan perintah Kabareskrim dibandingkan Kapolri dan Presiden," tuturnya.
Selain itu, praperadilan juga diajukan karena beralasan bahwa penangkapan Novel tidak sesuai prosedur.
"Surat perintah penangkapan kedaluarsa. Penahanan dilakukan tanpa memenuhi syarat subjektif penahanan dan tidak sesuai prosedur. Penangkapan dan penahanan dilakukan dengan disertai berbagai pelanggaran ketentuan hukum," sambungnya.
Oleh karena itu, tim kuasa hukum pun menyampaikan tuntutan kepada PN Jaksel yang antara lain ialah mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya, menyatakan tidak sahnya penangkapan terhadap Novel Baswedan yang didasarkan pada Surat Perintah Penangkapan Nomor :SP/Kap/19/IV/2015/Dittipidum tertanggal 24 April 2015.
"Ketiga, menyatakan tidak sahnya penahanan terhadap Novel Baswedan yang didasarkan pada Surat Perintah Penahanan Nomor :SP.Han/10/V/2015/Dittipidum tertanggal 1 Mei 2015."
Keempat, lanjut Isnur, memerintahkan Mabes Polri untuk melakukan audit kinerja penyidik dalam penanganan kasus Novel Baswedan.
Selain itu, kuasa hukum juga meminta kepolisian meminta maaf kepada Novel dan keluarga dengan membuat baliho yang isinya tentang permintaan maaf tersebut.
"(Isinya) Kepolisian RI Memohon Maaf Kepada Novel Baswedan dan keluarganya atas penangkapan dan Penahanan yang tidak sah. (Serta) Menghukum termohon membayar ganti kerugian sebesar Rp1," tuturnya.
Gugatan itu didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Senin (4/5/2015). "Sudah didaftarkan," kata kuasa hukum Novel, Muhammad Isnur saat dihubungi Sindonews, Senin (4/5/2015).
Seperti diberitakan sebelumnya, Breskrim Polri telah menetapkan Novel sebagai tersangka kasus dugaan pencurian sarang burung walet di Bengkulu pada 2004 silam. Saat peristiwa itu, Novel menjabat Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Polres Bengkulu,
Isnur menjelaskan, gugatan praperadilan diajukan Novel karena keberatan terhadap penangkapan dan penahanan yang dilakukan kepolisian pada 1 Mei 2015.
Isnur menilai penangkapan kliennya bukan bertujuan untuk penegakan hukum. Adapun objek gugatan Novel terhadap Bareskrim Polri, yakni pertama terkait penangkapan dan penahanan.
Menurut Isnur, dasar penangkapan dan penahanan kliennya. Proses hukum itu tidak sesuai dengan pasal yang disangkakan kepada Novel atas nama korban Mulya Johani alias Aan.
"Namun yang dijadikan dasar dalam melakukan penangkapan justru surat perintah penyidikan lain yang memuat pasal yang berbeda yaitu Pasal 351 ayat 2 dan Pasal 442 jo Pasal 52 KUHP," katanya.
Kedua, dasar diterbitkannya surat perintah penangkapan dan penahanan yang salah satunya adalah Surat Perintah Kepala Bareskrim (Kabareskrim) Nomor Sprin/1432/Um/IV/2015/Bareskrim tertanggal 20 April 2015.
Menurut dia, hal ini tidak lazim karena dasar menangkap-menahan adalah Surat Perintah Penyidikan (sprindik). Kabareskrim dinilainya bukan bagian dari penyidik yang ditunjuk untuk melakukan penyidikan.
"Hal ini menunjukkan Kabareskrim telah melakukan intervensi terhadap independensi penyidik terkait kebijakan dalam penyidikan yaitu penangkapan dan penahanan," kata dia.
Kuasa hukum Novel juga menilai adanya pernyataan dari Mabes Polri yang membohongi publik dengan menutupi fakta sebenarnya terkait penangkapan dan penahanan kliennya.
Keempat, adanya perbedaan antara perintah Presiden dan pernyataan Kapolri tentang tidak adanya penahanan. Meski pada saat itu akhirnya yang bersangkutan ditahan.
"Tidak ada koordinasi antara Kapolri dengan Kabareskrim. Kabareskrim melawan perintah Kapolri dan Presiden. Direktur Tindak Pidana Umum yang membawahi penyidik lebih mendengarkan perintah Kabareskrim dibandingkan Kapolri dan Presiden," tuturnya.
Selain itu, praperadilan juga diajukan karena beralasan bahwa penangkapan Novel tidak sesuai prosedur.
"Surat perintah penangkapan kedaluarsa. Penahanan dilakukan tanpa memenuhi syarat subjektif penahanan dan tidak sesuai prosedur. Penangkapan dan penahanan dilakukan dengan disertai berbagai pelanggaran ketentuan hukum," sambungnya.
Oleh karena itu, tim kuasa hukum pun menyampaikan tuntutan kepada PN Jaksel yang antara lain ialah mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya, menyatakan tidak sahnya penangkapan terhadap Novel Baswedan yang didasarkan pada Surat Perintah Penangkapan Nomor :SP/Kap/19/IV/2015/Dittipidum tertanggal 24 April 2015.
"Ketiga, menyatakan tidak sahnya penahanan terhadap Novel Baswedan yang didasarkan pada Surat Perintah Penahanan Nomor :SP.Han/10/V/2015/Dittipidum tertanggal 1 Mei 2015."
Keempat, lanjut Isnur, memerintahkan Mabes Polri untuk melakukan audit kinerja penyidik dalam penanganan kasus Novel Baswedan.
Selain itu, kuasa hukum juga meminta kepolisian meminta maaf kepada Novel dan keluarga dengan membuat baliho yang isinya tentang permintaan maaf tersebut.
"(Isinya) Kepolisian RI Memohon Maaf Kepada Novel Baswedan dan keluarganya atas penangkapan dan Penahanan yang tidak sah. (Serta) Menghukum termohon membayar ganti kerugian sebesar Rp1," tuturnya.
(dam)