Angkutan Perbatasan Tak Masuk Kota
A
A
A
JAKARTA - Angkutan Perbatasan Terintegrasi Bus Transjakarta (APTB) hanya beroperasi hingga perbatasan daerah Jakarta. Pemprov DKI Jakarta gagal mengintegrasikan transportasi daerah masuk ke Jakarta.
Kepala Bidang Angkutan Darat Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta Emanuel Kristanto mengatakan, dalam waktu dekat pihaknya akan melakukan pembatasan pengoperasian APTB. APTB hanya akan beroperasi hingga halte bus yang berada di dekat daerah perbatasan antara Jakarta dan daerah mitra.
”Kami sudah menerima surat pernyataan jika APTB hanya beroperasi hingga daerah perbatasan. Saat ini kami sedang mengkaji teknisnya agar pemberlakuannya dapat dilakukan,” katanya saat dihubungi kemarin.
Emanuel menjelaskan, pada pertemuan terakhir dalam pembahasan sistem rupiah per kilometer, Organisasi Angkutan Darat (Organda) tidak sepakat dengan harga yang ditawarkan antara Rp14.000-15.000 per kilometer. Organda meminta harga di atas Rp18.000 per kilometer. Dengan tidak ada kesepakatan, Dishub DKI Jakarta memberikan dua opsi untuk pengoperasian APTB.
Apabila APTB masuk jalur Transjakarta (busway ) dan beroperasi hingga Jakarta, APTB tidak boleh memungut tarif dari penumpang yang naik di dalam kota. Alasannya, APTB sebelumnya mengangkut tarif penumpang dari wilayah luar DKI Jakarta. Opsi kedua, APTB hanya beroperasi sampai jalur perbatasan. Misalnya dari Bogor, bus APTB hanya boleh beroperasi hingga halte busway Cawang. Begitu juga dari Bekasi.
”Memang awalnya kami sudah sepakat dengan pembayaran rupiah per kilometer. Namun, karena tidak sepakat untuk hitung-hitungan wajarnya, ya sudah mereka memilih hanya sampai perbatasan,” tegasnya.
Apabila APTB nekat masuk dalam kota dan melintas di busway , Dishub tidak segan-segan mencabut trayeknya setelah peringatan pertama hingga ketiga tidak dihiraukan. ”Sebelum diberlakukan, kami harus pikirkan teknisnya. Jangan sampai perputaran arah balik APTB di daerah perbatasan menyebabkan kepadatan,” terangnya.
Ketua Unit Bus Kota Organda DKI Jakarta Arifin Azhari mengakui sebagian besar operator APTB memilih opsi untuk beroperasi hingga halte terdekat perbatasan antara daerah mitra dan Ibu Kota. Namun, opsi tersebut belum final lantaran masih dalam proses kajian asas manfaat.
”Terlepas dari pro-kontra, APTB ini sudah diminati masyarakat untuk sampai Jakarta. Kita lihat saja perkembangannya. Ini belum final,” tandasnya. Arifin menjelaskan, sejauh ini belum ada pembicaraan yang serius dengan Dishub terkait pembayaran rupiah per kilometer. Sistem rupiah per kilometer tidak bisa disamaratakan.
Sistem rupiah per kilometer di seluruh koridor Transjakarta itu berbeda. Saat ditanya apakah APTB disamakan, Arif hanya mengatakan, sejauh ini belum ada terobosan dari pemerintah terkait sistem tersebut.
Terkait bus kota yang akan berada di bawah PT Transportasi Jakarta pada Juni mendatang seperti apa yang diwacanakan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), lanjut Arifin, hingga saat ini juga belum pernah dibicarakan Dishub kepada Organda.
”Sehubungan dengan wacana gubernur yang menyatakan jika bus kota berada di bawah PT Transportasi Jakarta kami belum pernah diinfokan baik teknis ataupun wacananya. Jadi kami belum mau berkomentar,” ujarnya.
Direktur Institut Transportasi Indonesia (Instran) Dharmaningtyas menuturkan, opsi yang dipilih APTB hanya beroperasi sampai perbatasan merupakan pilihan terbaik. Terpenting, pemerintah tidak boleh meminta kembali tarif kepada penumpang ketika mereka melanjutkan perjalanan dengan bus Transjakarta.
”Konsep awal APTB itu ya memang seperti itu, hanya sampai perbatasan. Pemerintah tidak usah repot mengurusi kesepakatan tarif, urusi saja bagaimana agar penumpang tidak lagi membayar ketika turun dari APTB dan beralih ke Transjakarta,” terangnya.
Menurutnya, untuk menerapkan sistem pembayaran rupiah per kilometer tidak bisa serta-merta memaksa operator mengikuti tarif atas kajian Dishub. Apalagi para operator juga memiliki kajian-kajian yang pastinya akan merugikan mereka. Artinya, kesepakatan tarif rupiah per kilometer itu harus dilakukan antara kedua belah pihak.
”Mau tidak mau setiap kilometer yang dibayar yang disepakati kedua belah pihak. Kajian yang dilakukan harus sesuai infrastruktur pembangunan busway ,” ujarnya.
Bima setiyadi
Kepala Bidang Angkutan Darat Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta Emanuel Kristanto mengatakan, dalam waktu dekat pihaknya akan melakukan pembatasan pengoperasian APTB. APTB hanya akan beroperasi hingga halte bus yang berada di dekat daerah perbatasan antara Jakarta dan daerah mitra.
”Kami sudah menerima surat pernyataan jika APTB hanya beroperasi hingga daerah perbatasan. Saat ini kami sedang mengkaji teknisnya agar pemberlakuannya dapat dilakukan,” katanya saat dihubungi kemarin.
Emanuel menjelaskan, pada pertemuan terakhir dalam pembahasan sistem rupiah per kilometer, Organisasi Angkutan Darat (Organda) tidak sepakat dengan harga yang ditawarkan antara Rp14.000-15.000 per kilometer. Organda meminta harga di atas Rp18.000 per kilometer. Dengan tidak ada kesepakatan, Dishub DKI Jakarta memberikan dua opsi untuk pengoperasian APTB.
Apabila APTB masuk jalur Transjakarta (busway ) dan beroperasi hingga Jakarta, APTB tidak boleh memungut tarif dari penumpang yang naik di dalam kota. Alasannya, APTB sebelumnya mengangkut tarif penumpang dari wilayah luar DKI Jakarta. Opsi kedua, APTB hanya beroperasi sampai jalur perbatasan. Misalnya dari Bogor, bus APTB hanya boleh beroperasi hingga halte busway Cawang. Begitu juga dari Bekasi.
”Memang awalnya kami sudah sepakat dengan pembayaran rupiah per kilometer. Namun, karena tidak sepakat untuk hitung-hitungan wajarnya, ya sudah mereka memilih hanya sampai perbatasan,” tegasnya.
Apabila APTB nekat masuk dalam kota dan melintas di busway , Dishub tidak segan-segan mencabut trayeknya setelah peringatan pertama hingga ketiga tidak dihiraukan. ”Sebelum diberlakukan, kami harus pikirkan teknisnya. Jangan sampai perputaran arah balik APTB di daerah perbatasan menyebabkan kepadatan,” terangnya.
Ketua Unit Bus Kota Organda DKI Jakarta Arifin Azhari mengakui sebagian besar operator APTB memilih opsi untuk beroperasi hingga halte terdekat perbatasan antara daerah mitra dan Ibu Kota. Namun, opsi tersebut belum final lantaran masih dalam proses kajian asas manfaat.
”Terlepas dari pro-kontra, APTB ini sudah diminati masyarakat untuk sampai Jakarta. Kita lihat saja perkembangannya. Ini belum final,” tandasnya. Arifin menjelaskan, sejauh ini belum ada pembicaraan yang serius dengan Dishub terkait pembayaran rupiah per kilometer. Sistem rupiah per kilometer tidak bisa disamaratakan.
Sistem rupiah per kilometer di seluruh koridor Transjakarta itu berbeda. Saat ditanya apakah APTB disamakan, Arif hanya mengatakan, sejauh ini belum ada terobosan dari pemerintah terkait sistem tersebut.
Terkait bus kota yang akan berada di bawah PT Transportasi Jakarta pada Juni mendatang seperti apa yang diwacanakan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), lanjut Arifin, hingga saat ini juga belum pernah dibicarakan Dishub kepada Organda.
”Sehubungan dengan wacana gubernur yang menyatakan jika bus kota berada di bawah PT Transportasi Jakarta kami belum pernah diinfokan baik teknis ataupun wacananya. Jadi kami belum mau berkomentar,” ujarnya.
Direktur Institut Transportasi Indonesia (Instran) Dharmaningtyas menuturkan, opsi yang dipilih APTB hanya beroperasi sampai perbatasan merupakan pilihan terbaik. Terpenting, pemerintah tidak boleh meminta kembali tarif kepada penumpang ketika mereka melanjutkan perjalanan dengan bus Transjakarta.
”Konsep awal APTB itu ya memang seperti itu, hanya sampai perbatasan. Pemerintah tidak usah repot mengurusi kesepakatan tarif, urusi saja bagaimana agar penumpang tidak lagi membayar ketika turun dari APTB dan beralih ke Transjakarta,” terangnya.
Menurutnya, untuk menerapkan sistem pembayaran rupiah per kilometer tidak bisa serta-merta memaksa operator mengikuti tarif atas kajian Dishub. Apalagi para operator juga memiliki kajian-kajian yang pastinya akan merugikan mereka. Artinya, kesepakatan tarif rupiah per kilometer itu harus dilakukan antara kedua belah pihak.
”Mau tidak mau setiap kilometer yang dibayar yang disepakati kedua belah pihak. Kajian yang dilakukan harus sesuai infrastruktur pembangunan busway ,” ujarnya.
Bima setiyadi
(ftr)