Jejak Aktivitas Manusia pada Cuaca Ekstrem

Minggu, 03 Mei 2015 - 12:28 WIB
Jejak Aktivitas Manusia...
Jejak Aktivitas Manusia pada Cuaca Ekstrem
A A A
Pemanasan global sejak Revolusi Industri bertanggung jawab atas sekitar tiga per empat cuaca ekstrem saat ini dan hampir seperlima hujan lebat yang luar biasa.

Hasil studi terbaru itu dirilis pekan ini. Erich M Fischer dan Reto Knutti dari Institute for Atmospheric and Climate Science di Zurich menggunakan 25 simulasi dan pemodelan untuk membandingkan cuaca ekstrem dari era praindustri dan modern untuk memperkirakan risiko aktivitas manusia terhadap pemanasan global.

Menurut perkiraan mereka, pemanasan 0,85 derajat Celsius hingga saat ini bertanggung jawab atas sekitar 18% cuaca ”ekstrem harian moderat” untuk hujan dan 75% untuk gelombang panas saat ini. Fischer menjelaskan, cuaca ekstrem ”moderat” adalah kejadian-kejadian yang akan biasa terjadi dalam tiga tahun, berbeda dengan kejadian ”sangat ekstrem” yang akan terjadi sekali dalam 30 tahun.

”Orang dapat berpendapat bahwa kita mengalami cuaca ekstrem sebelum manusia mampu mempengaruhi iklim seperti beberapa abad silam. Itu tepat, tapi banyak yang sudah berubah dan kita mengalaminya lebih banyak,” tutur Fischer yang memimpin penulisan studi tersebut.

”Kami temukan bahwa apa yang biasanya terjadi sekali dalam tiga tahun, rata-rata terjadi empat hingga lima kali dalam tiga tahun pada iklim saat ini. Kami kemudian menyimpulkan bahwa tiga hingga empat kejadian itu tidak terjadi pada era praindustri, maka itu diakibatkan oleh pemanasan global,” kata Fischer pada kantor berita AFP . Studi itu dipublikasikan di jurnal Nature Climate Change.

Para peneliti menjelaskan, suhu permukaan bumi rata-rata secara global naik 0,85 derajat Celsius dari 1880 hingga 2012, terutama akibat aktivitas manusia yang banyak menghasilkan gas rumah kaca penyebab pemanasan Bumi ke atmosfer. Meski Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menargetkan 2 derajat Celsius sebagai batas pemanasan global, para pakar memprediksiakanterjadipeningkatan4- 5 derajat Celsius dengan emisi karbon saat ini.

Kondisi ini tidak hanya akan mengubahrata-rataiklimglobal, tapijuga memperbanyak kejadian cuaca ekstrem. Fischer dan Knutti menemukan bahwa dengan pemanasan 2 derajat Celsius, sekitar 40% hujan ekstrem dapat dikaitkan dengan aktivitas manusia. ”Kemungkinan kejadian cuaca panas ekstrem pada kenaikan suhu 2 derajat Celsius, akan meningkat dua kali lipat dibandingkan kenaikan suhu 1,5 derajat Celsius dan lebih banyak lima kali lipat dibandingkan kondisi saat ini di mana terjadi kenaikan 0,85 derajat Celsius,” papar mereka.

”Hasil ini memiliki implikasi kuat untuk diskusi mengenai perbedaan target mitigasi dalam negosiasi iklim, di mana perbedaan antara target itu kecil dalam skala suhu global, tapi besar dalam kemungkinan cuaca ekstrem,” tulis keduanya dalam studi tersebut. Beberapa pakar memuji hasil studi tersebut sebagai peringatan bagi para pembuat kebijakan. ”Gagasan bahwa setengah kejadian hujan deras tidak akan terjadi kalau bukan akibat perubahan iklim adalah pemikiran serius bagi para pembuat kebijakan untuk melakukan mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim,” tulis Peter Stott dari United Kingdom’s Hadley Centre, dikutip website USA Today.

Riset ini pun hanya mengamati hujan dan gelombang panas yang ekstrem. ”Kami tidak mengamati kekeringan seperti yang terjadi di California atau siklon tropis. Faktanya, kami berargumen bahwa tidak semua cuaca menjadi lebih ekstrem,” ungkap Fischer. Para pakar yang membaca hasil studi itu menyatakan, riset ini sangat penting dan bahkan mengejutkan.

”Riset sebelumnya dari Panel Antar Pemerintah untuk Perubahan Iklim PBB (United Nations’ Intergovernmental Panel on Climate Change/UNIPCC) telah menunjukkan bahwa gelombang panas dan hujan lebat dapat dikaitkan sebagai dampak pemanasan global,” tutur Profesor Roger Pielke dari studi lingkungan Universitas Colorado. ”Studi ini sangat konsisten dengan riset UNIPCC,” kata Pielke yang mengakui ada mata rantai yang tidak solid antara perubahan iklim dan peningkatan level atau intensitas banjir, tornado, kekeringan, atau badai.

”Hasil baru ini seharusnya tidak mengejutkan siapa pun yang telah mencermati sains perubahan iklim dan variabilitas,” ungkap Martin Hoerling, meteorologis riset di National Oceanic and Atmospheric Administration. Kepala Analis Iklim National Center for Atmospheric Research di Boulder, Colorado, Kevin Trenberth memberikan pendapat lebih komprehensif.

”Paper ini hampir seluruhnya berdasarkan pada pemodelan dengan sedikit atau tanpa validasi atau relasi pada dunia nyata. Tidak satu pun model dapat mencerminkan fakta secara sangat realistis dan beberapa cukup buruk,” ujarnya.

Syarifudin
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7385 seconds (0.1#10.140)