Penganuliran Putusan BANI atas TPI Bahayakan Iklim Investasi
A
A
A
JAKARTA - Intervensi lembaga peradilan dalam kasus TPI menguatkan citra Indonesia sebagai negara yang tidak ramah terhadap arbitrase. Hal ini dinilai membahayakan iklim investasi di Indonesia.
"Ini membuat para pebisnis enggan untuk berbisnis di Indonesia, karena kepastian hukum di Indonesia sangat minim," ujar pakar hukum bisnis Frans Hendra Winarta, Jumat (1/5/2015).
Dia mengungkapkan, di negara lain putusan arbitrase sangat dihormati dan dijunjung tinggi. Misalnya di negara tetangga, Singapura dan Hong Kong. "Kasus TPI menjadi ujian bagi kondisi hukum Indonesia, apakah tetap tidak bersahabat untuk kasus-kasus arbitrase atau sudah berubah," katanya.
Sesuai UU Nomor 30 Tahun 1999, lanjut Frans, lembaga peradilan tidak berhak memutus perkara yang ditangani lembaga arbitrase. "Jika satu masalah sudah disepakati untuk diselesaikan di lembaga arbitrase, pengadilan tidak bisa mengintervensi," tuturnya.
Pengamat hukum dari Universitas Negeri Semarang Arif Hidayat menambahkan, putusan BANI bersifat final dan mengikat. Penganuliran keputusan BANI yang dilakukan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap kasus TPI dinilainya mencederai hukum yang berlaku. "Pengadilan sudah mencederai putusan BANI yang merupakan jalur hukum sah dan diakui negara," kata Arif, Jumat (1/5/2015).
Seperti diberitakan, pada 12 Desember 2014 Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) memutuskan PT Berkah Karya Bersama sebagai pemilik sah 75 persen saham TPI. Selain itu, putusan BANI mengharuskan Siti Hardiyanti Rukmana alias Tutut membayar utang sebesar Rp510 miliar kepada PT Berkah Karya Bersama. Tetapi PN Jakarta Pusat menganulir putusan BANI tersebut pada 29 April 2015.
"Ini membuat para pebisnis enggan untuk berbisnis di Indonesia, karena kepastian hukum di Indonesia sangat minim," ujar pakar hukum bisnis Frans Hendra Winarta, Jumat (1/5/2015).
Dia mengungkapkan, di negara lain putusan arbitrase sangat dihormati dan dijunjung tinggi. Misalnya di negara tetangga, Singapura dan Hong Kong. "Kasus TPI menjadi ujian bagi kondisi hukum Indonesia, apakah tetap tidak bersahabat untuk kasus-kasus arbitrase atau sudah berubah," katanya.
Sesuai UU Nomor 30 Tahun 1999, lanjut Frans, lembaga peradilan tidak berhak memutus perkara yang ditangani lembaga arbitrase. "Jika satu masalah sudah disepakati untuk diselesaikan di lembaga arbitrase, pengadilan tidak bisa mengintervensi," tuturnya.
Pengamat hukum dari Universitas Negeri Semarang Arif Hidayat menambahkan, putusan BANI bersifat final dan mengikat. Penganuliran keputusan BANI yang dilakukan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap kasus TPI dinilainya mencederai hukum yang berlaku. "Pengadilan sudah mencederai putusan BANI yang merupakan jalur hukum sah dan diakui negara," kata Arif, Jumat (1/5/2015).
Seperti diberitakan, pada 12 Desember 2014 Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) memutuskan PT Berkah Karya Bersama sebagai pemilik sah 75 persen saham TPI. Selain itu, putusan BANI mengharuskan Siti Hardiyanti Rukmana alias Tutut membayar utang sebesar Rp510 miliar kepada PT Berkah Karya Bersama. Tetapi PN Jakarta Pusat menganulir putusan BANI tersebut pada 29 April 2015.
(hyk)